Subscribe Us

PAJAK NAIK RAKYAT MAKIN TERCEKIK

Oleh Eni Umiyati
(Pemerhati Kebijakan Publik)


Vivisualiterasi.com-Pemerintah (Menteri Keuangan Sri Mulyani) bersama DPR RI, sepakat akan menaikkan PPN dari 10% menjadi 11% pada April 2022 mendatang. Hal ini seiring dengan disahkannya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakkan. (Kompas.com, 07/10/2021)

Sebelumnya, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly mengungkapkan, "Tarif PPN akan naik secara bertahap hingga 12% pada tahun 2025. Hal ini dilakukan untuk mengerek pendapatan Negara" (Kontan.co.id, 06/10)2021). Menurut keterangan Yasonna, Pemerintah menerima masukan dari masyarakat dan fraksi-fraksi DPR bahwa penetapan multitarif PPN akan menimbulkan potensi sengketa. Oleh karena itu, sistem penetapan PPN tetap tunggal hingga beberapa tahun ke depan.

Dampak Kenaikan Pajak

Menanggapi kenaikan tarif PPN itu, pengamat ekonomi Islam Ustadzah Nida Sa'adah, S. Ak., M.E.I mengatakan bahwa kenaikan tarif itu akan menimbulkan dampak negatif, yaitu akan menaikkan harga barang yang diperdagangkan, yang jelas akan berdampak pula pada meningkatnya harga jual barang sehingga menurunkan kualitas barang tersebut, yang artinya sama saja akan menimbulkan iklim usaha yang tidak kondusif.

Lebih-lebih, saat ini masyarakat telah terbebani dengan dampak pandemi covid, yaitu berkurangnya pendapatan bahkan di antara mereka ada yang tidak memiliki lagi pendapatan karena hilangnya pekerjaan. Sementara itu, mereka yang memiliki usaha juga akan terbebani dengan kenaikan PPN, sebab jelas kebijakan ini akan menambah harga jual dan membuat harga jual makin tdk kompetitif.

Pajak Sebagai Primadona Pendapatan

Sudah banyak orang mengetahui bahwa dalam sistem ekonomi kapitalisme,  pajak menjadi andalan pemasukan untuk membiayai pembangunan. Ada pajak langsung dan tak langsung. Pemerintah terus berupaya mencari cara agar tidak ada individu atau harta yang lepas dari pajak. Jenisnya terus dikembangkan. Ada PPH, PPN, PBB, Pajak Kendaraan Bermotor, hingga rencana adanya pajak sembako dan pajak pendidikan. 

Sayang, kebijakan intensifikasi dan ekstensifikasi pajak berbanding terbalik dengan kebijakan merevisi pengelolaan sumber daya alam (SDA) sebagai harta publik. Bukannya meringankan beban rakyat dengan menurunkan beban pajak, pemerintah justru menaikkannya sembari meloloskan SDA yang melimpah ruah untuk dinikmati hanya oleh segelintir orang dengan cara yang kapitalistik. Semua itu menegaskan watak kapitalisme yang mengiringi pemberlakuan ideologi kapitalisme, di mana rakyat selalu menjadi pihak yang merasakan penderitaann karena kebijakannya yang tidak memberi rasa keadilan pada rakyat.
 
Islam Sistem Adil Tak Berbasis Pajak

Berbeda dengan Islam,  kebijakan fiskal Baitul Mal, yakni sistem keuangan negara Khilafah tidak berupa perpajakan semacam PPN dan lainnya. Dalam hadits riwayat Ahmad yang disahihkan oleh Al Hakim, Rasulullah bersabda, "Tidak masuk surga bagi pemungut cukai/pajak."

Dalam Islam memang dikenal istilah dharibah atau pajak, akan tetapi sangat berbeda dengan konsep pajak dalam sistem ekonomi kapitalisme. Menurut Syaikh Abdul Qodim Zallum, dharibah adalah harta yang diwajibkan oleh Allah SWT kepada kaum muslimin utk membiayai kebutuhan negara dan umat dalam keadaan tidak ada harta dalam Baitul Mal. 

Dalam buku Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, hal.129 karya Syaikh Abdul Qadim Zallum, pajak bukan pendapatan tetap melainkan hanya insidental, yakni ketika Baitul Mal dalam keadaan kosong. Sementara itu, yang dipungut hartanya hanya orang-orang muslim yang kaya saja. Ketika kondisi Baitul Mal kembali normal, pemungutan dharibah itu dihentikan.

Selain itu, dalam sistem keuangan negara khilafah, negara memiliki 3 sumber keuangan yang lain yaitu dari Pos Fai dan Kharaj yang meliputi ghanimah, tanah kharaj, jizyah, fai dan dharibah. Kedua, dari Pos Kepemilikan Umum. Meliputi minyak bumi, gas, padang gembala, hima dan sebagainya yang tidak boleh dimiliki oleh individu atau kelompok. Yang mengelolanya juga harus negara. Dan yang ketiga adalah Pos Zakat yang meliputi zakat uang, zakat komoditas perdagangan, zakat pertanian dan buah-buaahan, juga zakat onta, sapi dan domba. 

Begitu banyak jenis pemasukan yang dimiliki oleh negara Khilafah sehingga mustahil negara akan membebani rakyatnya dalam membiayai kebutuhan negara, yakni dengan berbagai pungutan pajak yg menyusahkan. Bahkan, dengan pemasukan yang melimpah, negara Khilafah tidak perlu lagi berhutang kepada negara lain yang bisa berakibat tergadainya negara. Wallahu a'lam bish-shawab.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar