Oleh Roro Ery S., SE.
(Aktivis Dakwah)
Vivisualiterasi.com-Berita terakhir, korban terdampak dari erupsi Gunung Semeru berjumlah 5.205 warga. Sebanyak 15 orang meninggal dunia dan 27 orang hilang. Demikian data yang dihimpun dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Gunung Semeru yang letaknya di Jawa Timur tepat di perbatasan antara Kabupaten Lumajang dan Malang merupakan gunung tertinggi di Pulau Jawa dan berbentuk kerucut. Terjadi erupsi, sehingga mengeluarkan guguran material awan panas di Desa Supit Urang, Kecamatan Pronojiwo, Kabupaten Lumajang, pada Sabtu (04/12) sekitar pukul 15.00 WIB dengan mengeluarkan lava pijar, suara gemuruh, serta asap pekat abu-abu yang menimbulkan korban jiwa dan kerusakan materi. (KOMPAS.com, 6/12/2021)
Beberapa media mengabarkan bahwa warga begitu menyesalkan tidak adanya sama sekali peringatan dini, sehingga pada Sabtu itu masih banyak warga yang beraktivitas harian tanpa menaruh curiga bahwa bencana sedang berada di depan mata. Namun, pernyataan Gubernur Jawa Timur, Khofifah Indar Parawansa menjelaskan, proses mitigasi dan sistem peringatan dini (early warning system) ketika akan terjadi guguran awan panas Gunung Semeru sudah berjalan. Ia pun menyebutkan, bahwa Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) mengkonfirmasi bahwa sistem peringatan dini sudah berjalan (KOMPAS.com, 5/12/2021).
Material gunung Semeru saat erupsi yang dibawa pada guguran jauh lebih besar, sehingga puluhan rumah di Kampung Sumberwuluh tertimbun abu vulkanik yang menjadi salah satu terdampak paling parah akibat awan panas guguran. Beberapa video yang beredar di sosial media pun trending topik, di mana warga panik dan berhamburan ke luar rumah untuk menyelamatkan diri tanpa tujuan yang pasti agar terhindar dari hujan abu vulkanik. Jembatan lpenghubung antara desa pun ambruk, banyak rumah dan hewan ternak milik warga tidak terselamatkan.
Mitigasi, Bentuk Riayah Penguasa
Andaikan pemerintah mensosialisasikan peringatan dini terlebih dulu dengan baik kepada warga, tentu mereka akan mempersiapkan diri untuk mengungsi dan menyelamatkan harta benda, termasuk ternak yang dimiliki. Bahkan kepala Bidang Kedaruratan dan Rekonstruksi Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Lumajang mengatakan, tidak ada sekalipun Early Warning System (EWS) di Desa Curah Kobokan. Padahal, alat tersebut sangatlah penting untuk mendeteksi peringatan dini bencana. Hanya ada seismometer, berada di daerah Dusun Kamar A yang berfungsi untuk memantau pergerakan air dari atas agar bisa sampai bawah yang diperlukan bagi penambang. (Tribunnews.com, 5/12/2021)
Akibat buruknya mitigasi ini, jangankan harta benda, nyawa pun banyak yang tidak tertolong lagi. Korban jiwa dan korban luka bakar, menjadi sebuah tragedi yang terulang kembali ketika gunung meletus. Tentu juga banyaknya korban yang belum ditemukan menjadi catatan kelam evakuasi korban bencana. Pemerintah menyatakan telah melakukan peringatan dini melalui pengumuman status Semeru pada level waspada, serta Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) telah mengetahui adanya tanda akan erupsi. Akan tetapi, yang perlu dipertanyakan adalah sosialisasinya kepada masyarakat karena banyak warga yang belum bahkan tidak mengetahui peringatan dini tersebut.
Jelas, mitigasi yang sangat buruk bukan hanya terjadi kali ini saja, setiap terjadi bencana selalu menelan korban jiwa yang tidak sedikit dan pemerintah terlihat kewalahan dalam penanganannya. Kesiapan pelaksanaan EWS saja tidak ada. Andaikan penguasa begitu sangat memperhatikan keselamatan warganya, tentu hal penting ini tidak akan pernah luput. Evakuasi yang dilakukan terkesan seadanya bahkan tempat pengungsian pun sangat tidak layak, seharusnya tidak terulang lagi.
Apabila penguasa begitu memperhatikan rakyatnya, mereka tidak akan pernah menyalahkan petugas lapangan. Justru kelalaian petugas harusnya menjadi cerminan atas penanganan penguasa. Oleh karena itu, petugas adalah sebagai orang lapangan yang bekerja sesuai instruksi.
Sistem demokrasi kapitalisme yang saat ini berjalan, akan melahirkan penguasa yang abai dan selalu melimpahkan tanggung jawabnya pada pihak lain. Sistem ini tidak akan pernah melahirkan pejabat untuk mengurusi umat dengan sepenuh hati.
Mitigasi dalam Daulah Khilafah
Negara dalam Islam merupakan pihak terpusat yang memiliki kewajiban mengurusi umatnya, termasuk mitigasi bencana. Negara bahkan tidak boleh sama sekali abai, apalagi menyerahkan urusannya pada swasta. Dengan demikian, bantuan kepada masyarakat akan sesuai dengan arahan pemerintah dan semua pihak tentu dapat bersinergi dalam menyelesaikan permasalahan bencana tersebut. Di mana posisi masyarakat ketika membantu adalah hanya sebagai mitra pemerintah, bukan sebagai menggantikan tugasnya pemerintah.
Begitu juga pihak swasta yang membantu dengan alasan profit, seyogianya pemerintah dapat mengarahkan agar bantuannya tepat sasaran. Pemerintahlah yang terdepan dalam mengurusi urusan rakyatnya dalam menghadapi bencana tersebut.
Dalam negara Islam, mitigasi merupakan salah satu mekanisme negara ketika menyelamatkan jiwa umat dari bencana alam. Sebab syariat Islam akan selalu menjaga agama, akal, harta, termasuk jiwa. Negara akan selalu memperhatikan pengurusan terhadapnya, termasuk teknologi serta pendanaan untuk keberhasilan mitigasi bencana. Bencana alam memang merupakan ketetapan dari Allah Swt., tetapi mitigasi bencana harus tetap berjalan untuk mencegah manusia dari kerusakan yang sangat parah, baik harta maupun jiwa.
Terdapat tiga penanganan bencana, yaitu penanganan pra-bencana, ketika bencana, dan pasca bencana. Adapun kegiatan prabencana meliputi pembangunan sarana-sarana fisik, yaitu relokasi, reboisasi, pemasangan teknologi seperti EWS, tata kelola wilayah berbasis AMDAL, peta bencana yang akurat, penempatan tenaga ahli di bidangnya. Negara akan menyiapkan tim SAR yang memiliki kemampuan teknis dan nonteknis dalam menangani bencana.
Negara juga akan membekali tim, maka dengan kemampuan dan peralatan canggih, seperti telekomunikasi, alat berat, alat-alat evakuasi korban bencana, sehingga mereka selalu siap sedia ketika bencana datang.
Adapun ketika terjadi bencana, fokus pada mengurangi jumlah korban dan kerugian materi akibat bencana, menyediakan semua kebutuhan utama, seperti makanan, air bersih, pakaian, obat-obatan, beserta tim ahli. Termasuk proses evakuasi korban harus berlangsung cepat, serta membuka akses jalan dan komunikasi.
Adapun ketika pasca bencana, membantu para korban untuk me-recovery agar mendapatkan pelayanan yang layak di tempat pengungsian. Seperti, aktivitas pemulihan trauma, depresi, termasuk dampak psikologis lainnya. Semua kembali pada bahasan akidah Islam bahwa segala hal yang terjadi adalah kehendak Allah Swt., untuk memerintahkan manusia agar bersabar dan ikhlas atas segala yang terjadi. Maka, pemerintah-lah yang memegang kendali secara utuh dalam menghadapi bencana alam. Wallahu a'lam.[IRP]
0 Komentar