Subscribe Us

INDONESIA DI TENGAH BANGKRUTNYA SRI LANKA

Oleh Ummu Hanan, S. Hum.
(Analis Media dan Aktivis Dakwah Islam)


Vivisualiterasi.com-Masih hangat berita bangkrutnya Sri Lanka akibat pandemi Covid-19 dan jerat utang global yang gagal bayar. Hal tersebut tak ayal menyelipkan rasa takut dan tanya, apakah negara ketiga seperti Indonesia yang juga memiliki utang luar negeri yang tidak bisa dibilang sedikit akan mengalami hal serupa?

Diketahui utang pemerintah RI sudah tembus Rp 7.000 Triliun di akhir Februari 2022. Dikutip dari APBN Kita, data per 28 Februari menyebut utang negara tercatat sebesar Rp 7.014,58 T. 

Kendati begitu, pemerintah menyebut posisi utang ini masih terjaga dalam batas aman dan wajar, serta terkendali. Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati bahkan menyebut rasio utang terhadap PDB RI masih lebih kecil baik dibandingkan dengan negara ASEAN, G20, maupun negara di seluruh dunia. (msn.com, 15/4/2022)

Mengutip laman Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengenai 'menjawab utang' dijelaskan, keadaan sekarang ini pemerintah tidak dapat menunda kebutuhan-kebutuhan yang mendesak seperti infrastruktur dan pembangunan lainnya. Dalam penjelasan Kemenkeu, berutang adalah pilihan kebijakan yang rasional untuk menyelesaikan pembangunan yang tidak bisa ditunda. Utang adalah alat (tool) untuk mengakselerasi pembangunan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat.

Pasalnya, tingkat kemiskinan di Indonesia saat ini juga masih di tinggi. Selain itu ada masalah tingkat kesenjangan yang masih tinggi yang perlu diselesaikan, dengan menaikkan taraf ekonomi masyarakat berpenghasilan rendah (bukan dengan menurunkan taraf ekonomi masyarakat menengah ke atas), makanya perlu program perlindungan sosial masyarakat antara lain melalui peluncuran Kartu Indonesia Pintar (KIP), Kartu Indonesia Sehat (KIS), Program Keluarga Harapan (PKH), subsidi pupuk, tunjangan BPJS dan lain-lain.

Adapun pemasukan negara, saat ini mayoritas lebih besar dalam pos pajak. Menkeu memaparkan realisasi sementara penerimaan pajak telah mencapai Rp 1.277,5 Triliun atau 103,9 persen dari target APBN 2021 yang sebesar Rp 1.229,6 Triliun. Capaian ini tumbuh 19,2 persen dari penerimaan pajak tahun 2020 lalu yang sebesar Rp 1.072,1 Triliun akibat terpukul pandemi Covid-19.

Sementara, penerimaan kepabeanan dan cukai mencapai Rp 269 Triliun atau 125,1 persen dari target yang ditetapkan dalam APBN 2021 sebesar Rp 215 Triliun.

Di sisi lain, penerimaan negara bukan pajak (PNBP) telah mencapai Rp 452 Triliun atau 151,6 persen dari target APBN 2021 sebesar Rp298,2 triliun. Realisasi ini tumbuh 31,5 persen dibandingkan tahun 2020 yang sebesar Rp 343,8 Triliun. (kemenkeu.go.id, 04/1/2022)

Sehingga untuk menggeliatkan perekonomian nasional, agaknya pemerintah tidak memiliki jalan lain selain berutang dan berburu investasi. Wajar jika pemerintah juga membentuk tim satuan tugas percepatan investasi. 

Sebagaimana kita ketahui, Presiden Jokowi telah menerbitkan Keppres 11/2021 tentang Satuan Tugas Percepatan Investasi pada 4/5/2021 lalu. Keppres ini dikeluarkan dengan pertimbangan untuk meningkatkan investasi dan kemudahan berusaha dalam rangka mendorong pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja.

Ironis memang, utang bukanlah satu-satunya pilihan untuk memulihkan ekonomi. Indonesia yang memiliki sumber daya alam punya modal besar untuk itu. Sayangnya, sistem kapitalisme yang diadopsi sebagai sistem hidup negara ini telah menjadikan tata kelola ekonomi rakyat menjadi semrawut. 

Utang berkedok investasi yang diambil negeri ini secara tak langsung menekan rakyat untuk turut serta membayarnya secara tidak langsung. Sebut saja pemasukan pajak yang mayoritas diterima oleh negara. Bukankah itu merupakan buah hasil keringat penarikan pajak kepada rakyat?

Mental negeri ini mengenai mudahnya berutang harus diubah. Utang bukanlah satu-satunya solusi, melainkan alternatif solusi. Itu pun tanpa embel-embel adanya intervensi negara lain dalam bentuk perjanjian ekonomi. Konsep inilah yang dianut dalam sistem pemerintahan Islam.

Tak selamanya negara dalam kondisi ekonomi yang terus stabil. Suatu negeri pasti memiliki peluang mengalami masalah ekonomi. Di sinilah mekanisme pemulihan secara sistemis hadir untuk menyelesaikan masalah. 

Dalam Islam, hukum utang boleh-boleh saja. Akan tetapi, dalam hubungan kenegaraan, sistem pemerintahan Islam (Khilafah) akan menghindari berbagai bentuk skema utang yang bersyarat riba dan berpotensi menjadi alat penjajahan.

Mekanisme pengelolaan APBN Khilafah yang berpusat pada Baitul Mal memastikan terpenuhinya kebutuhan individu rakyat. Jika kas Baitul Mal kosong, negara boleh memobilisasi pengumpulan dana dari kalangan orang kaya. Jika kondisi ini belum mampu memenuhi kebutuhan rakyat, negara boleh berutang dengan syarat sesuai syariat Islam. 

Meski demikian, sistem ekonomi Islam sejatinya merupakan sistem ekonomi mandiri. Semaksimal mungkin Khilafah akan membangun kemandirian ekonomi. Pemahaman bahwa untuk menjadi negara terdepan dan diperhitungkan dalam konstelasi politik internasional membuat Khilafah mengerahkan segenap upaya untuk menjadi negara terdepan, jauh dari intervensi. 

Untuk itu, Khilafah memaksimalkan pemasukan dari pos-pos pendapatan negara berupa pemasukan tetap yakni fa'i, ghanimah, 'anfal, kharaj, dan jizyah. Selain itu ada pemasukan dari hak milik umum dengan berbagai macam bentuknya, serta pemasukan dari hak milik negara yakni 'usyur, khumus, rikaz, dan tambang.

Berkaca dari luar biasanya Khilafah mengelola ekonomi negara, Indonesia sebagai negeri kaum muslimin terbesar patut untuk mencontoh bahkan berupaya kembali pada penerapan syariat Islam. Karena hanya dengan penerapan syariat Islam, negeri-negeri kaum muslimin akan senantiasa selamat dari kebangkrutan yang memang sudah terskema secara sistematis oleh para kapitalis global dengan jerat-jerat utang yang menyengsarakan. Wallahu a'lam bish-shawab.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar