Subscribe Us

MANIFESTASI I DON'T READ WHAT I SIGNED KENAIKAN BBM

Oleh Vindy W. Maramis, S. S
(Pegiat Literasi Islam, Aktivis Muslimah, Alumni Sastra Inggris UISU)


Vivisualiterasi.com-Pada 2015 lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah menjadi perbincangan hangat seantero negeri. Dipicu oleh sebuah artikel berbahasa Inggris yang dimuat oleh Jakarta Globe edisi 7 April 2015, dengan judul yang cukup eksak yaitu, “Joko: I Don’t Read What I Signed” atau dalam terjemahan bahasa Indonesia, “Joko: Saya Tidak Baca Apa Yang Saya Tanda Tangani”.

Artikel tersebut berisi ulasan mengenai kenaikan tunjangan uang muka pembelian mobil bagi pejabat. Jokowi berdalih bahwa beliau tidak mungkin mengecek satu per satu halaman yang harus ia tanda tangani. Dulu, publik beranggapan bahwa kesalahan ini bagian dari sifat ‘manusiawi’.

Namun, setelah perjalanan panjang kepemimpinan Presiden Jokowi selama dua periode atau sudah kurang lebih berjalan selama 8 tahun ini, ternyata publik semakin tersadarkan, bahwa hal itu bukanlah suatu sifat yang manusiawi lagi, melainkan sebuah pola atau kebiasaan atau bisa jadi memang perilaku yang dibiasakan oleh Presiden Jokowi.

Sepanjang perjalanan di bawah kepemimpinan beliau, entah sudah berapa kebijakan yang di-tandatangani tanpa (katanya) dibaca dulu. Tentu ingatan publik masih sehat mengingat bagaimana seringnya Presiden Jokowi kaget atas kenaikan suatu harga komoditi di tengah-tengah masyarakat, seolah kebijakan itu mengalir dari kementerian langsung ke pasar, tanpa melalui Presiden dulu. Padahal setiap kebijakan publik apalagi terkait kenaikan harga maka akan di proses dalam sidang kabinet yang dipimpin oleh Presiden, atau setidaknya sesuai laporan dari menteri. Seperti yang baru-baru ini terjadi. Presiden Jokowi merasa heran atas kenaikan harga BBM jenis Pertamax.

Dilansir dari CNNIndonesia.com, (6/4)–Presiden Jokowi mengungkapkan kekesalannya pada menteri yang bersangkutan, "Tidak ada stetmen, tidak ada komunikasi, harga minyak goreng sudah naik empat bulan tidak ada penjelasan apa-apa. Kenapa ini terjadi. Kedua, Pertamax, menteri juga tidak memberikan penjelasan apa-apa." Ungkapan kekesalan ini justru makin terlihat seperti sebuah lipservice semata.

Bahkan mantan sekretaris Kementerian BUMN, Muhammad Said Didu ikut menanggapi hal tersebut dan menilai bahwa seharusnya kenaikan harga BBM harus berdasarkan sidang kabinet yang dipimpin Presiden Jokowi. Sehingga Presiden Jokowi semestinya sudah tahu lebih awal, dengan begitu harusnya mampu mengkoordinasi kementerian terkait untuk mensosialisasikan kenaikan harga BBM sedini mungkin juga kepada masyarakat.

Atas dasar ini, publik pun bertanya, apakah setingkat pejabat publik dengan kebijakan urgen seperti ini bisa mengalami miskomunikasi, atau apakah Presiden Jokowi tidak membaca apa yang telah ditandatanganinya? Yang lebih membuat publik kaget adalah mencuat isu naiknya gaji direksi dan pegawai Pertamina di tengah kenaikan harga BBM.

Inilah manifestasi sistem kapitalisme dalam kepemimpinan pemerintahan yang ada di negeri ini. Kapitalisme yang legitimasinya adalah materi, untung dan rugi. Sehingga pemimpin dan para pejabat publik yang dilahirkan pun adalah sosok-sosok yang miskin empati dan hanya mementingkan keuntungan pribadi dan kelompoknya.

