Subscribe Us

REGULASI AZAN HINGGA LABEL PENCERAMAH RADIKAL, SYIAR ISLAM TERUS DICEKAL

Oleh Sri Haryati
(Aktivis Muslimah dan Member AMK


Vivisualiterasi.com-Azan merupakan panggilan bagi umat Islam untuk melaksanakan salat fardu. Azan dikumandangkan oleh seorang muazin setiap memasuki waktu salat dengan tujuan memberitahu umat muslim untuk bersiap menunaikan salat. Namun, belum lama ini masyarakat dibuat kesal. Pasalnya suara azan disamakan dengan gonggongan anjing. Sungguh tak pantas pernyataan itu keluar dari mulut seorang pejabat negara yang seharusnya mengayomi umat mayoritas di negeri ini. 

Pernyataan yang dilontarkan telah menyakiti dan membuat umat kesal. Selain itu, beliau berulang kali membuat usulan yang kontroversial. Sebelumnya, Menag pernah mencetuskan ide agar doa semua agama dibacakan dalam acara yang digelar Kementerian Agama. Sungguh tak masuk akal.

Selain itu, usulan kenaikan biaya haji untuk 2022 sebesar Rp 45.000.000,00 per jamaah. Mungkin tidak menjadi masalah, jika kondisi rakyat sudah pulih dari keterpurukan ekonomi akibat pandemi yang masih melanda negeri. Apalagi ditopang dengan fasilitas yang sangat baik, sehingga kebutuhan para jamaah terpenuhi. Pastilah mereka tidak akan mempermasalahkan kenaikan ini.

Kini, Menag Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan SE Menang No. 5 Tahun 2022 tentang Pedoman Penggunaan Pengeras Suara di masjid dan musala.

Salah satu yang menjadi sorotan adalah aturan penggunaan toa masjid saat azan, volumenya hanya boleh maksimal 100 desibel. Tersirat kekhawatiran jika masjid menggunakan pengeras suara lima kali sehari, dapat mengganggu ketenangan warga dan merusak toleransi antarumat beragama. Padahal, sejak dulu suara azan tidak pernah menjadi masalah besar bagi nonmuslim di negeri ini. Mengapa saat ini dipermasalahkan?

Suara azan sudah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari umat sejak Islam masuk ke Indonesia. Selain sebagai pengingat waktu salat, dapat pula sebagai syiar Islam yang ditujukan kepada umat manusia. Imam an-Nawawi menyebutkan sejumlah hikmah dari azan yakni: menampakkan syiar Islam, berisi kalimat tauhid, pemberitahuan masuknya waktu salat dan tempatnya, serta doa bagi jamaah. (Syarh an-Nawawi ’ala Muslim, 4/77, Maktabah Syamilah)

Meski menuai polemik, Menag mengatakan bahwa aturan tersebut dikeluarkan demi merawat persaudaraan dan harmoni di masyarakat. Mengingat, penduduk di Indonesia tidak hanya umat Islam tetapi dengan ragam agama dan keyakinan. 

Pihak yang pro dengan regulasi tersebut salah satunya Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Amany Lubis, MA. Beliau menyambut positif diterbitkannya Surat Edaran (SE) Menag. Menurutnya sudah menjadi kewajiban Kemenag untuk mengatur secara sistemik hal yang terkait pendirian dan pengelolaan rumah ibadah dari semua agama. Penduduk Indonesia terdiri dari berbagai agama, yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu. Maka, menjadi penting untuk mengindahkan prinsip multikulturalisme, toleransi, moderasi beragama, dan menjaga tradisi yang berasal dari nenek moyang setiap suku bangsa. (m.medcom.id, 28/2/2022)

Berbeda halnya dengan Ketua Komisi VIII DPR RI, Yandri Susanto, menilai bahwa aturan soal pengeras suara tersebut tidak bisa digeneralisir untuk diterapkan di seluruh Indonesia. Ada beberapa daerah di Indonesia yang tidak bisa diatur soal pengeras suara di masjid terutama saat azan. Misalkan di Sumbar, di Aceh, di pondok pesantren, itu sudah menjadi budaya, bagian dari kearifan lokal. Tapi misalnya di Bali, Sulut, NTT, dan Papua toleransinya sudah bagus. Oleh karena itu, ia meminta kepada Kementerian Agama terutama Menag Yaqut Cholil Qoumas agar merevisi aturan tersebut. (suara.com, 26/2/2022)

Alasan bahwa suara azan yang keras mengganggu kalangan nonmuslim sangatlah tidak tepat. Begitu pun dengan pendapat bahwa azan tidak diperlukan karena Allah tidak tuli, sangatlah keliru. Sejatinya azan bukan untuk memanggil Allah tetapi ditujukan kepada kaum muslim. Nabi saw. justru memerintahkan agar suara azan dikumandangkan, karena merupakan panggilan salat lima waktu untuk umat muslim. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,

Jika waktu salat telah tiba, salah seorang di antara kalian hendaknya mengumandangkan azan untuk kalian dan yang paling tua di antara kalian menjadi imam kalian. (HR. Bukhari dan Muslim)

