Subscribe Us

ISU TERORISME BERULANG, MENISTA ISLAM

Oleh Juniwati Lafuku, S. Farm,. 
(Pemerhati Sosial) 


Vivisualiterasi.com-Menjelang akhir 2021, publik kembali disuguhi berita tentang terorisme. Seakan aktor dan aksi teroris masih terus tumbuh di tengah masyarakat dan masih menjadi bahaya yang akan terus diusut. Umat Islam menjadi sasaran terbanyak dari penangkapan teroris. Seakan ajarannya berbahaya hingga hal ini menimbulkan Islamofobia di tengah masyarakat. Saling curiga hingga menjauhi agamanya sendiri. 

Densus 88 Antiteror Polri kembali menangkap dua tersangka teroris berinsial SU dan DRS, di wilayah Lampung. Keduanya merupakan pejabat Lembaga Amil Zakat (LAZ) Baitul Maal (BM) Abdurahman bin Auf (ABA), di Lampung. SU sendiri menjabat sebagai bendahara. 

"Penangkapan SU dan DRS merupakan pengembangan penangkapan sebelumnya yaitu, saudara S. Pengembangan Lembaga Amil Zakat BM ABA di Jakarta dan Medan," ujar Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Ahmad Ramadhan. (beritasatu.com/3/11/2021)

Penangkapan tersebut diduga karena lembaga amil zakat yang mereka kelola menjadi sumber aliran dana untuk kegiatan teroris. Begitupun dengan anggota MUI yang baru-baru ini ditangkap Densus 88. Mereka sudah lama masuk ke dalam daftar surveillance karena di duga terlibat jaringan terorisme. 

Terorisme dan Ekstrimis: Agenda Barat Yang Menyasar Umat Islam

Sejak runtuhnya gedung WTC di Amerika Serikat, Presiden George W. Bush, menabuh genderang perang terhadap aksi terorisme. Dengan dalih "you against with us or with terrorist", menjadi penanda dimulainya babak baru bagi AS untuk memerangi terorisme di seluruh dunia. 

Di Indonesia, dalam annual report tahun 2021 USCIRF (United States Commision On International Religious Freedom-Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional) menyatakan "Sepanjang 2021, kondisi kebebasan beragama di Indonesia umumnya stagnan. Pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) terus menegaskan strategi yang mendorong penafsiran Islam yang diharapkan melalui upaya resmi secara nasional seperti upaya memperkuat ideologi negara Pancasila, mencanangkan program kualifikasi sukarela untuk penceramah agama dan menanamkan haluan “moderat” di lingkaran Majelis Ulama Indonesia (MUI). Langkah-langkah ini pada dasarnya bertujuan untuk menangkal meningkatnya tren radikalisme atau Islam garis keras serta mendorong toleransi erat antar agama yang ada, tanpa anjuran kebebasan beragama yang lebih besar atau embel-embel pengakuan terhadap agama minoritas lainnya.”

Di akhir laporannya, USCIRF juga menyebut, bahwa sebagai kebijakan utama AS, program “Harmoni” yang didanai USAID (United States Agency for International Development-Lembaga Pembangunan Internasional Amerika Serikat) salah satunya dimanfaatkan untuk “melawan narasi ekstremis melalui masyarakat, perguruan tinggi, dan kampanye di sekolah-sekolah”.

Target dari sasaran penangkapan terorisme adalah umat Islam dengan label 'garis keras'. Padahal dalam ajaran Islam sendiri, tidak mengenal klasifikasi, baik sisi tradisional, moderat, dan ekstrim atau garis keras.

Dalam dokumen USAID terkait Strategi Kerjasama Pembangunan AS-Indonesia (CDCS) yang dilakukan sepanjang 2 September 2020-30 September 2025, ada 4 bidang prioritas yang mendapat dukungan penuh dari Amerika. Salah satunya adalah “Memperkuat Tata Kelola Pemerintahan yang Demokratis dan Efektif”.

Untuk mencapai target prioritas tersebut, bantuan luar negeri Amerika Serikat disalurkan dalam Strategi Indo-Pasifik (IPS), yang beberapa programnya adalah “melindungi hak-hak asasi manusia, mengatasi kemunduran demokrasi, dan melawan ekstremisme kekerasan serta intoleransi.”

Hal ini ternyata disambut baik oleh pemerintah Indonesia melalui berbagai lembaga di tingkat nasional maupun subnasional, yang juga dituliskan dalam laporan USAID tersebut. Bahwa “Pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mempromosikan pluralisme dan melawan ekstremisme agama dan budaya”.

Di Kemenag misalnya, penunjukan Gus Yaqut memang bukan kebetulan. Amerika menyambut positif hal ini dan terang-terangan menyebut dalam laporan USCIRF, bahwa “Ada perkembangan positif dengan diangkatnya Yaqut Cholil Qoumas sebagai Menag baru yang menyatakan niatnya untuk menghormati hak-hak Syi’ah maupun Ahmadiyah.”

