Subscribe Us

SAATNYA MENGGANTI DEMOKRASI DENGAN ISLAM

Oleh Al Azizy Revolusi
(Forum Intelektual Muda Sultra)


Vivisualiterasi.com-Banyak saudara kita yang masih belum tahu ataupun tidak mau tahu, tentang politik dan serba-serbinya. Banyak yang masih menganggap bahwa dunia politik itu kotor, dunia politik itu najis, dan dunia politik itu hanya untuk para bajingan yang gemar bersandiwara. Salah? Tidak salah, jika yang dimaksud adalah sistem politik demokrasi.

Demokrasi, sebagai sebuah sistem kufur yang berasal dari kalangan non muslim, faktanya sampai detik ini masih diterapkan di banyak negeri Islam, termasuk Indonesia. Demokrasi muncul jauh sebelum kedatangan Islam, agama rahmatan lil alamin. Dunia keilmuan modern mengakui bahwa demokrasi pertama kali diperkenalkan oleh para filsuf Yunani di Athena, pada abad ke-5 SM.

Namun tahukah kita? Jauh sebelum itu, dalam sebuah kitab yang dianggap suci oleh kaum Yahudi hingga saat ini, sebuah kitab yang menjadi pengingkaran atas syariat Nabi Musa as, yaitu kitab Talmud, dalam salah satu bagiannya disebutkan, bermusyawarahlah dan berapatlah dan berlakulah pilihan kehendak suara banyak itu, karena suara banyak adalah tuhan.

Inilah hakikat dari demokrasi, sebuah sistem yang meletakkan suara manusia di atas ketetapan ilahiyah yang agung. Jadi, sistem demokrasi yang sampai sekarang masih saja bercokol di negeri-negeri umat Islam, pada hakikatnya berasal dari kalangan Yahudi yang mengingkari syariat Allah Swt. Dan imbasnya bisa kita indera secara jelas, bagaimana pada akhirnya kaum muslimin begitu terpuruk di segala lini akibat penerapan sistem demokrasi.

Demokrasi membawa bahaya laten yang mengancam eksistensi kaum muslimin, baik secara fisik berupa penjajahan dan genosida di sebagian negeri muslim, maupun secara pemikiran sehingga kaum muslimin jauh dari cahaya kebenaran Islam. Benarlah kiranya peringatan yang disampaikan oleh Rasulullah saw,

“Kamu benar-benar akan mengikuti cara-cara orang sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta. Bahkan sekalipun mereka masuk ke dalam lubang biawak, niscaya kalian akan mengikuti mereka.” Kami bertanya: 'Wahai Rasulullah, (apakah mereka itu) orang Yahudi dan Nasrani?' Beliau bersabda: “Ya, siapa lagi?” (HR. Muslim)

Sesungguhnya, Islam bukanlah agama yang anti dengan politik. Justru sebaliknya, politik dipandang sebagai bagian penting yang menjadi benteng dalam kelangsungan hidup bermasyarakat. Penguasa dalam Islam adalah bentuk pengabdian kepada Allah Swt, sehingga bukan harta materi yang menjadi motivasinya.

Dikisahkan pernah suatu ketika Khalifah Ali bin Abi Thalib ra berkunjung ke Basrah dan bertemu dengan Ashim bin Ziyad. Ashim bin Ziyad berkata kepada Khalifah Ali, “Wahai Amirul Mukminin, Anda berpakaian kasar dan makanan Anda adalah makanan yang tidak enak.”. Kata Khalifah Ali, “Saya tidaklah seperti engkau. Sesungguhnya Allah telah mewajibkan kepada pemimpin-pemimpin yang adil, supaya mengukur dirinya dengan orang paling lemah di antara rakyatnya, agar orang-orang yang fakir tidak merasa menderita dengan kefakirannya.”
Kita juga tentu saja mengenal keadilan Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ketika dilantik sebagai khalifah, bukan pesta pora yang diadakannya, melainkan sebuah tangisan dan perkataan,

