Subscribe Us

TAWURAN PELAJAR MARAK TERJADI, SALAH SIAPA?

Oleh Jihan
(Pengiat Literasi)


Vivisualiterasi.com-Akal anak-anak itu ibarat tanah kosong, jika tidak ditanami apa-apa akan muncul rumput. Ketika kita tanami saja, rumput akan tetap muncul apalagi jika tidak ditanami. Tentunya makin banyak rumput liar, hama, dan sebagainya. Sampai-sampai kita tak dapat mengendalikannya. 

Dari sinilah, orang tua seharusnya mengisi tanah kosong tersebut dengan hal-hal kebenaran serta  kebaikan. Jika tidak, keburukan dan kedustaan itulah yang akan mengisinya hingga kita tidak dapat lagi mengontrolnya. Sayangnya hal ini tidak terjadi pada anak-anak yang melakukan tawuran.

Tim Patroli Perintis Presisi Polres Metro Depok menangkap tujuh pemuda yang hendak tawuran. Para ABG itu diketahui tengah siaran langsung di media sosial untuk mencari lawan tawuran.
Katim Perintis Presisi Polres Metro Depok, Iptu Winam Agus mengatakan kelompok ABG ini ditangkap saat mencari lawan tawuran di Jalan Cagar Alam, Depok. Kata Winam, mereka berkeliling mencari lawan sambil menyiarkan di akun Instagramnya. (detik.news.com, 07/2/2022)

Perilaku Menyimpang, Potret Pendidikan Moral Memudar

Sekilas, media sosial hadir memberikan kemudahan dan manfaat yang baik bagi masyarakat. Namun, memberikan dampak negatif pula bagi anak muda. Kasus tawuran di atas membuktikan dampak negatif dari salah satu media sosial yang dipicu keinginan mencari perhatian dengan melakukan hal yang tak biasa dan masalah harga diri. 

Apabila kita analisis, pelaku tawuran lebih sering terjadi pada rentan usia 9-17 tahun. Dimana usia seperti ini merupakan usia paling kritis. Sebab, mereka masih dalam tahap mencari jati diri dan biasanya bervariasi dalam perkembangannya. Beberapa anak masih tampak seperti anak-anak dan yang lainnya sudah mulai beranjak dewasa. Sebagian lain belum baligh, sementara sisanya sudah menjajaki masa itu dengan perubahan bentuk tubuh, fluktuasi emosi, penyesuaian sikap, dan mulai berpikir logis.

Banyak analisis para ahli menyatakan bahwa usia 9-17 tahun ini biasanya memiliki sifat dan karakteristik yang sangat berbeda. Mereka memiliki ambisi besar, sangat menyukai kebebasan (kebebasan berpendapat,  berekspresi, kepemilikan, dan beragama). Ditambah mereka lahir di era modern maka memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan memiliki sikap optimis dalam berbagai hal.

Usia ini dilabeli sebagai usia yang minim batasan (boundary-less ages). Satu hal yang menonjol dari anak-anak usia ini, mampu memanfaatkan perubahan teknologi dalam berbagai sendi kehidupan mereka. Teknologi digunakan setiap saat, layaknya seperti saat mereka bernafas. 

Teknologi media sosial inilah yang mereka pergunakan untuk menyalurkan kebebasan berekspresi dan kreasi mereka untuk mendapatkan perhatian maupun pengakuan publik. Sayangnya, terkadang saat menyalurkan itu semua tidak sesuai norma hukum maupun moral, yang sering kita temukan. Malah hal-hal yang kurang bermanfaat hingga menimbulkan kerusakan yang tidak terkendali di masyarakat. Orang tua yang seharusnya menjadi kontrol mereka malah membiarkannya tumbuh dan berkembang begitu saja tanpa kontrol.

Dengan terus berulangnya kasus tawuran seperti ini dengan menggunakan senjata tajam hingga memakan korban jiwa, sepatutnya mendorong evaluasi mendasar pada sistem pendidikan pembangunan generasi anak. Baik dalam lingkungan keluarga, masyarakat, dan sekolah itu sendiri. Tak lupa  negara pun membantu dengan kekuatannya agar tercipta generasi yang kuat, tangguh, dan bermanfaat untuk sesama.

Metode Pendidikan Anak Dalam Islam

Sebenarnya banyak dari kisah dalam Al Qur'an, sunah maupun hadis Rasulullah saw. yang bisa kita jadikan teladan dalam mendidik anak. Namun, untuk kali ini penulis ingin menunjukan 'angle' yang berbeda yaitu dari sahabat Rasulullah saw. Ali bin Abi Thalib. Tapi, tetap berdasarkan Al Qur'an, maupun hadis Rasulullah saw. Berikut ini adalah 3 fase mendidik anak, dengan metode Ali bin Abi Thalib:

Pertama, masa dimana kita mendidik anak seperti raja, yaitu usia 0-7 tahun. Di masa itu anak-anak tumbuh dalam segala hal. Dari fisik, yang tumbuh secara besar-besaran sampai otaknya dalam proses berpikir tumbuh hingga nalurinya. Maka, di usia seperti itu banyak memberikan kasih sayang. Sehingga, ia merasa orang tuanya yang paling mencintainya. Di usia-usia itu juga kita banyak memberikan informasi yang baik dan mendekatkannya dengan Al Qur'an. 

Kedua, masa usia 8-14 tahun (prabaligh), yaitu usia mereka mulai diperlakukan tegas atau lembut. Sebab, mulai di kenalkan dengan aturan-aturan terikat kepada syariat. Pada masa ini, sebagai orang tua sudah dapat menghukumnya namun sesuai kadar. Mendidik mereka dengan memberikan tanggung jawab, kesepakatan, dan konsekuensi kepada mereka sehingga hukuman itu dapat ia pahami dan belajar dari kesalahan tersebut.

Ketiga, masa usia 15-20 tahun (pascabaligh) yaitu masa ia sudah dapat bertanggung jawab dengan perbuatanya. Maka, ketika ia di lepas pun dapat mengambil keputusan yang tepat ketika melakukan sebuah perbuatan atau menjauhi sebuah perbuatan. Maka, di masa ini orang tuanya memperlakukan ia layaknya sahabat.

Selain itu, Islam mempunyai sistem pendidikan yang unik dalam bernegara. Semuanya telah diatur dengan jelas, sistematis, dan sempurna dalam Islam. Kurikulum pendidikan Islam berdasarkan akidah Islam dengan strategi pendidikan adalah untuk membentuk ‘aqliyyah dan nafsiyyah Islam. 

Tujuan pendidikan adalah untuk membentuk kepribadian Islam, membekali khalayak ramai dengan ilmu pengetahuan serta sains yang berkaitan dengan masalah kehidupan. Pengajaran sains dan ilmu terapan seperti matematika dan fisika harus dibedakan dengan pengajaran tsaqâfah. Ilmu-ilmu terapan dan sains diajarkan tanpa mengenal peringkat pendidikan, tetapi mengikuti kebutuhan. Tsaqâfah Islam wajib diajarkan pada semua level pendidikan. Tidak ada larangan untuk mendirikan sekolah swasta, tetapi dengan syarat mengikuti kurikulum pendidikan negara dengan tujuan pendidikan yang ada. Dengan syarat, sekolah tersebut bukan sekolah asing. 

Negara juga wajib menjamin pendidikan bagi seluruh rakyat dengan gratis. Mereka diberi kesempatan untuk melanjutkan ke level pendidikan tinggi secara cuma-cuma dengan fasilitas yang terbaik.  Negara menyediakan perpustakaan, laboratorium, dan media belajar-mengajar yang lain disamping membangun sekolah dan universitas. Perlu kita pahami, dari sudut pandang yang berbeda apa yang dibangun oleh lingkungan akan berbeda dengan apa yang di bangun oleh ajaran Islam. 

Inilah gambaran secara umum mengenai sistem pendidikan yang pernah ada dalam Khilafah Islamiyah yang banyak diabadikan dalam buku-buku sejarah peradaban umat Islam. 

Alhasil, Islam menghadirkan solusi atas berbagai persoalan penyimpangan moral pada anak dan menghentikan terjadinya kasus tawuran. Oleh karena itu, kebutuhan akan landasan pendidikan kuat tidak hanya sekadar pengetahuan, melainkan membina dari dari pola pikir dan pola sikap yang benar. Semuanya hanya dapat dirasakan dalam penerapan sistem pendidikan Islam. Wallahua'lam bishawab. [Ng]

Posting Komentar

0 Komentar