Apapun alasannya, regulasi ini sangat merugikan umat Islam. Bahkan banyak ulama yang masuk daftar penceramah intoleran dan radikal. Syiar Islam terus dicekal dengan berbagai propaganda asing dan musuh-musuh Islam. Sekalipun Indonesia mayoritas dan dipimpin oleh pemimpin muslim, bahkan pejabat negara pun didominasi muslim, ternyata tidak menjamin umat Islam dapat hidup tenang dan damai dalam melaksanakan ajaran agamanya. Nampak jelas rezim saat ini sering menyudutkan umat, merugikannya dengan berbagai stigma negatif. Umat Islam dianggap intoleran, radikal, teroris, anti-Pancasila, dan pemecah belah NKRI. Hanya karena mereka teguh menyampaikan amar makruf nahi mungkar, sekalipun kepada pemimpin negeri. Mirisnya, Islam sebagai agama mayoritas di negeri ini tapi umatnya terdiskriminasi. 

Mereka tidak menerima jika umat Islam lebih memilih aturan yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah. Mereka menganggap umat Islam yang teguh dan menginginkan syariah tegak, sebagai Islam radikal bahkan dianggap anti-Pancasila dan teroris. Sudah sangat jelas, misi mereka tak lain ingin menjauhkan umat Islam dari ruh Islamnya. 

Inilah dampak dari sekularisme, yaitu pemisahan agama dari kehidupan. Baik kehidupan bernegara, berpolitik, muamalah, dan lain sebagainya. Akibat sekularisme, ibadah dipandang sebagai urusan pribadi. Tidak ada yang berhak memaksa, termasuk negara. Karena itu tidak sedikit umat Islam yang meninggalkan salat dengan enteng tanpa rasa berdosa.

Sekularisme juga melahirkan pluralisme hingga sinkretisme. Tidak sedikit umat Islam yang mencampuradukkan ibadah dan keyakinan mereka dengan umat lain. Saat Natal tidak sedikit pejabat negara yang menghimbau agar umat Islam mau mengucapkan selamat Natal sebagai bentuk toleransi beragama. Seperti di Bali, setiap tahun umat muslim dipaksa untuk mematuhi aturan umat Hindu saat Hari Raya Nyepi. Mengapa hal ini tidak dipersoalkan oleh Kementerian Agama?

Sekularisme di negeri ini mengakibatkan umat Islam rentan mengalami pemurtadan. Ini menandakan lemahnya pembinaan dan perlindungan negara terhadap keimanan mereka. Ini juga dampak dari umat Islam tidak memiliki pemimpin yang menerapkan Islam secara kafah. Umat Islam menjadi tak berdaya oleh musuh-musuh Islam, bahkan oleh orang-orang munafik yang dengan suka hati mempersoalkan syiar Islam yang telah berjalan sekian lama. 

Umat Islam tidak memiliki pelindung (junnah) sejak kekhalifahan Turki Utsmani runtuh 13 Maret 1924 M, oleh Mustafa Kemal Ataturk agen Inggris. Sistem pemerintahan Islam yakni, khilafah diganti menjadi sistem pemerintahan Republik. Mustafa Kemal menerapkan sekularisasi secara masif di Turki, hukum-hukum dan kebudayaan Barat diadopsi, simbol-simbol dan syiar Islam dikebiri. Umat Islam dijauhkan dari agamanya, bahasa Arab diganti dengan bahasa Turki sebagai bahasa resmi, hingga pelafalan Azan diganti dengan bahasa Turki.

Selama 101 tahun umat Islam tak berdaya, menjadi objek diskriminasi, penindasan, islamofobia, dibantai, dirampas negerinya, kekayaan alamnya, hingga genosida di negara minoritas muslim. Penghormatan terhadap simbol dan syiar Islam tidak lagi ada meskipun itu di negara mayoritas muslim. Beginilah nasib umat di bawah sistem pemerintahan yang kufur, menjalankan ketakwaan individu saja dipersulit. Toleransi hanya omong kosong belaka, tidak berlaku untuk umat Islam dimana pun berada.

Akan berbeda jika syariah Islam diterapkan dalam kehidupan bernegara, ketika khilafah menerapkan syariah Islam, persoalan yang dihadapi umat akan terselesaikan. Khilafah tidak akan membiarkan ada muslim yang tidak menunaikan kewajiban ibadah seperti salat lima waktu. Sekularisme tidak akan dibiarkan tumbuh subur, bahkan akan dilenyapkan.

Sudah saatnya umat kembali kepada sistem Islam di bawah naungan Daulah Khilafah Islamiyah, karena terbukti mampu menjaga kesatuan antarumat beragama. Islam sangat menghargai keberagaman budaya, suku, dan agama. Sejarah mencatat bagaimana Islam memperlakukan nonmuslim pada masa kejayaannya, mereka hidup damai, saling berdampingan, mendapatkan jaminan keamanan dan kesejahteraan yang sama. 

Wallahu a’lam Bishawwab.

Posting Komentar

2 Komentar

  1. Barakallah semangat bersama mencerahkan umat dengan cahaya Islam, sukses selalu aamiin

    BalasHapus