“Sesungguhnya aku memikul urusan umat Muhammad saw, lalu berpikir mengenai orang yang fakir lagi kelaparan, orang yang sakit lagi tersia-siakan, orang yang tidak berpakaian lagi kesusahan, orang yang terzhalimi lagi tertekan, orang yang asing lagi tertawan, orang yang sudah tua renta dan orang-orang yang memiliki kebutuhan di berbagai penjuru bumi. Aku tahu bahwa Rabbku akan bertanya padaku tentang mereka dan yang memperkarakanku untuk membela mereka adalah Muhammad Saw, maka aku takut bila argumenku tidak mampu menghadapi tuntutan beliau, maka aku kasihan kepada diriku."

Sebagai seorang yang zuhud, kehidupannya semasa menjadi Khalifah sama seperti kehdupannya semasa menjadi rakyat biasa. Harta yang ada termasuk perhiasan isterinya diserahkan kepada Baitul Mal dan segala perbelanjaan negara dilakukan sehati-hati mungkin karena hakikatnya adalah harta rakyat. Ini terbukti ketika beliau dengan tegasnya menegur dan memecat pegawai yang boros.

Adapula Khalifah Al Muhtadi dari Bani Abbasiyah yang juga terkenal dengan keadilannya. Tatkala dipuji akan keadilannya, beliau berkata, “Semoga Allah membaguskan apa yang engkau katakan. Sesungguhnya aku tidaklah mengambil manfaat dari apa yang kau katakan tadi, karena sesungguhnya tidaklah aku duduk di mahkamah ini (hakim) sehingga aku membaca dan menghayati ayat Al-Qur'an ini:

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seseorang barang sedikit pun. Dan jika (amalan itu) hanya seberat biji sawi pun pasti kami mendatangkan pahalanya. Dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan.' (QS. Al-Anbiya: 47).”

Di dunia hukum, ada Imam Abu Yusuf seorang qodhi qudhoh (hakim agung) yang pernah menangani sengketa Khalifah Harun Ar Rasyid dengan seorang nasrani. Dalam perkara itu, Abu Yusuf memenangkan orang Nashrani, dan Harun pada pihak yang kalah. Karena memang terbukti kebenaran berpihak kepada orang Nashrani. Ketika Abu Yusuf sudah hampir meninggal, beliau bermunajat,

“Ya Allah, Engkau Maha Tahu bahwa aku sudah menduduki jabatan ini. Aku tidak pernah cenderung kepada salah seorang dari dua orang yang bersengketa walaupun di dalam hatiku. Kecuali ketika seorang Nashrani bersengketa dengan Harun Ar Rasyid. Aku tidak menyamakan di antara mereka berdua dalam perasaan. Karena aku berharap di dalam hatiku supaya kebenaran berada di pihak Ar Rasyid, sekalipun akhirnya aku menangkan orang Nashrani itu, karena memang dia dalam posisi benar."

Demikianlah gambaran tentang adilnya pelaksanaan konsep politik bernegara dalam Islam. Sistem politik tersebut itu pula yang mampu mendukung ekspansi Islam hingga bisa kita nikmati di negeri ini saat ini. Tanpa sistem politik demikian, maka umat Islam akan terus berada di titik terendah dalam kancah kehidupan. Dan tanpa daulah Khilafah, umat Islam terus saja berada dalam kungkungan penjajahan berkedok sistem kufur demokrasi.

Mengubah pemerintahan demokrasi menjadi daulah Islamiyah adalah sesuatu yang mungkin terjadi, membebaskan umat muslim dan negeri-negeri muslim dari penjajahan Barat adalah sesuatu yang mungkin terjadi.  Mengalahkan Amerika Serikat dan sekutunya dengan jihad di bawah naungan daulah Khilafah adalah sesuatu yang mungkin terjadi. Oleh karena itu, mari kita mengajak kaum muslimin untuk melakukan aktivitas politik Islam untuk meraih kemungkinan yang bisa merubah realitas yang rusak ini menjadi realitas baru yakni tegaknya daulah Khilafah. Wallahu a’lam.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar