Subscribe Us

OMICRON HADIR, UMAT DIRUGIKAN

Oleh Fathiya hasan 
(Aktivis Menulis Kreatif)


Vivisualiterasi.com-Kasus Covid-19 tahun ini tengah memasuki gelombang ketiga. Kali ini diwarnai varian baru bernama Omicron. Tak ayal hal ini membuat masyarakat mengeluh karena Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) kembali diperketat levelnya. Namun yang paling sedih adalah umat Islam, karena pengetatan PPKM terjadi tepat menjelang perayaan dua kegiatan keagamaan yaitu Ramadan dan Idulfitri.

Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Siti Nadia Tarmizi mengatakan, trend peningkatan kasus Covid-19 varian Omicron akan lebih cepat dibandingkan Delta. Sehingga diprediksi puncak lonjakan kasus terjadi dua sampai tiga pekan ke depan atau di awal Maret 2022 (msn.com, 10/02/2022). Artinya, pelaksanaan Ramadan dan Idulfitri kembali tidak bisa dilaksanakan dengan normal oleh umat Islam. 

Terkait hal ini, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengeluarkan surat edaran (SE) Nomor SE.04 Tahun 2022 tentang Pelaksanaan Kegiatan Peribadatan/Keagamaan di Tempat Ibadah pada Masa PPKM Level 3, Level 2, dan Level 1 Covid-19, Optimalisasi Posko Penanganan Covid-19 di Tingkat Desa dan Kelurahan, serta Penerapan Protokol Kesehatan 5M. Dalam surat edaran ini Yaqut meminta rumah ibadah memperketat prokes di tengah kembali melonjaknya kasus Covid-19 akibat adanya varian Omicron. Ketentuan dalam SE tersebut hampir sama dengan surat edaran sebelumnya, yaitu SE.13 Tahun 2021. Perbedaaanya adalah penentuan kapasitas rumah ibadah disamaratakan berdasarkan level PPKM. (republika.id,07/02/2022)

Dalam SE kali ini masyarakat dapat mengadakan kegiatan peribadatan berjamaah selama masa PPKM dengan ketentuan sebagai berikut:

Untuk wilayah PPKM Level 3, jumlah jamaah dibatasi maksimal 50 persen dari kapasitas dan paling banyak 50 orang. PPKM level 2, jumlah jamaah maksimal 75 persen dari kapasitas dan paling banyak 75 orang. Sementara PPKM level 1, jumlah jamaah maksimal 75 persen dari kapasitas. Kesemuanya ini dilaksanakan dengan menerapkan protokol kesehatan secara lebih ketat. Selain itu Menag juga meminta pengurus dan pengelola tempat ibadah menyiapkan, mensosialisasikan, dan mensimulasikan penggunaan aplikasi Peduli Lindungi. (suara.com, 07/02/2022)

Munculnya gelombang ketiga Covid-19 yang bertepatan dengan perayaan keagamaan umat Islam tak hanya membuat sedih, namun umat juga kecewa. Sehingga muncul kecurigaan masyarakat bahwa ada konspirasi yang dilakukan untuk menghalangi kaum muslimin dalam ibadahnya. Hal ini didukung oleh fakta setiap perayaan keagamaan umat Islam selalu saja ada tuntutan dari pemerintah untuk memperketat prokes bahkan menggeser hari raya tersebut. Ibarat anak tiri, perlakuan tersebut berbeda dengan perayaan agama lain, yang selalu dinilai aman dan tak pernah bergeser. Kerumunan yang terjadi dalam perayaan agama lain tak dipermasalahkan. Kalaupun menjadi masalah hanya dikenakan sanksi yang ringan. Namun, jika umat Islam yang melakukan kesalahan bisa berujung dengan pembubaran bahkan denda yang besar.

Penanganan Salah Sejak Awal

Terlepas dari itu semua, secara akumulatif penanganan pencegahan virus Covid-19 oleh pemerintah sangat tidak maksimal. Jika kita mengingat kembali bahwa munculnya kasus Omicron pertama kali ke tanah air ditemukan pada 15 Desember 2021 dengan 1 pasien terkonfirmasi. Pasca hal itu disampaikan, kerumunan pada perayaan agama besar atau lainnya tetap berlangsung. Aturan pengetatan pun tak terjadi saat itu. Hingga kemudian muncul prediksi dari Kementerian Kesehatan bahwa lonjakan kasus Covid-19 varian omicron akan terjadi tiga bulan ke depan atau tepatnya di awal Maret 2022 yang bertepatan dengan bulan suci Ramadan. Baru setelah itu pemerintah mengeluarkan aturan pengetatan prokes. Lagi-lagi pembahasan pengetatan prokes untuk masalah ibadah atau tempat ibadah yang lebih massif disosialisasikan. Aktivitas publik lainnya seperti tidak menjadi prioritas, seakan tempat tertular virus terbesar adalah tempat ibadah.

Alih-alih membuat masyarakat nyaman sebagaimana yang menjadi harapan, rakyat justru menjadi kehilangan kepercayaan. Baik itu kepada pemerintah ataupun tentang keyakinan akan bahaya virus ini.

Penanganan pencegahan virus Covid-19 yang kurang tepat telah melukai masyarakat, khususnya kaum muslimin yang akan melaksanakan ibadah tahunannya dengan tidak normal.

Sejatinya pemerintah sejak awal ketika sudah mampu memprediksi kemungkinan buruk, maka solusi yang dilakukan harus lebih cepat dan tepat. Bukan malah menunggu lonjakan terjadi baru menerapkan pengetatan prokes. Karena hal ini bukan membantu menyadarkan masyarakat akan pentingnya prokes. Rakyat justru makin abai dan meninggalkan prokes karena rasa kecewanya.

Sistem yang salah, akan melahirkan solusi yang salah. Berbeda jika sistemnya benar, maka solusi yang dilahirkan tentu tepat dan membuat tenang. Hal ini hanya terjadi jika Islam diterapkan secara kafah dalam bingkai Daulah Khilafah.

Solusi Penanganan Pandemi dalam Negara Khilafah

Dalam negara khilafah, penanganan pandemi Covid-19 ini tentu dilaksanakan dengan tepat. Mulai dari melakukan strategi 3T (testing, tracing, treatment) dengan segera. Pemisahan pasien yang terkonfirmasi positif, dengan pasien yang masih sehat. Pelaksanaan prokes yang ketat dan tepat. Pembatasan wilayah yang terdampak Covid-19 dengan wilayah yang belum terjangkit. Penyediaan fasilitas dan layanan kesehatan serta obat-obatan yang cukup. Memaksimalkan potensi ahli epidemiologi dan imunologi untuk mempelajari virus yang berkembang dan menciptakan vaksin terbaik yang halal. Pelaksanaan testing berupa swab antigen atau PCR juga pemberian vaksin dilakukan secara gratis. Karena jika berbayar maka akan menjadi kendala untuk masyarakat dengan ekonomi rendah. Hal tersebut akan menghambat proses testing dan pencegahan penularan virus atau penguatan imun dari penularan.

Selain itu, pemerintah dalam khilafah akan memenuhi kebutuhan pokok masyarakat karena terhalang tidak bisa bekerja keluar rumah. Dipastikan pula bahwa sumber dana untuk menjalankan keseluruhan mekanisme ini bukan dari pinjaman utang riba luar negeri, melainkan dari keuangan negara (baitul mal) yang salah satunya berasal dari hasil pengelolaan sumber daya alam negara.

Inilah gambaran pelaksanaan pencegahan pandemi dalam khilafah. Pemimpin dalam khilafah bertanggung jawab besar terhadap kesehatan dan keselamatan rakyatnya. Sebagaimana sabda rasulullah saw:

“Setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya…” (HR. Bukhari, Muslim)

Pemimpin dalam khilafah senantiasa memaksimalkan diri untuk mewujudkan kesejahteraan, bukan mengorbankan rakyat untuk kepentingan korporasi atau birokrasi. Pemimpin Islam juga bukan dari kalangan oligarki karena ia adalah pilihan umat yang tanggung jawabnya langsung di hadapan Allah Swt. Dengan adanya pemimpin seperti ini, maka setiap keputusan yang diambil akan diterima oleh rakyatnya dengan sukarela atas dorongan iman bukan keterpaksaan. Karena mereka telah menyerahkan kepengurusannya kepada orang yang mampu memegang amanah karena ketakwaan semata. Bukan karena dunia juga rupiah.

Wallahu'alam bisshowwab.[NFY]

Posting Komentar

0 Komentar