Subscribe Us

KLAIM CINA ATAS NATUNA, KELEMAHAN MENJAGA KEDAULATAN WILAYAH

Oleh Syifa Az-Zahra 
(Intelektual Muslimah & Pemerhati Kebijakan Publik)


Vivisualiterasi.com-Konflik mengenai Natuna kembali mencuat, setelah ada tuntutan dari China agar Indonesia menghentikan aktivitas pengeboran minyak dan gas alam (migas), dengan alasan bahwa wilayah tersebut (Natuna bagian Utara) diklaim milik mereka. Sebenarnya, konflik atau sengketa di Laut Cina Selatan telah terjadi sejak 1947. Dasar yang digunakan Cina untuk mengklaim seluruh Kawasan Laut Cina Selatan adalah sembilan garis putus-putus (nine-dash line) yang meliputi sejumlah wilayah milik Filipina, Malaysia, Vietnam, Taiwan, dan Brunai Darussalam. Dalam sengketa Laut Cina Selatan, Indonesia dianggap menjadi penengah dan tidak pernah mengklaim wilayah itu. Meski pada beberapa kesempatan, melalui Menteri Luar Negerinya pemerintah Indonesia menyampaikan sikapnya tentang adanya konflik ini yang meminta setiap negara menghargai hukum internasional yang tercantum dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS) yang ditetapkan pada 1982. (Kompas, 04/12/21)

Konflik yang terus terjadi antara dua negara (khususnya Cina dan Indonesia) pada kasus perebutan (klaim) soal wilayah Natuna sejatinya dapat menunjukkan adanya arogansi dari satu pihak dan kelemahan di pihak lain. Memang betul, kita melihat bahwa hari ini Cina merupakan negara yang boleh dikatakan memiliki banyak kekuatan (great power), namun hal ini bukan berarti menjadikan Indonesia bersikap lemah dalam menghadapi Cina. Pemerintah seharusnya mampu bersikap lebih tegas dan menunjukkan kekuatannya dalam menjaga kedaulatan wilayah. Indonesia seharusnya memiliki strategi pengamanan yang mumpuni dalam menjaga perbatasan, mengingat Indonesia adalah negara kepulauan. 

Permasalahan dalam menjaga keamanan perbatasan ini, sungguh telah dibahas dan dicontohkan oleh Islam dan para pemimpinnya. Para pemimpin negara (Khalifah) menjalankan strategi jitu menjaga wilayah perbatasan serta melakukan pengurusan di wilayah perbatasan kaum muslim. Tak akan ada yang berani “main-main” untuk mengganggu wilayah kaum muslim. 

Dalam rangka menggetarkan musuh, akan ditempatkan pasukan berikut persenjataannya di daerah-daerah perbatasan. Sebab, hal itu bisa memudahkan musuh menyelundupkan berbagai komoditas ataupun seenaknya mengambil SDA, yang akan menyebabkan perekonomian negara terguncang. Bahkan, musuh akan berani unjuk kekuatan hingga melakukan serangan penaklukan di wilayah kaum muslimin. 

Allah Swt. berfirman, “Dan persiapkanlah olehmu segala macam kekuatan apa saja yang kamu miliki dari kuda-kuda yang ditambatkan untuk menggetarkan musuh-musuh Allah dan musuh-musuhmu…” (QS. Al Anfal: 60)

Dalam Islam, menjaga perbatasan hukumnya wajib. Jika tidak ada satu pun kaum muslimin menjaga teritorial negara, baik tentara atau sipil, seluruh kaum muslimin berdosa. Warga negara didorong untuk menjaga daerah perbatasannya dengan mengingatkan keutamaan dan pahala besar yang diterima mereka dari Allah Swt. dalam hadis dari Salaman, Rasul saw. bersabda, “Menjaga perbatasan sehari semalam di jalan Allah Swt. itu lebih baik dari puasa satu bulan dan malam-malamnya didirikan qiyam al-lail. Jika ia mati, ia akan mendapat pahala sesuai dengan amalannya, mendapat rezeki di sisi Allah Swt., dan aman dari fitnah dunia-akhirat.” (HR. Thabrani)

Dengan demikian, musuh akan gentar menghadapi kaum muslimin dan pasukannya. Politik penjagaan perbatasan inilah yang menyebabkan Islam unggul atas agama dan ideologi lainnya di panggung dunia. Wallahu a'lam. [IRP]

Posting Komentar

0 Komentar