Subscribe Us

BLOK WABU, BUKTI NEGERI KAYA DIMISKINKAN SISTEM

Oleh Habibah Nafaizh Athaya
(Kontributor Media Vivisualiterasi)


Vivisualiterasi.com-Baru-baru ini, berita mengejutkan kembali tersiar keseantero jagad media. Seorang menteri kembali mendapatkan perhatian lebih, tatkala melaporkan HA dan FM atas tuduhan pencemaran nama baik. Adalah Pak Luhut Binsar Pandjaitan selaku menteri kemaritiman yang tidak terima akan pernyataan HA dan FM soal keterlibatannya dalam bisnis Blok Wabu.

Blok Wabu adalah bagian dari freeport sebelum dilepaskan setelah 10 tahun masa penambangan. Hal ini berdasarkan undang-undang yang telah ditetapkan. Penciutan yang dilakukan freeport pada 2018 jelas meniscayakan Blok Wabu kembali ke tangan negara.

Blok Wabu yang berada tak jauh dari kawasan tambang freeport jelas menjadi sumber keuangan baru yang basah bagi negara. Bayangkan saja jika Data Kementerian ESDM pada 2020, menyatakan bahwa potensi sumber daya Blok Wabu sekitar 117.26 ton bijih dengan rata-rata kadar emas 2,16 gram per ton emas (Au) dan 1,76 gram per ton perak. Artinya, setiap 1 ton material emas dari tanah memiliki kadar sebesar 2,16 gram per ton emas dan 1,76 gram per ton perak. (Gatra.com)

Ini jelas jumlah yang fantastis, lumayan cukup menambal keuangan negara untuk membayar utang yang sudah mencekik. Sehingga pajak bagi rakyat jelata tak harus di perketat atau subsidi bagi kaum miskin tak harus dihilangkan.

Jika cadangan yang dimaksud di atas diukur dengan harga emas sekarang bisa mencapai US$1750 per troy once emas, artinya potensi pendapatan dari siapapun perusahaan yang mengola Blok Wabu mencapai US$14 miliar atau jika dirupiahkan mendekati angka Rp 300 triliun. Jelas ini adalah nilai yang sangan fantastis.

Hanya saja, fakta bahwa kita berada pada sistem kapitalis membuat aset negara kembali pada posisi paling membingungkan. Bukan diberdayakan, justru malah diswastanisasikan. Blok Wabu terafiliasi dengan anak usaha PT. Toba Bara Sejahtera dan dinyatakan bahwa menteri kemaritiman sekarang menjadi salah seorang 
pemilik sahamnya. Inilah cikal bakal pernyataan keterlibatan menteri kemaritiman dalam bisnis Blok Wabu.

Fakta tragis ini bukanlah yang pertama, terlepas dari masalah personal seorang menteri dengan orang yang menyebutkan namanya sebagai salah satu penggerak atau orang dibalik bisnis Blok Wabu. Tak pelik ini adalah gambaran rusak sistem hari ini yang urutannya sudah sangat jatuh ke bawah dari list-list kerusakan yang dilahirkan sistem hari ini. Sistem kapitalisme meniscayakan siapapun bisa dan berhak terjun mengambil bagian dengan dunia bisnis. Selagi modal usaha masih ada, maka ikut dalam permainan bisnis adalah sesuatu yang mudah. Selagi kolega yang memiliki kepentingan sama bertebaran dimana-mana. Negara tak menjadi pelindung dan pengayom bagi rakyat, sejatinya ia hanya sebagai alat penyedia dan pengawas. Dan ini terbukti dengan habisnya aset terswastanisasi dan tergadai.

Kembali lagi, hal ini terjadi karena sistem hari ini memang meniscayakan hal yang demikian. Sehingga hal ini tak bisa terelakkan.

Sementara itu, jika kita melihat sistem Islam yang mengatur tentang sumber daya alam, maka kita akan dapati bahwa hal tersebut menjadi sumber kekayaan rakyat yang hanya boleh dikelola oleh negara (pemerintah) dan disalurkan kepada rakyat. Sehingga hal berupa utang dan pajak bisa diminimalisir sebisa mungkin. Dalam hal barang tambang yang jumlahnya tak terbatas, maka individu tidak boleh menguasainya. Debab barang tambang tersebut termasuk harta milik umum dan hasilnya masuk dalam kas Baitul Mal. Disalurkan dengan berkesinambungan dan menghilangkan kepentingan-kepentingan duniawi. Jikapun ada, maka ini adalah kesalahan individu yang terkikis imannya karena tergiur di dunia.

Rasulullah bersabda, “Kaum muslim bersekutu dalam tiga hal; air, padang, dan api”. (HR Abu Dawud) 

Hadis ini juga menegaskan yang termasuk harta milik umum adalah SDA yang sifat pembentukannya menghalangi individu untuk memilikinya. Maka jelas swastanisasi, gadai aset, dan sejenisnya sulit terealisasi. Sebab ruang geraknya sangat sulit dan terbatas. Berbeda dengan aturan buatan manusia yang melonggarkan kepentingan bersama.

Pemberdayaan sumber keuangan negara akan dimaksimalkan untuk hasil paling optimal demi kelancaran ekonomi dan politik negeri. Dengan ketiadaan utang yang melangit maka negara tidak akan terpengaruh oleh negara lain dalam hal penekanan kepentingan duniawi. 'Utang dulu bayar nanti, tapi tekanannya mulai dari titik terendah hingga tertinggi'.

Begitulah Islam meminimalisir ketergantungan untuk mempertahankan eksistensinya. Hadirnya sistem apik yang tidak mementingkan nafsu duniawi, takkan memberikan ruang bagi kaum kapital menguasai hak-hak rakyat, apalagi menekan pemerintahan yang diperbudak. Inilah yang jelas dirindukan umat. 

Sebuah tatanan pemerintahan yang tidak hanya sekedar janji tapi bukti. Bukan sekedar tampilan tapi juga terealisasi dalam kehidupan yang menjadi kenyataan.

Sejarah telah memberi bukti. Kini, tinggal kita melihat sejauh mana langkah kaki menginginkan kebangkitan. Menjadi manusia-manusia laksana keledai yang tak masalah jatuh pada lubang yang sama, atau menjadi manusia mulia yang menginginkan Islam kafah? Wallahu alam Bishowab. [DFT]

Posting Komentar

0 Komentar