Oleh Wilma Indah M.T.Y.
(Aktivis Dakwah)
Tak dipungkiri mahasiswa yang memiliki gelar agent of change, maupun social control berusaha menggunakan perannya dengan sebaik mungkin di tengah masyarakat. Mereka menjadi penyambung lidah untuk menyampaikan aspirasi rakyat kepada penguasa. Terlebih ketika kebijakan penguasa telah demikian zalim hingga banyak kalangan masyarakat yang dirugikan. Maka sudah pasti jalanan akan dipenuhi oleh pemuda dengan orasi dan jas almamaternya.
Aliansi Badan Eksekutif Mahasiswa Seluruh Indonesia (BEM SI) berencana menggelar demonstrasi di depan gedung DPR/MPR RI, Senin (11/4/2022) dengan massa sejumlah 1.000 mahasiswa. Mereka mengusung beberapa tuntutan di antaranya menolak penundaan pemilu, tuntutan agar pemerintah menstabilkan harga pangan hingga penolakan terhadap pemindahan IKN. (okezone.com, 10/4/2022)
Tuntutan yang diusung mahasiswa sebagai berikut: Pertama, mendesak Presiden Joko Widodo untuk tegas menolak penundaan Pemilu 2024 dan wacana masa jabatan tiga periode. Kedua, menuntut dan mendesak Jokowi menunda dan mengkaji ulang Undang-undang Ibu Kota Negara (UU IKN), termasuk pasal-pasal bermasalah dan dampak yang ditimbulkan dari aspek lingkungan, hukum, sosial, ekologi, politik, ekonomi dan kebencanaan. Ketiga, mendesak dan menuntut Jokowi menstabilkan harga dan menjaga ketersediaan bahan pokok di pasaran dan menyelesaikan permasalahan ketahanan pangan lainnya. Keempat, mendesak dan menuntut Jokowi mengusut tuntas mafia minyak goreng dan mengevaluasi kinerja menteri terkait. Kelima, mendesak dan menuntut Jokowi menyelesaikan konflik agraria di Indonesia. Keenam, menuntut dan mendesak Jokowi-Ma'ruf Amin berkomitmen penuh menuntaskan janji-janji kampanye pada sisa masa jabatan. (Kompas.Tv, 10/4/2022)
Sejarah mencatat, sejak awal kemerdekaan Indonesia mahasiswa selalu berada di garda terdepan untuk menyuarakan aspirasi masyarakat demi meraih keadilan. Seperti demo mahasiswa pada tahun 1966, 1974, 1998 dan demo besar pada tahun 2020 tentang penolakan terhadap omnibus law. Patut mendapat apresiasi bahwa ternyata mahasiswa masih membara ketika melihat kewenangan yang dilakukan penguasa dipandang merugikan rakyatnya.
Namun jika kita jeli dalam mengamati berbagai aksi mahasiswa yang terjadi ini, maka kita akan menyimpulkan bahwa apa yang sejak dahulu mahasiswa perjuangkan hanyalah sebuah reaksi dari kesalahan suatu sistem yang berkuasa. Sejak awal kemerdekaan, mahasiswa telah menuntut stabilitas harga pangan, menurunkan harga BBM juga problem kesejahteraan rakyat lainnya.
Hingga hari ini, masalah itu tak terselesaikan dengan baik, bahkan rakyat masih sulit untuk meraih kesejahteraan. Penguasa tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar rakyat seperti memenuhi kebutuhan pokok. Gerakan mahasiswa bisa dibilang merupakan gerakan naluriah karena merasa terancam atau bisa dikatakan sebatas gerakan karena dorongan memenuhi kebutuhan perut semata.
Lebih parah lagi, banyak dari kalangan mahasiswa yang mengikuti aksi hanya sekedar terkena provokasi tanpa mengetahui esensi ia melakukan aksi. Tak jarang dampak dari aksi hanya berakhir dengan anarkisme, perusakan fasilitas umum bahkan menimbulkan korban jiwa tanpa dibarengi dengan solusi yang menyelesaikan persoalan.
Secara umum, solusi yang diusung mahasiswa dalam setiap aksinya masih bersifat parsial. Hanya berharap penggantian rezim tanpa memandang bahwa ada sistem yang perlu diperbaiki. Mahasiswa harus menyadari bahwa segala permasalahan yang timbul di negeri ini adalah masalah sistemik, sehingga tidak cukup hanya dengan penggantian rezim atau pemimpin.
