Subscribe Us

METAVERSE DIBALIK KAPITALISME

Oleh Supartini Gusniawati, S. Pd.
(Aktivis Muslimah Kab. Bandung)


Vivisualiterasi.com-Sejak Mark Zuckerberg mengganti nama perusahan induk Facebook Inc. dengan Meta, istilah Metaverse menjadi tren di kalangan milenial dan zilenial yang tak luput dari pro dan kontra. Tema Metaverse sendiri pada awalnya muncul dalam novel Snow Crash karya Neal Stephenson yang diterbitkan tahun 1992. 

Metaverse adalah seperangkat ruang virtual yang dapat diciptakan dan dijelajahi dengan orang lain yang tidak berada di ruang fisik yang sama. Diwakili dengan avatar untuk melakukan aktivitas layaknya dunia nyata, misalnya berbisnis, belajar mengajar, berbelanja, membuat karya seni, berolahraga, berekreasi, bahkan berpetualang di dunia yang sebelumya hanya bisa kita lihat di layar kaca. (Sukabumiupdate.com, 12/12/2021)

Metaverse terasa semakin nyata dalam cengkeraman kapitalisme digital. Ditopang dengan aktualisasi internet, basic medsos dan produk-produk digital seperti AR, VR, Web 3.0, sistem blockchain dan cryptocurrency sebagai pendukung Metaverse ikut berkembang. Maka tak heran jika berbagai perusahaan raksasa digital rela menggelontorkan modal yang fantastis demi mewujudkan Metaverse. 

Disarikan dari laman techno.okezone.com (30/12/2021), sebagai pelopor Metaverse, Mark Zuckerberg menggelontorkan dana sebanyak 10 miliar USD atau setara dengan Rp.140 triliun untuk mengembangkannya. Tak mau ketinggalan, Apple juga telah berupaya menguatkan dan mengembangkan Metaverse-nya, yakni berencana meluncurkan AR dan VR mirip dengan Facebook dengan perkiraan biaya 30,7 miliar dollar atau 427 triliun. 

Sedangkan Microsoft lebih fokus dengan perangkat lunak kolaboratif teams-nya yang dioptimalkan untuk bekerja dengan menjadikan avatar virtual di ruang kerja fantasi yang menjadikan program ini selangkah lebih maju dibandingkan Facebook. Lain halnya dengan platform game Roblox Corporation yang telah go public menggambarkan Metaverse sebagai tempat orang-orang berkumpul bersama dalam jutaan pengalaman 3D untuk belajar, bekerja, bermain, berkreasi dan bersosialisasi. Sedangkan Nvidia Corp membangun Platform Metaverse-nya untuk simulasi proyek konstruksi dan pabrik. 

Bagaimana dengan Indonesia? Tentunya para kapitalis tak akan pernah melewatkan peluang ini. Diwakili oleh WIR Group sebagai salah satu perusahaan teknologi perangkat lunak asal Indonesia, prototipe Metaverse Indonesia akan diperkenalkan pada perhelatan presidensi G20 Indonesia 2022. Wir Group akan mengajak perusahaan global Meta dan Microsoft sebagai perangkat keras seperti kacamata AR dan VR. (mediaIndonesia.com, 17/1/2022).

Gagasan Ambisius Demi Keuntungan Fantastis

Proses merealisasikan Metaverse oleh Facebook sebenarnya merupakan pelaksanaan praktik kapitalisme digital yang merupakan langkah lanjutan dari kapitalisme yang menitikberatkan proses produksinya pada penjualan komoditas digital sambil tetap mempertahankan dinamika dasar kapitalisme (Rivera 2020, 726). Facebook dengan Metaverse-nya bertujuan untuk meningkatkan pendapatan mereka melalui iklan digital karena pendapatan Facebook yang berasal dari Facebook Ads turun. Demi menjaga kestabilan dan eksistensi perusahaan, Metaverse menjadi sebuah solusi jangka pendek untuk menyelamatkan Facebook. Impulsivitas Facebook dalam peluncuran Metaverse menunjukkan bahwa raksasa teknologi akan selalu oportunis; janji mereka untuk menjadikan dunia lebih baik hanyalah iming-iming yang akan menggerus kehidupan yang tertindas–terutama keterasingan dalam kehidupan modern yang terdigitalisasi. (Culliford dan Balu, 2021)

Ambisi merealisasikan Metaverse bukan hanya dimiliki oleh Facebook saja. Sebab, kaidah kapitalisme memaksakan perusahaan agar tidak ketinggalan peluang untuk memperoleh keuntungan. Siapa yang akan diuntungkan dari proyek Metaverse ini? Tentulah para tuan tanah atau lebih tepatnya perusahaan pembangun Metaverse itu sendiri. Lalu bagaimana dengan posisi umat Islam? Apakah Metaverse berbahaya untuk umat Islam?

