Subscribe Us

KEBIJAKAN MINYAK GORENG, BIKIN GELENG-GELENG

Oleh Raihana Radhwa
(Ibu Rumah Tangga)


Vivisualiterasi.com-Pemerintah kembali membuka keran ekspor minyak goreng per 23 Mei 2022, Senin kemarin. Sebagaimana diketahui, pemerintah sebelumnya menutup pintu ekspor minyak goreng, Crude Palm Oil (CPO) dan produk turunannya sejak 28 April 2022. 

Pemerintah mengambil keputusan tersebut dengan alasan bahwa harga minyak goreng di pasar dalam negeri telah membaik dan terkendali. Pasokan minyak goreng saat larangan ekspor diberlakukan pun sudah melebihi kebutuhan nasional. Ditambahkan juga, ada tujuh belas juta pekerja industri minyak goreng terdampak kebijakan larangan ekspor. (liputan6.com, 24/5/2022)

Sudah menjadi rahasia umum, harga barang yang sudah terlanjur naik hampir dipastikan mustahil untuk turun harga. Terlebih pada komoditas yang tergolong sembako sebagai kebutuhan pokok sehari-hari masyarakat. Bahkan pada caturwulan pertama tahun ini masyarakat dibuat kelabakan dengan naiknya harga minyak goreng. 

Sebelum harga eceran tertinggi (HET) dicabut pada 16 Maret 2022, minyak goreng curah dibanderol Rp11.500,00/liter dan minyak goreng kemasan sederhana hanya Rp13.500,00/liter. Dengan harga ini, kelangkaan minyak goreng terjadi secara meluas pada Februari dan awal Maret. Setelah HET dicabut, harga melompat hingga Rp25.000,00/liter. (bbc.com, 16/3/2022)

Meskipun harga terbaru yang diklaim Pemerintah turun menjadi Rp17.200,00-17.600,00/liter, namun jelas masih jauh lebih tinggi dari harga semula. Dengan harga ini, sebetulnya rakyat masih mengalami kesulitan karena harga berbagai macam komoditas yang berbahan baku dan membutuhkan minyak goreng ikut naik. 

Besar atensi masyarakat terhadap akar masalah langka dan mahalnya harga minyak goreng. Penelusuran terhadap adanya mafia minyak goreng saat ini sampai pada penetapan Lin Che Wei (LCW) sebagai tersangka oleh Kejaksaan Agung. "Jika Jaksa Agung Burhanuddin sudah bisa menggambarkan 'timeline' utuh dari kasus mafia minyak goreng, bisa dipastikan mudah menemukan fakta-fakta lain. Bahkan membawa kita ke arah monster terakhir,” kata Hinca Pandjaitan, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Demokrat. Pernyataan Hinca ini mengisyaratkan bahwa gurita mafia minyak goreng tidak berhenti di Lin Che Wei. Masih ada monster terakhir yang harus diungkap dan ditaklukkan.(beritabuana.co, 23/05/2022)

Lin Che Wei sendiri merupakan Penasihat Kebijakan dan Analisa Independent Reasearch and Advisory Indonesia. Ia berperan dalam pengambilan keputusan di Kementerian Perdagangan khususnya yang berkaitan dengan minyak goreng. Lin aktif berkomunikasi offline maupun online dengan pelaku usaha serta pihak Kementerian Perdagangan terkait persetujuan ekspor (PE) minyak goreng. (cnbcindonesia.com, 18/05/2022)

Di sinilah masyarakat bertanya, saat harga minyak goreng masih dirasa mahal dan penelusuran mafia minyak goreng belum tuntas, Pemerintah membuka keran ekspor minyak goreng. Desakan keuntungan material yang menggiurkan jelas menjadi motivasi utama. Memang bergeliatnya industri dan perdagangan pasca pandemi menjadi kabar gembira termasuk pekerja sektor industri sawit. Namun bagi pekerja biasa tentunya peningkatan kesejahteraan mereka terbatas pada upah yang disetarakan dengan minimum regional. Pengeruk keuntungan terbanyak dari dibukanya ekspor minyak goreng jelas konglomerat pemilik perusahaan atau korporasi di bidang industri minyak goreng.