Menurut data dari Kemenristek, Jumlah mahasiswa di Indonesia (2019) sebesar 7,5—8 juta. Sebuah angka yang fantastis untuk jumlah agen perubahan di negeri ini. Namun disayangkan selain pemikiran mahasiswa yang prakmatis, potensi kritis mahasiswa berusaha dibendung dengan aktivitas yang tidak mengarah kepada perubahan. Tuntutan nilai akademik, dan program-program dari pemerintah yang ditengarai hanya akan mengukuhkan para kapitalis seperti program merdeka belajar atau kampus merdeka.
Sudah saatnya kita bersama menyadarkan mahasiswa untuk kembali ke jati dirinya. Menyatukan suara untuk melakukan revolusi atau perubahan secara fundamental, tidak hanya sekedar melakukan reformasi atau perbaikan.
Mahasiswa harus bisa memahami bahwa duduk persoalan dari karut-marutnya aturan di negeri ini adalah karena diterapkannya sistem kapitalisme yang melanggengkan pengusaha atau korporasi. Hal ini didukung dengan sistem demokrasi yang meniscayakan pembuatan aturan perundang-undangan berada di tangan elite yang sarat dengan kepentingan tertentu.
Sudah sepatutnya kita berfikir untuk memperbaiki sistem, seperti halnya sebuah kendaraan yang telah rusak, maka untuk bisa mengendarainya tidak cukup hanya dengan mengganti sopir, namun juga perlu untuk mengganti dengan kendaraan yang baru.
Berbicara tentang sistem yang bisa menjadi solusi, maka terdapat sebuah sistem yang telah terbukti mensejahterakan rakyat selama 13 abad lamanya. Yaitu sistem Islam yang berdiri sejak tahun 662 M-1924 M atau sejak zaman Rasulullah sampai zaman Khilafah Utsmaniyah. Sistem ini telah mencetak para pemimpin negara yang amanah dalam menjalankan tugasnya. Seperti Khalifah Umar bin Khattab yang rela hanya makan minyak demi seluruh rakyatnya bisa menikmati makanan. Juga Khalifah Umar bin Abdul Aziz yang berhasil membuat seluruh rakyatnya hidup sejahtera hingga tidak ada satu orang pun yang berhak mnerima zakat dikarenakan rakyat sudah merasa berkecukupan.
Sungguh suatu keadaan yang sangat diimpikan oleh manusia yang hidup di dunia. Hal ini bisa tercipta karena dalam Islam, politik berarti ri’ayatu su’unil ummah atau mengurusi urusan umat. Bukan sebagai ajang untuk berebut kursi kekuasaan kemudian menumbalkan rakyat demi masing-masing kepentingan.
Dalam Islam, penguasa akan menjalankan amanahnya sebagai pemimpin dengan sebaik mungkin atas dasar dorongan iman dan rasa takut terhadap Allah. Setiap penguasa akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya di dunia, bahkan rakyat pun boleh menuntut di hadapan Allah ketika seorang penguasa berlaku zalim terhadap mereka.
Semua ini dilakukan agar terciptanya keberkahan di dunia, seperti firman Allah berikut yang artinya:
“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.” (QS. Al-A’raf : 96)
Dengan demikian, sudah saatnya mahasiswa menyatukan langkah dan mengarahkan perjuangan menuju perjuangan yang revolusioner. Selain itu mahasiswa juga perlu untuk berfikut sampai pada tataran sistem (Systemic Thinking). Sehingga setiap langkah yang dilakukan akan membuahkan solusi yang solutif, tidak hanya reaktif. Bukan seperti ikan yang sedang terusik karena habitatnya di darat sedang diganggu, kemudian diam saat tidak ada gangguan, padahal ia sedang tidak berada dalam habitatnya yang seharusnya.
Maka dengan menjadikan Islam sebagai nafas perjuangan, mahasiswa harus berani menyibak tabir kediktatoran dan lantang untuk menyuarakan solusi hakiki yang bersumber dari Islam. Wallahu a'lam bish-shawab.[AR]
0 Komentar