Oleh Desi Anggraini
(Kontributor Media Vivisualiterasi.com)
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”
(QS. Al Baqarah: 216)
Seratus tahun berlalu, umat Islam melalui hari-hari tanpa diterapkannya Islam kafah dalam kehidupan. Menerima syari’at seperti salat, namun geram hatinya bila diajak untuk meninggalkan riba. Menerima syari’at haji namun begitu anti dengan politik Islam. Kapitalis sekuler sistem hidup hari ini, telah membuat kaum muslim menjadikan agama mereka bak hidangan prasmanan. Apabila ketetapan Allah dan Rasul-Nya sesuai dengan selera mereka, maka akan diambil. Bila ketetapan tersebut bertentangan dengan selera, maka ditinggalkan. Padahal Allah memerintahkan dalam kitabullah untuk melakukan jual beli dan meninggalkan riba, tegakkan hukum Allah, perangilah orang-orang yang memusuhi Allah dan Rasul-Nya.
Namun, alangkah kuat dosis racun sekularisme itu dan upaya monsterisasi ajaran Islam yang terus digencarkan musuh-musuh Allah. Ternyata telah mempengaruhi kesehatan akal dan iman kau muslim sehingga berani menentang bahkan memberikan label sesat pada pengemban dakwah yang tulus mengajak kepada Islam kafah. Belum lagi para boneka musuh Allah yang ditancapkan di tubuh kaum muslim, membuat berbagai manufer untuk menggiringnya menuju jurang kesesatan yang dalam. Berbagai agenda, program, dan undang-undang yang terlihat bak madu. Manis dan menggiurkan, namun sejatinya adalah racun yang membuat kaum muslim terperosok dalam kehinaan.
Musuh-musuh Allah dan Rasul-Nya telah menghipnotis kaum muslim, hingga apa yang baik menurut Al Qur’an dan sunnah adalah buruk. Sementara apa yang buruk menurut Al Qur’an dan sunnah adalah baik. Padahal apa yang ditetapkan Allah dan Rasul-Nya sudah tentu baik bagi manusia. Namun asas manfaat yang menjadi ruh kehidupan di alam kapitalis sekuler ini telah membuat kaum muslim selalu mempertanyakan rasionalitas suatu ketetapan yang datangnya dari Allah dan Rasulnya apabila hendak diterapkan. Padahal kemajuan zaman, dengan berbagai kecanggihan diberbagai bidang membuka satu per satu hikmah dibalik penerapan hukum Allah dan larangannya terhadap suatu hal.
Penerapan undang-undang yang berkaitan dengan miras misalnya. Padahal sudah begitu jelas mudarat yang ditimbulkan dari minuman ini, namun dengan berbagai pertimbangan ekonomi tetap saja produksi miras dan peredarannya diberi karpet merah di negeri ini. Sikap semacam ini sungguh berbeda jauh dengan apa yang tunjukkan para sahabat ketika Allah dan Rasul menyeru mereka kepada hukum Islam.
Dalam sebuah hadis, Ibnu Jarir telah meriwayatkan dari Abu Buraidah dari bapaknya, beliau berkata;
“Ketika kami sedang duduk-duduk menikmati minuman di atas pasir, pada saat itu kami bertiga atau berempat. Kami memiliki kendi besar dan meminum khamr karena masih dihalalkan. Kemudian aku berdiri dan ingin menghampiri Rasulullah Saw. lalu aku mengucapkan salam kepada beliau, tiba-tiba turunlah ayat tentang keharaman khamar.
“Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya khamr dan judi ..., sampai akhir dua ayat yaitu: maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Maka aku datang kepada sahabat-sahabatku (yang sedang minum khamr) dan membacakan ayat tersebut kepada mereka sampai pada firman Allah: maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu). Dia (perawi hadis) berkata, “sebagian diantara mereka minumannya masih ada di tangannya, sebagiannya telah diminum, dan sebagian lagi masih ada diwadahnya.” Dia berkata, “sedangkan gelas minuman yang ada di bawah bibir atasnya, seperti yang dilakukan oleh orang yang membekam (gelasnya masih menempel di bibirnya), kemudian mereka menumpahkan khamr yang ada pada kendi besar mereka seraya berkata, Ya Tuhan kami, kami telah berhenti.”
Miras hanya salah satu dari sekian banyak keburukan yang dianggap membawa manfaat di sistem kapitalis sekuler hari ini. Betapa banyak standar kebaikan menurut manusia hari ini ternyata adalah buruk bagi manusia itu sendiri dan sebaliknya. Maka, kembalikanlah standar baik dan buruk itu kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Karena sejatinya manusia lemah, terbatas, dan selalu bergantung, sehingga kadangkala apa yang dianggap baik bagi manusia itu belum tentu baik bagiNya. Dan apa yang dianggap buruk belum tentu buruk. Wallahu a'lam. [IRP]
0 Komentar