Bahaya di Balik Ilusi Metaverse 

Metaverse dalam cengkeraman kapitalisme memandang bahwa teknologi adalah alat untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya, tanpa memperhatikan aspek-aspek yang lainnya. Menurut Louis Rosenberg, penemu sistem AR, AR bisa lebih berbahaya daripada media sosial karena AR dan Metaverse bertujuan untuk menyajikan konten dalam bentuk yang paling alami, memanipulasi manusia ke tingkat yang lebih berbahaya, dan membuat candu akan dunia maya karena melepas kacamata AR berarti akan dirugikan secara sosial, ekonomi, dan intelektual. Bahkan ia pun memperingatkan bahwa Metaverse mudah digunakan untuk memecah masyarakat dan menabur perpecahan di antara manusia itu sendiri. (tekno.tempo.co, 25/11/2021)

Menguatkan pendapat Louis Rosenberg, Pakar komunikasi dari UI Firman Kurniawan mengingatkan bahaya dari Metaverse yang meliputi aspek psikologis personal yaitu kecanduan dan depresi, misalnya kasus pelecehan seksual digital di Amerika Serikat; berbahaya pula dalam aspek sosial hingga politik. (detiknews.com, 21/01/2022). Wacana Metaverse ini tentu lebih berbahaya lagi bagi umat Islam. Banyak sekali kemadharatan yang disebabkan oleh Metaverse bagi umat Islam, di antaranya:

Pertama, mengalihkan konsep penerapan Islam yang nyata menjadi virtual. Tentu hal ini bertentangan dengan syariat Islam. Maka tak heran pro kontra haji virtual, nikah virtual, begitu ditentang karena nyata-nyata bertentangan dengan syariat Islam yang mensyaratkan untuk pelaksanaan ibadah secara langsung, tidak sah bila diwakili secara virtual. Dikhawatirkan hal ini meluas ke ranah yang lainnya seperti interaksi, ibadah, dan muamalah.

Kedua, dalam hal ekonomi yang menggiurkan kawula muda dengan iming-iming menjadi crazy rich yang instan melalui system cryptocurrency, NFT dan bitchoin. Namun harta tersebut adalah batil. Mengutip pernyataan Syaikh Atha bin Khalil Abu Ar Rasytah, bitcoin (termasuk NFT dan cryptocurrency) itu majhul, tidak ada yang menjaminnya, dan berpotensi menimbulkan aktivitas gambling dan penipuan, serta sangat rawan dimanfaatkan untuk merampok kekayaan masyarakat (muslimahnews.net, 15/2/2022). Maka, harta atau kekayaan yang kita miliki dari hasil bitcoin adalah harta yang haram.

Ketiga, dalam aspek akidah, rasa candu dan dominasi fantasi bisa menjebak manusia menjadi lalai dari Allah Swt. Ia akan terus mengikuti bahkan mengimani hawa nafsu dari sisi imajinasi dan angan-angan yang terus dibisikkan oleh setan. Ini adalah puncak dari segala bahaya Metaverse. Selain itu, menjauhkan agama dari kehidupan umat Islam, menjauhkan umat Islam dari Allah, Al-Qur’an dan hukum-hukum Islam, bahkan berbagai praktiknya telah nyata bertentangan dengan syariat Islam.

Teknologi dalam Pandangan Islam

Dalam Islam sendiri, Al-Qur’an tidak pernah mengekang umatnya untuk maju dan modern, justru sangat mendukung kemajuan umatnya termasuk dalam bidang teknologi. Bagi Islam, teknologi merupakan bagian dari ayat-ayat Allah yang perlu kita gali dan cari kebenarannya, misalnya dalam ayat surat ali Imran ayat 190-191:

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi seraya berkata: ‘Ya Tuhan Kami, tiadalah engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha suci engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’”

Sains teknologi dan produknya merupakan madaniyah ‘am, yaitu benda yang tidak ada sangkut paut dengan hadlarah. Sebagaimana Imam Taqiyuddin An Nabhani dalam kitab Nizhamul Islam menyebutkan bahwa, “Sedangkan bentuk-bentuk madaniyah yang menjadi produk kemajuan sains dan perkembangan teknologi/industri tergolong madaniyah yang bersifat umum, milik seluruh umat manusia.” Madaniyah itu sendiri merupakan bentuk-bentuk fisik berupa benda-benda yang terindra dan digunakan dalam kehidupan yang meliputi seluruh aktivitas kehidupan. Maka dengan hal ini jelaslah sudah bahwa produk dari sains dan teknologi dalam pandangan Islam adalah boleh/mubah.

