Subscribe Us

REVISI LOGO HALAL, PERLUKAH?

Oleh Larasati Putri Nasir
(Kontributor Vivisualiterasi Media)


Vivisualiterasi.com-Halal, kata yang sangat penting bagi setiap muslim. Karena akibat dari kata itu akan berpengaruh pada keimanan seorang muslim. Tuntutan halal bagi seorang muslim dalam kehidupan meliputi makanan, minuman, obat-obatan, dan fashion. Cara termudah membedakannya dengan yang haram adalah terdapat logo penunjuk halal sebagaimana kita kenal. Sebab logo adalah wajah dari sebuah brand atau representasi dari konsep yang hendak diwakili lewat simbol visual. Logo setidaknya perlu memenuhi kriteria: Merepresentasikan brand/produk/konsep yang diwakili dan tidak menimbulkan misinterpretasi, sederhana, agar mudah dikenali dan diingat, unik, atau memiliki distingsi (pembeda) dengan logo lainnya, mudah digunakan atau ditempatkan di berbagai media tanpa menghilangkan bentuk aslinya. 

Kemudian bagaimana dengan logo halal yang kini telah ditetapkan dalam  Keputusan Kepala BPJPH Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Label Halal? Dari 4 kriteria di atas yang telah dipaparkan sebelumnya, mari kita ‘diagnosa’ logo baru halal yang sekarang lagi ramai dibicarakan.

Dilansir dari media antarnews.com, Sabtu (12/3) kemarin Menteri Agama mengatakan, “Bahwa penetapan label halal merupakan bagian dari pelaksanaan Pasal 37 Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal serta Peraturan Pemerintah Nomor 39  Tahun 2021 tentang Penyelenggraan Bidang Jaminan Produk halal. Ia juga menyatakan bahwa label baru ini secara filosofi mengadaptasi nilai-nilai ke Indonesian. Huruf Arab penyusun kata halal terdiri atas ha, lam alif, dan lam di susun dalam bentuk gunungan wayang.”

Kisruh perkara logo halal ini tidak hanya sampai pada bentuk baru model logonya saja namun sampai juga pada huruf Arab pada logo halal yang kini telah ditetapkan tidak menunjukkan kata halal sebab tulisan/khat Halal حلال‎ dengan pilihan bentuk Kufi pada logo Halal yang baru, banyak yang membaca-nya Halak(حلا كـ), karena huruf Lam (Ù„) terakhir seperi huruf Kaf (كـ). Halal (حلال) berarti Boleh (Kamus al Munawwir hal 292) sedang Halak/Halika (ﺣَï» ِﻚَ) berarti Gelap/Gulita (Kamus al Munawwir hal 291). Ini ruang diskusi pertama terkait tentang khat-nya. Karena ada perbedaan makna yang jauh antara Boleh dan Gelap, Kebolehan dan Kegelapan.

Selain tulisan/khatnya, yang menuai kisruh sendiri di masyarakat adalah soal bentuk logo halal menyerupai gunungan ala wayang. Hal ini juga memberikan kesan keterwakilan ‘Jawa’ yang lebih kuat. Beberapa Tweet tentang kesan ini bertebaran di jagat twitter. Menurut keterangan Kemenag, logo ini ingin bertujuan mengakomodasi konsep ‘keindonesiaan’ tetapi pertanyaan lebih lanjut adalah, apakah gunungan wayang dan surjan merepresentasikan itu? 
Perlukah Merevisi Logo?