Parahnya, mafia minyak goreng terbentuk dan menjadi bukti bahwa kerap terjadi kongkalikong antara penguasa dengan pengusaha. Mereka sama-sama mengambil keuntungan dari relasi tersebut untuk membuat kebijakan yang tak memberi maslahat apapun pada rakyat, malah merugikan. Hubungan mutualisme penguasa dan pengusaha ini lahir dari sistem demokrasi. Politisi membutuhkan sumbangan pengusaha untuk berkampanye memenangkan hati rakyat agar memilihnya menjadi penguasa. Saat sudah berkuasa, sebagai timbal balik ia akan memberi keputusan yang menguntungkan pengusaha “donatur”nya. 

Persekongkolan penguasa dan pengusaha yang menjadi ciri kapitalisme mengondisikan industri minyak goreng dikuasai segelintir pihak hingga mampu mengendalikan harga sekaligus mengendalikan kebijakan pemerintah. Hal tersebut sangat nampak dari data penguasaan lahan sawit, lebih dari 50%-nya dikuasai oleh 25 perusahaan saja. Kurang dari setengah sisanya dimiliki 592 perusahaan (katadata.co.id). Di sinilah tampak nyata bahwa pasar bebas dalam kapitalisme hanya slogan saja. Rakyat kecil tak bermodal takkan dapat bersaing dalam pasar dan perekonomian di sistem yang sekuler ini.

Padahal para Khalifah pada masa Khilafah Islamiyah sangat mempermudah usaha bagi para pelaku usaha kecil agar dapat bersaing di pasar serta mencegah monopoli oleh segelintir orang kaya saja. Contohnya, Amirul Mukminin Umar bin Khattab menyita tanah terlantar lebih dari tiga tahun lalu diberikan kepada rakyat yang bersedia mengelolanya. Khalifah Umar bin Abdul Aziz pun memerintahkan untuk menyalurkan harta zakat yang banyak tersisa kepada para pemuda lajang yang membutuhkan modal. Dengan banyaknya pelaku usaha di satu sektor maka monopoli harga dapat dihindari. 

Penetapan HET juga bukan solusi pengendali harga minyak goreng dalam Islam. Justru Allah melarang seorang pemimpin melakukan penetapan harga karena ia akan memberi peluang adanya pasar gelap dan penyelundupan karena masyarakat akan bertransaksi secara diam-diam dengan pihak yang mau membeli lebih mahal. Penjual juga akan lebih senang menjual ke negara lain karena dibeli dengan harga lebih mahal. Pemberlakuan HET juga mendorong pelaku usaha melakukan penimbunan, yang menyebabkan kelangkaan di pasar. Saat HET dinaikkan lebih mahal barulah barang yang ditimbun dilepas ke pasar. Kondisi-kondisi seperti ini sangat merugikan masyarakat.

Rasulullah bersabda :

 غَلَا السِّعْرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللّٰـهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ سَعِّرْ لَنَا  فَقَالَ إِنَّ اللَّهَ هُوَ الْمُسَعِّرُ الْقَابِضُ الْبَاسِطُ الرَّزَّاقُ وَإِنِّي لَأَرْجُو أَنْ أَلْقَى رَبِّي وَلَيْسَ أَحَدٌ مِنْكُمْ يَطْلُبُنِي بِمَظْلِمَةٍ فِي دَمٍ وَلَا مَالٍ  

"Harga-harga barang mahal di zaman Nabi Shallaallahu ‘alaihi wa sallam lalu mereka berkata, ‘Wahai Rasûlullâh Shallaallahu ‘alaihi wa sallam patoklah harga untuk kami!’ Lalu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Sesungguhnya Allâh-lah pematok harga yang menyempitkan dan melapangkan serta maha pemberi rezeki dan sungguh aku berharap menjumpai Rabbku dalam keadaan tidak ada seorang pun dari kalian yang menuntutkan dengan sebab kezaliman dalam darah dan harta." (HR. Abu Dawud)

Tak ada salahnya membuka keran ekspor saat pasokan dalam negeri sudah aman. Namun bila dibukanya keran ekspor itu hanya untuk memberi keuntungan bagi konglomerat, mahalnya harga minyak dalam negeri masih menyengat rakyat, dimana nurani para penguasa?

Selama sistem hari ini masih tetap mengadopsi demokrasi yang di dalamnya bercokol kapitalisme, maka umat akan terus tetap merasakan kebijakan yang dinilai sangat merugikan. 
Sehingga sangat diperlukan pemimpin yang bukan hanya sekedar memimpin, tapi pemimpin yang paham bagaimana mengatur pemerintahan dan pastinya menerapkan syariat Islam dalam ranah kepemimpinannya. Wallahu 'alam.[Dft]

Posting Komentar

0 Komentar