Pemerintah beserta pejabat publik dalam sistem ini tidak lagi memahami tugas dan fungsinya yakni melindungi dan melayani masyarakat dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasar yang sudah menjadi hak masyarakat. Jangankan memenuhi dengan layak, memenuhi dengan harga terjangkau pun pemerintah tidak mampu, bahkan mengaku kalah dengan mafia-mafia distributor dan impor dari luar negeri. 

Padahal, negeri ini kaya dengan sumber daya alam. Perkebunan kelapa sawit, tambang minyak bumi, tambang gas bumi, dan sebagainya, semua ada di negeri ini. Tapi mengapa rakyatnya tak dapat menikmati hasil kekayaan alam tersebut? Sekali lagi, karena sistem yang diadopsi adalah sistem kapitalisme. Sistem yang di-poweri oleh para kapitalis yang berkoalisi dengan penguasa.

Alhasil, sumber daya alam melimpah yang seharusnya dikelola oleh negara lalu hasilnya dikembalikan untuk pemenuhan hajat publik pun di-kapitalisasi, eksploitasi dan dikuasai oleh segelintir elite, korporasi, dan asing. Maka tak heran harga-harga kebutuhan pokok seperti, minyak makan, BBM, dan gas menjadi mahal, karena ada skema loss and profit (untung rugi) dari pendistributoran barang-barang tersebut ke tengah-tengah masyarakat.
Akibatnya masyarakat menjadi kesulitan mendapatkan kebutuhan hidup yang layak dan terjangkau.

Padahal dalam sistem pemerintahan Islam, pengelolaan sumber daya alam telah diatur sedemikian rupa agar sesuai fungsinya yakni untuk pemenuhan hajat publik. Desain pengelolaan sumber daya alam dalam Islam terbagi atas tiga sumber, yakni air, padang dan api. Seperti dalam hadits Rasulullah, “Manusia berserikat dalam tiga perkara, yaitu padang rumput, air, dan api." (HR. Abu Dawud dan Ahmad)

Api yang dimaksud dalam hadits ini ialah berupa tambang minyak, tambang gas, dan batu bara. Sebagaimana api tersebut merupakan kepemilikan umum, maka negara wajib mengelolanya secara mandiri dengan melibatkan tenaga ahli maupun tenaga kasar dari masyarakat itu sendiri. Serta sumber daya alam ini tidak boleh diserahkan menjadi hak milik ataupun dikelola oleh perorangan, korporasi apalagi asing. Hasil pengelolaannya pun harus diberikan untuk kemaslahatan rakyat.

Dengan begitu, negara tidak bergantung pada harga minyak dunia, karena pengelolaannya dilakukan secara mandiri, sehingga rakyat pun tidak perlu merasakan kenaikan harga BBM berkali-kali. Maka untuk merealisasikan hal ini diperlukan sebuah sistem yang baik yang akan mengintegrasikan sosok pemimpin yang baik pula. Sebuah sistem yang berasal dari Penciptanya manusia, yang Maha Pengatur lagi Maha Tahu, Allah Swt.

Ialah Sistem Pemerintahan Islam yang akan melahirkan sosok pemimpin yang amanah dan adil, yang memahami fungsinya sebagai pelayan dan pelindung umat manusia. Yang akan berhati-hati dalam mengeluarkan kebijakan publik karena rasa takutnya pada Sang Pencipta.

Adil dan amanah yang pertama harus ia laksanakan adalah menjalankan segala hukum syara’ dalam kepemimpinannya. Dengan begitu, secara otomatis ia akan mewujudkan keadilan di tengah-tengah masyarakatnya. Karena hukum-hukum syara’ itu sendiri mengandung keadilan di dalamnya apabila diterapkan secara kafah. Wallahu a'lam.[IRP]

Posting Komentar

0 Komentar