Subscribe Us

SOROTAN PLURALISME AGAMA

Oleh Ramadhan Maulana 
(Direktur Eksekutif Majelis Literasi) 


Vivisualiterasi.com-Pluralisme agama sendiri dimaknai secara berbeda di kalangan cendekiawan muslim Indonesia, baik secara sosiologis, teologis maupun etis. Secara sosiologis, pluralisme agama adalah suatu kenyataan bahwa kita adalah berbeda-beda, beragam, dan plural dalam hal beragama. Pengakuan terhadap adanya pluralisme agama secara sosiologis ini merupakan pluralisme yang paling sederhana, karena pengakuan ini tidak berarti mengizinkan pengakuan terhadap kebenaran teologi atau bahkan etika dari agama lain.

Pertama, adanya keterbukaan atau transparansi. Kedua adalah menyadari adanya perbedaan. Perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan merupakan suatu realitas yang tidak dapat dihindari. Ketiga adalah sikap kritis, yakni kritis terhadap sikap eksklusif dan segala kecenderungan untuk meremehkan dan mendiskreditkan orang lain. Keempat adalah adanya persamaan. Suatu dialog tidak dapat berlangsung dengan sukses apabila satu pihak menjadi tuan rumah sedangkan lainnya menjadi tamu yang diundang. 
Dan yang terakhir (kelima) adalah ada kemauan untuk memahami kepercayaan, ritus, dan simbol agama dalam rangka untuk memahami orang lain secara benar. Masing-masing pihak harus mau berusaha melakukan itu agar pemahaman terhadap orang lain tidak hanya di permukaan saja tetapi bisa sampai pada bagiannya yang paling dalam (batin). 

Seketika mencuat lagi isu ini, heran masih saja ada yang percaya semua agama sama. Alur poros virus pemikiran pluralisme agama adalah tentang toleransi yang sangat berlebihan. Tokoh pengusung pluralisme agama adalah John Hick, menurut beliau semua agama adalah sumber otentik yang suci dan semuanya pasti akan masuk keranah eksidental menuju kebenaran yang hakiki. Beberapa pengusung pluralisme agama menyatakan bahwa kita harus menyikapi sesuatu dengan cara berpikir global (universal), tanpa memikirkan dengan pendekatan agama. Nah, di sini kesesatan pluralisme agama. Dan yang paling tidak mengenakan adalah seluruh pengusung ide sesat ini banyak lahir dari rahim yang mengaku perguruan tinggi Islam yang menjadi penderitaan. Namun kita harus tahu bahwa beberapa penyumbang pemikir Islam di tanah air ini terkontaminasi oleh barat. Contohnya saja Nurcholis Majid dengan hegemoni dan kekuatan pamornya yang membuat citra buruk bagi agama sampai buku yang ditulisnya yaitu 'Fiqh Lintas Agama' yang menjadi bumerang bagi umat Islam. Ada juga ternyata *model Fira'un* di Indonesia dari segi pemikiran bukan dari segi kekuasaan. Beberapa tenaga pengajar di universitas berlabel Islam yang selalu membuat tulisan menohok bagi agama ini. Bagaimana tidak, menohok langsung menyerang dengan dalil. Kita harus terbuka secara pemikiran jangan mengambil dogma Islam. Ini adalah ucapan jebolan universitas yang berlogo dan berlabel Islam tapi malah mengkampanyekan ide pluralisme agama. Sudah pantas mereka ini disebut *Abu Jahal* di era 4.0. Oleh karena itu, jangan kita tertipu oleh janji manis mereka. Kita harus terus terang bahwa pluralisme agama itu bagai racun untuk agama ini, maka kita harus meninggalkan ide sesat sekaligus menyimpang ini. Pandangan Hanik salah seorang pengajar di kampus berlabel Islam menyatakan umat Islam itu harus terbuka pemikirannya harus global dengan menerima pluralisme agama karena kalau tidak maka akan muncul disetgrasi sosial yang berkapanjangan dan konflik yang mengatasnamakan agama. Menurut beliau, kita harus menerima liberalisme dan moderat karena menjadi pluralis sejati harus menerima kedua racun itu. Nah di sini kita bisa membantah argumentasi racun dari pengajar ini dengan perkataan mudah kalau Islam bukan agama yang paripurna. Tak mungkin Rasul mendakwahkan Islam sebagai suatu sistem masyarakat dan tidak mungkin juga Rasul itu penipu dengan berkedok agama.

Kesimpulan saya tentang pluralisme agama adalah efek dari hegemoni ideologi kufur kapitalisme-sekuler yang membuat pemikiran seseorang itu menjadi relativisme serta akan berakibat fatal sampai jatuh kejurang kesesatan yaitu agnostik. Maka dari itu, kita sebagai umat Islam yang seharusnya menjadikan Islam sebagai pemikiran asasi dan sebagai pandangan kita. Tak boleh memilih pemikiran selain Islam karena kita adalah umat terbaik. Ciri umat terbaik adalah bangga akan entitas pemikirannya yang di emban dan di dakwahkannya. 
Wallahuallam bis'howab.(DFT) 



Referensi
 1. Sumiarti. (2008). PLURALISME AGAMA: STUDI TENTANG KEARIFAN LOKAL DIDESAKARANGBENDAKECAMATAN ADIPALA KABUPATEN CILACAP:
 2. Hanik. (2014). PLURALISME AGAMA DI INDONESIA : 44 -63. 
3. Harda Armayanto. (2014). Problem Pluralisme Agama : 326-340. 
4. Abdullah Muslich Rizal Maulana. (2020). PROBLEMATIKA PLURALISME AGAMA ANTARA TEOLOGI DAN FILSAFAT: MEMBACA KRITIK MARIANNE MOYAERT ATAS JOHN HICK : 99-113.
 5. Syamsuddin Arif. (2010). ‘Interfaith Dialogue’ dan Hubungan Antaragama dalam Perspektif Islam: 148-165.

Posting Komentar

0 Komentar