Oleh Abida Wadiatun Ilahi
(Member AMK)
Di negeri mayoritas muslim ini, perbincangan tentang barang haram (miras) belum tuntas-tuntasnya. Pemerintah senantiasa mengeluarkan berbagai kebijakan tidak tegas bahkan promiras yang ‘katanya’ demi segelintir kepentingan dan keuntungan pemasukan negara dari sektor wisata.
Sementara, rakyatnya yang mayoritas muslim jelas menolak miras. Padahal, seberapa besarnya keuntungan negara dari perdagangan dan impor sektor haram ini? Kalau pun sangat besar, maka sungguh keprihatinan yang pantas kita rasakan dan keberkahan padanya tidak bisa diharapkan. Dari berbagai sisi kita melihat, kebijakan ini tidak mengandung kebaikan bagi rakyat, tidak pula bagi negara. Wajar kalau banyak yang berkomentar apakah wisman itu lebih penting dari rakyat terutama kawula muda yang rentan terjerat. Sedangkan masa depan bangsa berada di tangannya.
Dalam perjalanannya, pada dua tahun terakhir masih kita ingat tentang undang-undang pelegalan miras yang dinaungi RUU Ciptaker meski pada wilayah-wilayah tertentu di Indonesia. Jelas, banyak komentar kontra. Tidak dilegalkan saja kondisinya sudah parah, bagaimana kalau kemudian dilegalkan. Akhirnya kebijakan itu dicabut. Lebih dari itu, bagaimana kalau kebijakan impor di Permendagri No. 20 tahun 2021 ini dijalankan? Tentunya akan menambah kuantitas penyebaran miras dalam negeri dan mengundang lebih banyak kemudaratan.
Jauh sebelum itu semua, tentang perizinan atau pelegalan usaha miras sebenarnya bukan hal yang baru karena sudah ada di Indonesia sejak 1931. Bahkan sampai Maret 2021, terdapat 109 investasi sejak izin usaha tersebut diberikan. Dari data yang lain disebutkan, “Sampai saat ini, pemerintah telah menerbitkan sebanyak 103 IUI (Izin Usaha Industri) minuman beralkohol bagi perusahaan yang beroperasi diberbagi daerah dengan volume produksi melampaui 500 juta liter setiap tahun.” (liputan6.com, 28/04/2021)
Tak heran, itu semua dipengaruhi oleh gaya hidup serba boleh dari para penjajah di Indonesia masa itu. Pada praktiknya hingga sekarang pun gaya hidup penjajah masih mempengaruhi negeri ini. Termasuk ide kapitalisme-liberal.
Tentunya banyak yang akan bertanya, kenapa bisa negeri yang mayoritas muslim ini tak tegas melarang sesuatu yang memang haram dalam Islam? Bahkan kalau para penguasanya tidak mau mengambil pertimbangan dengan menimbang syariat, memang miras itu berbahaya untuk generasi. Singkatnya, kalau dalam Islam disebutkan bahwa mudaratnya lebih besar dari manfaatnya. Maka jawabannya adalah negeri ini masih berada dalam ideologi penjajah, kapitalisme-liberal.
Setiap ideologi itu unik. Mereka memiliki pandangan yang khas terhadap segala hal. Termasuk tentang miras. Dalam Islam sudah jelas hukum dan sanksinya. Bahkan terkait hukum keharamannya disampaikan dalam Al Qur'an dengan rinci, sebagaimana perkataan Syaikh Ali Ash-Shabuni dalam tafsir ayat ahkam dari Al Qur'an, “Tak pernah disebutkan sebab keharaman sesuatu melainkan dengan singkat. Namun, pengharaman khamr (miras) disebut secara terang-terangan dan rinci.” Kemudian tentang sanksinya juga sudah jelas dalam Islam. Sanksi yang senantiasa bersifat efek jera dan penggugur dosa. Selain itu, Islam juga sangat menjaga akal manusia.
Jelas berbeda dengan ideologi yang lain, khususnya kapitalisme-liberal yang masih memimpin peradaban dunia saat ini. Kapitalisme-liberal memandang manfaat sebagai standar dalam berbuat dan memberi berbagai jenis kebebasan bagi manusia. Termasuk mengatur dirinya sendiri hingga kerusakan di muka bumi tak akan urung terjadi jika tetap menjadi pengendali bumi. Terkait tentang miras, tidak dihukumi haram oleh mereka. Kembali kepada manfaat dan hawa nafsu belaka. Kalau pun di antara pengusungnya membenci miras, maka itu bentuk sadar mereka akan bahaya besarnya. Tentu bukan atas pertimbangan syariat Islam.
Dengan demikian, haruskah kita diam dan meridai pranata kapitalisme global yang secara diametral berbeda dengan Islam agama kita?
Dalam hal ini maka penolakan terhadap Permendagri terbaru, tentang miras harus dilakukan. Di samping perlu terus diopinikan serta diperjuangkan sampai keharamannya menjadi hukum.
Melihat penggambaran sederhana dua jenis ideologi di atas, bahwa Islam sendiri adalah sebuah agama sekaligus ideologi yang di dalamnya menjalankan syariat secara menyeluruh. Berarti dalam hal ini miras menjadi sesuatu yang tidak boleh secara pasti untuk diperjualbelikan secara umum karena sudah pasti keharamannya.
Akhirnya, umat muslim perlu mengkaji lebih dalam terkait Islam. Bagaimana perjalanan Islam sejak Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam diutus hingga sampai saat ini. Bagaimana hukum-hukum di negeri tercinta ini diputuskan. Dan lebih dari itu, bagaimana perjalanan dunia hingga kini. Semoga persatuan dan keberkahan bagi kaum muslim dan negeri-negerinya. Wallaahu a’lam. [Ng]
0 Komentar