Subscribe Us

KEKERASAN SEKSUAL, BUAH PERGAULAN LIBERAL

Oleh Yetti
(Kontributor Media Vivisualiterasi.com)


Vivisualiterasi.com-Lagi-lagi pelecehan seksual terhadap anak terjadi, mirisnya dilakukan oleh tenaga pendidik. Baru-baru ini ramai di media sosial kasus dua orang mahasiswi Universitas Sriwijaya yang mengalami pelecehan saat meminta tanda tangan skripsi. Sebelumnya, mahasiswi Universitas Riau juga mengalami hal yang sama saat bimbingan skripsi di dalam ruang dekan. 

Kasus serupa pun terjadi di Bandung, pemerkosaan terhadap 12 wanita di bawah umur dan 8 diantaranya telah melahirkan. Aksi bejat itu dilakukan sejak 2016, baru terungkap pada Mei 2021 (detiknews, 8 Desember 2021). Modus yang dilakukan pelaku dengan mendekati orang tua korban dan menjanjikan pendidikan gratis bagi anaknya. 

Kasus pemerkosaan di atas bukanlah hal yang baru di negeri ini. Sebelumnya pernah terjadi di Cianjur, seorang guru ngaji mencabuli anak didiknya dengan modus agar berbakti kepada sang guru (detiknews, 15/2/2021). Setelah ditangkap, guru ini pun mengaku kecanduan pornografi. Hal yang sama juga terjadi di Palembang pada 2020, seorang guru ngaji mencabuli muridnya dengan dalih mengajari latihan pernapasan. (detiknews, 13/10/2020)

Kasus-kasus di atas adalah sekelumit contoh kekerasan seksual yang terjadi, masih banyak lainnya yang tidak terungkap dan terekspos ke media sehingga luput dari perhatian masyarakat dan pemerintah. Melihat kasus di atas menimbulkan pertanyaan besar, ada apa dengan tenaga pendidik zaman sekarang? Seharusnya mereka yang mendidik dan melindungi, tetapi justru menjadi pelaku kekerasan seksual. Pertanyaan selanjutnya adalah apa yang harus dibenahi masyarakat dan pemerintah agar kasus-kasus seperti ini tak terulang kembali?

Saat ini solusi yang ditawarkan pemerintah hanyalah menghukum para pelaku sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Untuk kasus pelecehan dan kekerasan seksual pada anak diberikan ancaman pidana 5-15 tahun penjara. Untuk kasus yang lebih serius akan dikenai ancaman pidana maksimum 20 tahun penjara. Karena sistem hukum yang ada saat ini membatasi ancaman pidana tidak boleh lebih dari 20 tahun penjara. 

Sungguh sangat miris hukum pidana untuk tindakan kekerasan seksual tersebut, jauh dari norma-norma keadilan. Apalagi untuk kasus pemerkosaan 12 pelajar di Bandung yang sudah dilakoninya bertahun-tahun, hanya diberikan ancaman pidana 20 tahun penjara. Padahal kekerasan seksual ini memberikan dampak luar biasa kepada korban dan keluarganya. Mulai dari masalah kesehatan, penderitaan psikis, kelangsungan jenjang pendidikan, sampai efek sosial, dan ekonomi yang harus diterima korban serta keluarga. Ancaman pidana untuk kekerasan seksual ini tidak memberikan efek jera bagi para pelaku dan tak menyelesaikan masalah sampai ke akarnya. 

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan bahwa kasus kekerasan terhadap perempuan mengalami peningkatan dua kali lipat pada 2021. Andy menjelaskan, saat ini angka kekerasan terhadap perempuan mencapai 4.500 kasus hingga September 2021 dibanding 2020. (tirto.id, 13/12/2021)

Peningkatan kasus kekerasan seksual ini telah mendorong masyarakat dan Komisi Perlindungan Perempuan (KPP) mendesak DPR untuk segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS). Pada 9 Desember 2021, dikabarkan bahwa sebagian besar fraksi di DPR sudah menyetujui draft RUU Pencegahan Kekerasan Seksual untuk disahkan menjadi undang-undang. (hidayatullah.com, 14/12/2021)

Kantor Staf Kepresidenan (KSP) juga menginisiasi pembentukan gugus tugas percepatan RUU TPKS. Gugus tugas ini terdiri dari lintas kementerian/lembaga yang beranggotakan KSP, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kejaksaan Agung, serta Polri.