Logo halal bukan hanya sekadar logo yang tertera pada kemasan makanan, minuman dan lainnya. Namun kebutuhan penting yang harus dipenuhi. Adanya revisi logo halal baru ini yang sebelumnya sudah direvisi juga di tahun 2019 menimbulkan banyak dampak dan tanda tanya dalam benak masyarakat. Mulai dari pemilik usaha yang mengeluhkan logo halal ini karena juga harus merevisi logo halal yang baru dan juga banyak keluhan lainnya. Kemudian tanda tanya besar dari di revisinya logo halal ini terkesan adanya kepentingan-kepentingan yang tidak hanya sekadar mengurusi masalah halal saja. Mulai dari selama ini sertifikasi halal dan logonya berada di bawah kewenangan Lembaga Pengkajian Pangan Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LPPOM MUI). Lembaga kemasyarakatan ini dibentuk pada 1989, pada 1996, peran LPPOM diperkuat dengan penandatanganan nota kesepakatan kerja sama antara Departemen Agama, Departemen Kesehatan, dan MUI. Lalu pada 2001, keluar pula Keputusan Menteri Agama (KMA) 518 dan 519 Tahun 2001 yang menguatkan kewenangan MUI untuk melakukan audit, menetapkan fatwa, dan menerbitkan sertifikat halal. Pada tahun 2014 keluarlah UU 33/2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Selain mewajibkan sertifikasi halal pada produk yang beredar, UU ini juga mengamanatkan pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) yang merupakan Badan Layanan Umum di bawah Kementerian Agama, hanya saja amanat UU JPH ini baru tereksekusi tahun 2019 yaitu dengan keluarnya Peraturan Pemerintah No. 31/2019 dan KMA No. 982/2019 yang mengalihkan otoritas sertifikasi produk halal dari LPPOM MUI kepada BPJPH di bawah Kemenag.Sejak itu, perusahaan yang akan mengajukan pendaftaran perdana atau perpanjangan sertifikasi halal ke Indonesia harus melalui BPJPH. Namun, proses penyusunan fatwa soal kehalalan produknya masih menjadi tanggung jawab MUI. Artinya, BPJPH mengeluarkan sertifikat halal terhadap produk-produk tersebut berdasarkan fatwa dari MUI.

Dari semua ini, telah nampak jelas bahwa sertifikasi halal bukan semata demi menjamin dan memastikan kehalalan produk atas dasar iman. Bukan pula demi mengakomodasi kepentingan umat Islam akan produk halal, melainkan sekadar formalisasi dan labelisasi demi merebut pasar umat Islam yang sangat besar, serta demi target menggenjot pertumbuhan ekonomi nasional dan daya saing global.

Yang seharusnya, jaminan halal pada produk sejatinya tidak dijalankan karena hanya formalitas, labelisasi, dan soal target pasar umat Islam yang sangat besar. Namun lebih daripada itu, jaminan halal adalah hak rakyat atas pemimpinnya. Karena itu mestinya negara wajib mengupayakan segala hal untuk menyediakan dan memastikan semua yang akan menjadi bahan konsumsi rakyatnya telah terjamin kehalalannya bukan hanya sekedar logo saja.

Sebab revisi logo halal kini agaknya tidaklah diperlukan mengingat kondisi dan situasi negara hari ini sangatlah lebih perlu menjadi perhatian lebih negara, mulai dari problem minyak goreng, kemiskinan yang terus terjadi, dan masalah pandemi yang tidak pernah usai titik penanganannya. Dengan di-revisinya logo halal hari  ini yang sangat terkesan tidak menunjukkan keseriusan negara dalam mengurusi masalah umat tapi sangat jelas menunjukkan dengan penerapan sistem sekuler neoliberal yang ada hari ini membuat umat hidup dalam kesempitan. Kehalalan dan keharaman bercampur di dalam banyak hal, tidak jarang sangat sulit dibedakan.

Sehingga umat seharusnya sudah harus bisa melihat dengan jelas bahwa hanya dengan system Islam kafah dengan di bawah akomodir seorang Khalifah yang berdiri tegak dengan akidah Islam, iman dan ketakwaannya akan memastikan lebih serius penegakan seluruh aturan yang mengurusi umat yang tidak hanya sekadar berjalan sebagai formalitas saja, namun dengan benar-benar mengurus umat demi kesejahteraan dan penjaminan atas umat termasuk masalah menjamin produk halal untuk umat. Wallahua'lam.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar