Subscribe Us

PEJABAT PERKAYA DIRI, RAKYAT KIAN SEKARAT

Oleh Fathin Kusumardani 
(Mahasiswa dan Aktivis Dakwah Remaja) 


Vivisualiterasi.com-Selama pandemi Covid-19, seluruh masyarakat di tanah air mengalami dampak ekonomi mulai dari masyarakat biasa sampai para pengusaha. Akibatnya, tingkat kemiskinan terus meningkat. Hal tersebut diperparah dengan kondisi masyarakat yang makin terpuruk, namun para pejabat semakin eksis dengan harta kekayaannya. Banyak berita yang beredar bahwa selama masa pandemi, kekayaan pejabat di tanah air meningkat drastis. 

Dikutip dari CNN Indonesia, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mencatat sebanyak 70,3 persen harta kekayaan para pejabat negara naik selama setahun terakhir atau di masa pandemi Covid-19. Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan mengatakan, laporan kenaikan itu tercatat setelah pihaknya melakukan analisis terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) pada periode 2019-2020.

"Kita amati juga selama pandemi, setahun terakhir ini, secara umum penyelenggara negara 70,3 persen hartanya bertambah," kata Pahala dalam webinar LHKPN di YouTube KPK, Selasa (7/9/2021). Dia mengatakan, kenaikan paling banyak terlihat pada harta kekayaan pejabat di instansi kementerian dan DPR yang angkanya mencapai lebih dari Rp1 miliar. Sedangkan, di tingkat legislatif dan eksekutif daerah, penambahannya masih di bawah Rp1 miliar.

Sebanyak 58 persen menteri kekayaannya bertambah lebih dari Rp 1 miliar, 26 persen menteri kekayaannya bertambah kurang dari Rp 1 miliar, dan hanya 3 persen menteri yang melaporkan kekayaannya turun. Sementara itu, 45 persen kekayaan anggota DPR bertambah lebih dari 1 miliar rupiah. Hanya 38 persen anggota dewan yang melaporkan kekayaannya bertambah kurang dari Rp 1 miliar dan 11 persen lainnya justru melaporkan berkurang. “Rata-rata bertambah Rp 1 miliar, sebagian besar di tingkat kementerian. Di DPR meningkat juga,” ujar Pahala.

Mirisnya, kenaikan harta para pejabat itu sudah diketahui oleh KPK, setelah melakukan analisis terhadap Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) selama setahun terakhir. Tetapi belum ada tindak lanjut dari pihak tersebut. Sebagian masyarakat menyayangkan soal meningkatnya kekayaan para pejabat di masa pandemi. Pasalnya masyarakat sedang mengalami keterpurukan yang amat sangat. Bantuan Bansos saja hanya sebagian masyarakat yang mendapatkannya, bahkan dana tersebut yang seharusnya untuk membantu meringankan beban masyarakat justru juga turut dikorupsi oleh para pejabat. 

Sungguh ironisnya negeri ini, disaat kekayaan para pejabat naik maka naik pula tingkat kemiskinan. Catatan KPK berbanding terbalik dengan kondisi ekonomi penduduk di tanah air secara umum. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, bahwa jumlah penduduk miskin pada Maret 2021 mencapai 27,54 juta orang. Jumlah ini hanya menurun tipis 0,01 juta orang dibandingkan  pada September 2020. Namun, jika dibandingkan pada Maret 2020, jumlah penduduk miskin naik 1,12 juta orang.

Kepala BPS Margo Yuwono menuturkan, jumlah penduduk miskin di perkotaan naik 0,01 persen poin. Sementara itu, di desa mengalami penurunan 0,10 persen poin. Adapun kategori penduduk miskin adalah masyarakat yang pengeluaran per kapitanya di bahwa garis kemiskinan (GK) atau kurang dari Rp472.525,00 per kapita per bulan. Garis kemiskinan pada Maret ini naik dari Rp458.947,00 di bulan September 2020. Penyumbang terbesarnya berada pada kategori GK makanan, dengan share sebesar 73,96 persen.

Inilah ironi antara rakyat dan penguasanya. Sebuah fenomena yang tidak mengherankan di sistem demokrasi kapitalistik yang melahirkan lingkaran oligarki. Negara serasa milik golongan dan perorangan. Karena lagi-lagi, rakyatlah yang harus menerima kenyataan pahitnya hidup dalam sistem demokrasi kapitalistik.

Dalam Islam, seorang penguasa atau pejabat haram baginya mengambil harta yang bukan haknya, apalagi memanfaatkan jabatannya untuk hal tersebut. Seperti yang dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khaththab ra. Ia selalu mengaudit jumlah kekayaan pejabatnya sebelum dan sesudah menjabat. Jika terdapat peningkatan harta yang tidak wajar, mereka diminta membuktikan bahwa hasil kekayaan yang mereka dapat bukanlah hasil korupsi atau hal haram lainnya. Bahkan, Khalifah Umar beberapa kali membuat kebijakan mencopot jabatan atau menyita harta bawahannya hanya karena hartanya bertambah, terlebih jika diketahui hartanya itu didapat bukan dari gaji yang diberikan negara.

Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan istrinya, misalnya rela mendermakan harta kekayaannya demi rakyat. Mereka lebih memilih hidup sederhana dibanding menanti hisab berat di akhirat. Ada pula Abu Ubaidan bin al-Jarrah, sahabat Nabi saw. dan panglima besar penakluk Negeri Syam. Di dalam rumahnya yang luas, Abu Ubaid hanya memiliki sebilah pedang, baju besi, dan satu kendaraan. Meski Khalifah Umar bin Khathab menyarankan agar ia mengambil sesuatu dari harta berlimpah di sekitarnya, Abu Ubaid menolak. Sang gubernur lebih memilih zuhud dibanding bergelimang harta.

Semua itu tidak akan bisa berjalan tanpa adanya penerapan sistem politik Islam yang mengurusi urusan rakyat. Sistem politik ini juga tidak akan bisa dijalankan tanpa adanya sistem pemerintahan Islam yakni khilafah ala minhajin nubuwwah. Hanya dengan penerapan syariat Islam secara kafah, para pejabat tidak akan sampai tergila-gila dengan harta. Tidak pula memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri. Sebab, jabatan serta harta yang berlimpah akan dihisab di akhirat kelak, akankah menjadi surga atau neraka baginya.

Wallahu'alam bishawab.[NFY]

Posting Komentar

0 Komentar