Kecuali madaniyah yang khas dengan hadharah tertentu maka hukumnya menjadi haram. Hal ini pun sesuai dengan kaidah ushul yang menetapkan bahwa: asal dari benda adalah mubah/boleh, kecuali ada qarinah/indikasi yang mengharamkannya. 
 
Khilafah Mengatur Teknologi

Khilafah adalah institusi yang menjadi pengatur dan pelindung umat manusia dalam berbagai aspek kehidupan termasuk dalam hal teknologi. Sebagai penanggung jawab atas akibat teknologi, Khilafah memastikan seluruh politik pendidikan dan perindustrian akan disinergikan untuk mewujudkan maqashidus syariah. Dalam Khilafah, dari sisi sumber daya manusia tidak boleh hanya sekadar ‘pekerja’ atau ‘penikmat’ alias konsumen atas produk dan layanan teknologi, melainkan harus menjadi pionir dalam hal teknologi. 

Untuk mambangun SDM yang mumpuni dalam menguasai teknologi, Khilafah akan membangun sistem pendidikan yang visioner sejak dari level dasar, menengah sampai pendidikan tinggi. Falsafah pendidikannya bersumber dari aqidah Islam, sehingga lahir generasi berkualitas yang bermental pemimpin dan berintegritas mukmin, dengan berbagai keahlian dan bidang kepakaran.

Sedangkan dari sisi produk teknologi hasil rekayasa, sains dianggap bersifat netral, tergantung dari pemanfaatan apakah untuk alat menambah ketaatan ataukah sebagai jalan kemaksiatan. Maka sejatinya Khilafah akan mengarahkan, mengatur dan mengontrol teknologi digital atau Metaverse agar dimanfaatkan untuk kemaslahatan yang dibenarkan oleh syariat Islam, misalnya: mempermudah urusan pelayanan administrasi, edukasi pra pelaksanaan ibadah seperti manasik haji, memperkuat sistem industri peperangan, dan memperluas dakwah dan jihad kaum muslimin. Sehingga, hadirnya teknologi mutakhir memberikan kesejahteraan dan kemudahan bagi kaum muslimin.

Sikap Kaum Muslim Menghadapi Metaverse 

Sebagai seorang muslim, kita wajib menyandarkan seluruh aktivitas kita kepada hukum syara'. Begitu pula dalam menghadapi Metaverse ini, dengan cara:

Pertama, meninggalkannya karena teknologi digital ini menimbulkan banyak kemudharatan, baik dalam media sosial atau pun Metaverse. Prinsip itu pun harus tetap dipegang, karena setiap perbuatan kita dalam memanfaatkannya akan dimintai pertanggungjawaban. 

Kedua, jika dikaitkan dengan kondisi saat ini di mana Khilafah belum tegak kembali, seyogyanya umat Islam melek dengan teknologi digital untuk mempercepat arus opini penerapan syariat Islam secara kafah. Karena sejatinya, kebahagian hakiki itu bukanlah sekadar memuaskan ilusi dan imajinasi manusia, melainkan mampu merealisasikan ketaatan dalam dunia nyata, menyiapkan umat yang taat sehingga mampu bangkit dan menguasai dunia dengan sistem Islam yang rahmatan lil alamin. 

Ketiga, individu muslim mesti menempatkan skala prioritas dari penggunaan teknologi yang ada, jangan sampai gaya hidup lebih diprioritaskan ketimbang kebutuhan hidup. 

Keempat, negara wajib untuk memastikan pemahaman rakyatnya mengenai pandangan syariat dari pemanfaatan teknologi mana pun termasuk teknologi digital. Negara pun tidak boleh latah dengan Metaverse ini, karena sebelum berambisi membangun Metaverse, kewajiban menyelesaikan masalah di dunia nyata seperti kemiskinan, pendidikan, kesehatan, dan lain-lain lebih penting daripada sekadar ‘terlihat modern’ hanya dengan ilusi dan iming-iming Metaverse. Wallahu a’lam bish-shawab.[NFY]

Posting Komentar

0 Komentar