Oleh Rut Sri Wahyuningsih
(Institut Literasi dan Peradaban)
Sekretaris Jenderal Perkumpulan Organisasi Perusahaan Alat-alat Kesehatan dan Laboratorium (Gakeslab) Indonesia, Randy H. Teguh, seperti dikutip dari Antara, Sabtu (13/11) mengatakan rumah sakit, klinik, dan laboratorium pihak yang boleh dikatakan paling terdesak, jika mereka tidak melakukan pelayanan akan ditutup. Sedangkan jika melakukan, bukannya untung tapi malah buntung.
Maka Randy pun meminta kepada pemerintah agar pihaknya dilibatkan dalam penentuan harga tes PCR untuk keberlangsungan layanan kesehatan di saat pandemi Covid-19 (kumparan.com,13/11/2021). Pria yang juga menjabat sebagai Wakil Komite Tetap Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia juga berharap pemerintah bisa sama-sama membantu masyarakat menangani pandemi Covid-19.
HET Tes PCR: Bukti Sektor Kesehatan Menjadi Industri Menggiurkan
Pandemi Covid-19 tak urung memang membawa berkah bagi sebagian orang, terutama pengusaha alat dan produk kesehatan. Terlebih ketika kurva penularan virus memuncak. Barat berebut hak paten pembuatan vaksin, WHO meilegalkan vaksin hasil produksi sebuah negara, sebab seharusnya membelinya pada mereka. Itulah mengapa vaksin produksi Indonesia sendiri tak laku di pasaran dan Menkesnya di bui.
Di awal pandemi malah harga masker dan handsanitizer melonjak di luar nalar. Semua berbicara moment dan peluang. Inilah sistem ekonomi kapitalisme, penderitaan justru peluang. Dan hari ini, industri farmasi dan produk kesehatan menjadi primadonanya dan yang menguasainya adalah industri barat.
Namun sadarkah kita, pada saat pengusaha mengiba kepada pemerintah untuk bekerja sama dengan menaikkan harga tes PCR, itu sama dengan menjadikan kemadaratan (kesulitan) yang didapat publik di sektor kesehatan dijadikan lahan bisnis. Bukankah ini setali tiga uang dengan apa yang dilakukan oleh dua pejabat negara sebelumnya dan pemerintah khususnya yang abai terhadap pelayanan kesehatan rakyatnya?
Tak Ada yang Sempurna Kecuali Pengaturan Islam
Kesehatan adalah salah satu kebutuhan pokok masyarakat, bersama enam kebutuhan lain yaitu sandang, pangan, papan, pendidikan, dan keamanan dalam Islam wajib ditanggung negara. Kepala negara Islam, diberi beban untuk menuntaskan enam yang disebutkan tadi dengan semaksimal mungkin. Intinya, negaralah yang menjamin seluruh kebutuhan pokok rakyat. Islam melarang membahayakan keselamatan satu jiwa manusia yang berada dalam pengurusan seorang pemimpin.
Namun hari ini, justru kita melihat keselamatan manusia dipertaruhkan. Jika ingin membantu bukan dengan menjadikan bantuan itu berbalut bisnis. Ya, namanya juga pengusaha, tentulah mindsetnya adalah bisnis dan keuntungan. Sedangkan negara bukan dan tidak boleh membisniskan pelayanannya kepada rakyat apapun alasannya.
Dengan mindset pebisnis, benar-benar menjadi jalan bagi kapitalis mengeksploitasi hajat dasar publik. Tak ada hati, ketika rakyat yang paling awal diterpa imbas pandemi, kehilangan pekerjaan, berkurangnya pendapatan, beban biaya hidup yang kian tinggi, bahkan pada masa puncak penularan Covid-19 banyak yang kehilangan anggota keluarga maupun kepala keluarga penopang hidupnya.
Semua bermula dari negara yang berlepas tangan terhadap tanggung jawabnya dalam layanan kesehatan. Jika alasannya tak punya tenaga ahli, kita punya menteri pendidikan yang semestinya komitmen menciptakan kurikulum terbaik, jika alasannya kita tak punya teknologi untuk menciptakan inovasi. Rasanya terlalu banyak cendekiawan muda di negeri ini yang kecewa karena tak pernah dihargai negara. Justru pemerintah banyak mengundang ahli asing dengan bayaran dollar. Jika alasannya modal, bagaimana dengan julukan negeri gemah ripah loh jinawi? Tongkat dan batu jadi tanaman? Kekayaan alam, baik di darat dan lautnya sangat mencukupi untuk membiayai negara mengurusi kebutuhan rakyat. Dengan catatan memang harus dikelola secara benar, bukan diserahkan kepada asing. Yang ada malah dieksploitasi dan kita diwarisi bencana alam yang bertubi-tubi.
Islam mewajibkan negara menyediakan fasilitas kesehatan secara gratis dan berkualitas. Tak pandang apakah rakyatnya pejabat atau rakyat biasa, berkulit merah, kuning, atau hitam. Seluruh pembiayaan berasal dari baitul mal, sebelum dilembagakan oleh Umar bin Khattab. Rasulullah saw. secara adil mengalokasikan pemasukan yang diterima untuk pos-pos yang telah ditetapkan.
Seiring bertambah luasnya wilayah kekuasaan Islam, pengelolaan keuangan pun bertambah kompleks. Kekayaan negara Khilafah tak terbendung lagi, sehingga banyak proyek-proyek yang berupa fasilitas publik dibangun tanpa memungut sepeser pun dari rakyat.
Pembiayaan di bidang kesehatan pun menjadi prioritas setiap Khalifah yang memimpin kaum muslim. Seperti Khalifah Dinasti Umayyah Walid bin Abdul Malik pendiri pertama rumah sakit (bimaristan) dalam sejarah umat Islam di Kota Damaskus, Suriah pada 707 M (88 H). Bimaristan didirikan dengan kas negara sebagai karunia bagi orang sakit berupa pengobatan gratis.
Kemudian Khalifah Al Ma'mun mendirikan bimaristan khusus untuk para wanita, anak-anak, dan lansia. Saat itu, bimaristan sudah dilengkapi pula dengan apotek yang disebut dengan istilah "Syarabikhanah" dan dikepalai oleh seorang ketua apoteker yang digelari Syekh. Bentuk bimarista pun ada yang tetap dan bergerak, sesuai kebutuhan rakyatnya atau mengikuti tentara yang sedang berperang. Para cendekiawan dan orang-orang kaya justru berlomba-lomba mewakafkan dan menginfakkan harta mereka untuk kemajuan kesehatan.
Tak ayal, peradaban agung yang tak lagi dikenal kaum muslim kini, mampu bertahan selama 1300 tahun. Bukan waktu yang sebentar dan belum ada yang mampu menyamainya hingga hari ini. Jika kita sebagai kaum muslim memiliki sejarah yang membanggakan, mengapa kita silau dan bahkan goyah dengan propaganda asing? Bahkan tak mengadakan perubahan agar rakyat tak lagi menjadi obyek penderita.
Wallahu a'lam bish showab. [Ng]
0 Komentar