Adapun di dalam MUI, kampanye terkait “Islam moderat” terus menerus digaungkan, sebagai lawan dari “ekstremisme” maupun “intoleransi beragama”. Istilah-istilah tersebut digunakan sebagai pengganti penggunaan kata “radikalisme” yang sudah jarang digunakan karena dianggap gagal memberi citra buruk pada kalangan “Islam garis keras”.

Garis besar agenda ini cukup dijelaskan dalam video berdurasi 7 menit dari Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme (BPET) MUI. Dalam video yang di-take dan diedit berulang kali itu, alih-alih menggunakan kapasitasnya sebagai Wakil Presiden, sosok K.H. Ma’ruf Amin justru digunakan MUI sebagai “icon” perlawanan atas ekstremisme dan intoleransi beragama. Beliau menyampaikan, "Bingkai teologis yang mengedepankan sikap moderasi beragama juga perlu terus dikembangkan sebagai upaya untuk menanggulangi munculnya intoleransi beragama, ketegangan umat beragama, pembinaan terhadap agama dan tokoh agama, kekerasan atas nama agama, dan berbagai isu yang disebabkan oleh pemahaman keagamaan yang intoleran dan pemahaman yang radikal atau ekstrem, yang mengarah pada aksi kekerasan, bahkan aksi terorisme.”
 
Islamofobia: Ketakutan Yang Sengaja Diciptakan Barat di Negeri-negeri Muslim

Sejak 2012 hingga kini Barat, khususnya AS sangat aktif dalam kegiatan menumpas jaringan dan aksi terorisme. Di Indonesia, Pembentukan badan anti terorisme hingga Densus 88, telah menjadi 'teror' tersendiri bagi umat Islam. Mereka telah berhasil menjadikan sebagian umat Islam tidak lagi percaya pada ajaran Islam, khususnya Khilafah dan jihad yang dianggap keras. Hal ini justru semakin menjauhkan umat Islam dari ajaran yang sebenarnya. Bahkan takut dan berprasangka buruk pada agamanya sendiri. 

Padahal, ajaran Islam adalah rahmat bagi semesta alam, yang datang dari Maha Penyayang kepada hambaNya demi kebaikan manusia dan alam. Dalam Islam, membunuh satu orang manusia tanpa alasan yang hak sama dengan membunuh manusia seluruhnya. Jelas, hal ini bertentangan dengan aksi terorisme. 

Disaat AS sibuk memberantas terorisme dan menanamkan penyakit Islamofobia, AS justru mengerahkan tentaranya untuk menumpas kaum muslimin di Suriah, membantu Israel membantai umat Islam di Palestina, menciptakan perang teluk antara negara Arab, hingga memerangi Afganistan selama dua dekade. Tak hanya itu, Barat juga meminta umat Islam hidup dengan toleransi, menerima pelaku penyimpangan seksual (L9B7) sebagai hak asasi manusia, menyebarkan paham moderasi agar umat Islam tidak memilih Islam kafah hingga mengeruk SDA negeri muslim atas nama investasi melalui Undang-undang. 

Ajaran Islam: Agung dan Mulia Sepanjang Masa

Seribu empat ratus tahun lalu saat Nabi Muhammad saw. diutus ke tengah-tengah kaumnya, kerusakan struktur masyarakat telah mencapai puncaknya. Namun, sejak mereka mengenal dan memahami Islam melalui nabi, Arab justru bangkit menjadi bangsa yang besar dan berperadaban maju. Mengalahkan peradaban Romawi dan Persia yang sudah lebih dahulu eksis. 

Setelah Nabi Muhammad saw. wafat, kepemimpinannya diteruskan oleh para Khalifah yang terus mengurusi urusan umat dengan hukum Syara secara kafah (integral). Penerapan hukum Islam secara integral akan menutup semua pintu kemaksiatan, sebagai wujud ketaatan kepada Allah dan sebagai bentuk Khadimul lil ummah (pelayanan yang terbaik bagi umat), dengan prinsip menyeru kepada yang ma'ruf dan melarang yang munkar. Islam sendiri tidak membenarkan aksi teror dan perbuatan terorisme. Terorisme dan jihad adalah dua hal yang berbeda. Perintah jihad hanya boleh dikeluarkan ketika negara Khilafah tegak atas dasar titah dari Khalifah. Adapun jika hari ini ada umat Islam yang berjihad, itu atas dasar inisiatif sendiri, atas dorongan rasa prihatin terhadap negeri muslim yang dibantai oleh Barat. Maka jelas, mereka tak pantas disebut teroris. 

Wallahu'alam. [Ng]

Posting Komentar

0 Komentar