Indonesia saat ini seolah-olah berstatus darurat kekerasan seksual. Semua pihak yang berpengaruh mendesak rancangan undang-undang untuk segera disahkan. Namun, banyak organisasi Islam dan para mahasiswa masih meminta DPR untuk tidak terburu-buru mengesahkan RUU tersebut, sebab masih ada beberapa hal yang kontroversial. Rancangan ini masih menuai prokontra terutama masalah paradigma 'sexual consent', kerangka pikir feminis radikal, serta mengesampingkan norma agama dan nilai-nilai Pancasila. RUU TPKS ini dinilai mengarahkan generasi muda untuk melihat kehalalan perbuatan zina dan mempromosikan hubungan seksual yang aman dengan menggunakan kondom atau sejenisnya tanpa melihat status hubungan tersebut halal atau tidak. 

Banyak yang cacat dan harus dikoreksi dari RUU TPKS ini. Namun, para pihak terkait yang menyusun undang-undang ini seakan tak menghiraukan masukan dari mahasiswa dan masyarakat. Justru terkesan membungkam berbagai kritikan tersebut. Seolah-olah ada agenda tersembunyi yang dititipkan beberapa pihak tertentu dalam RUU TPKS ini. Fokus para pemangku jabatan saat ini hanyalah bagaimana mengesahkan RUU TPKS sesegera mungkin tanpa mempertimbangkan norma agama, nilai-nilai pancasila, serta efek sosial dari penerapannya.

Lalu bagaimanakah Islam memandang tindak kekerasan seksual ini? Islam adalah agama dan sekaligus ideologi yang memberikan solusi setiap permasalahan manusia dan menuntaskan sampai ke akarnya. Solusi yang ditawarkan berasal dari Sang Pencipta penguasa langit dan bumi dengan merujuk kepada Al Qur'an dan hadis sahih. 

Kalau dilihat dari fakta hari ini, maka suburnya pornografi, porno aksi dan pemikiran batil yang menjamur di masyarakat kapitalis sekuler merupakan penyebab utama munculnya perbuatan keji dan kekerasan seksual. Buah dari pornografi ini adalah seks bebas, pelecehan seksual, pemerkosaan, seks menyimpang, bahkan L9B7. 

Pornografi merupakan hasil dari tata pergaulan yang diterapkan dalam sistem liberalis sekularis. Sistem ini menjadikan aktivitas berpikir, bergaul, berekspresi, dan hal lainnya didasarkan atas asas kebebasan tanpa batas. Semua orang bebas melakukan apa saja yang mereka suka sehingga segala macam kemaksiatan dipertontonkan di ranah umum. 

Paham ini telah membuka segala jenis gerbang kemaksiatan dan melanggengkannya dengan aturan yang di dukung oleh pemerintah. Moral generasi muda dan masyarakat menjadi bobrok dan peradaban manusia pun semakin rusak dan terbelakang. Berbeda halnya dalam sistem Islam. Setiap aktivitas manusia harus terikat dengan hukum syara yang bersumber dari Al Qur’an dan as-Sunnah. Untuk kasus kekerasan seksual, sistem Islam tak hanya memberikan sanksi hukum kepada pelaku tetapi juga menghadirkan solusi sistemik yang mengendalikan kesadaran individu dan masyarakat untuk menjauhi serta meninggalkan perbuatan-perbuatan yang mengarah kepada kekerasan seksual.

Solusi yang disediakan Islam berupa pencegahan (preventif) dan tindakan (represif). Solusi preventif telah tertuang dalam surat Al Isra’ ayat 32 yang artinya

 “Dan janganlah kamu mendekati zina, sungguh zina itu adalah perbuatan keji dan suatu jalan yang buruk”. 

Perbuatan-perbuatan yang mendekati zina merupakan akar dari tindakan-tindakan kekerasan seksual. Sistem Islam mengendalikan perbuatan-perbuatan yang mendekati zina dalam bentuk hukum larangan dan anjuran/kewajiban. Hal tersebut berupa larangan berdua-duaan wanita dan laki-laki yang bukan mahram (khalwat), pacaran, menyentuh lawan jenis yang bukan mahram, mencampuradukan wanita dan laki-laki dalam satu ruangan sehingga tidak ada batasan interaksi (ikhtilat), menonton pornografi, melakukan porno aksi dan menghayalkan pemikiran-pemikiran keji yang mengundang syahwat. Sedangkan hukum yang berupa anjuran mewajibkan wanita untuk menutup aurat, tidak berhias mencolok yang menarik perhatian lawan jenis (tabarruj), takk melakukan perjalanan safar tanpa didampingi mahram, dan lain sebagainya. Selain itu laki-laki dan perempuan juga diperintahkan untuk menundukkan pandangan, sehingga tak ada kesempatan untuk memunculkan pemikiran-pemikiran keji yang mengundang syahwat. Anjuran ini dijelaskan dalam QS. An Nur 24: 30-31. 

Begitulah sistem Islam sangat serius memecahkan persoalan manusia, agar tidak mendekati ataupun tergelincir ke dunia keji kekerasan seksual. Tindakan-tindakan pencegahan di atas juga disertai dengan pembenahan berbagai bidang lain yang terkait. Seperti pembenahan sistem pendidikan, sosial, ekonomi, dan media komunikasi. Sistem pendidikan haruslah berdasarkan pendidikan akidah Islam agar terbentuknya insan yang bertakwa dan berislam secara kafah, sehingga setiap individu mempunyai kesadaran dari dalam dirinya untuk menjauhi dan meninggalkan perbuatan-perbuatan kekerasan seksual. Harus menerapkan sistem pergaulan Islam yang benar yang memberikan batasan yang jelas antara interaksi laki-laki dan perempuan. Selain itu juga adanya amal makruf nahi mungkar yang memberikan kepedulian dan kontribusi sosial masyarakat dalam pencegahan dan pelaporan perbuatan kekerasan seksual. Sistem ekonomi yang diterapkan haruslah sistem ekonomi Islam yang mampu membawa kesejahteraan merata baik dalam lingkungan individu, masyarakat maupun negara sehingga tak ada lagi motif kekerasan seksual dengan alasan ekonomi.

Sistem media komunikasi hendaklah mengatur pelarangan konten-konten pornografi, porno-aksi, dan acara-acara atau pemikiran-pemikiran yang batil yang mengundang syahwat. Selain itu, sistem Islam juga menghadirkan solusi represif yang memberikan efek jera bagi para pelakunya. Hukum bagi pelaku pemerkosaan diberlakukan sama dengan hukum perbuatan zina, hanya saja korban dibebaskan dari hukuman. Untuk pelaku yang belum menikah akan di dera seratus kali dan disaksikan orang banyak serta diasingkan selama setahun. Sedangkan untuk pelaku yang sudah menikah maka hukumannya adalah rajam yaitu pelaku dilempari batu atau sejenisnya hingga mati. 

Begitulah hukum-hukum yang diterapkan dalam sistem Islam, tegas dan memberikan efek jera. Sehingga penerapannya menjadi pelajaran bagi para pelaku untuk tidak mengulanginya dan bagi orang banyak untuk tidak melakukan perbuatan yang sama. Tentunya pengaturan-pengaturan atau hukum tersebut tidak bisa terealisasikan kecuali hadirnya suatu institusi negara yang bisa melaksanakan semua pengaturan tersebut dan menerapkan hukum Islam secara kafah yaitu Khilafah Islamiyah. Wallahu a'lam. [IRP]

Posting Komentar

0 Komentar