Subscribe Us

RENCANA PPN, PEMERASAN ALA KAPITALIS

Oleh Ummu Majdah
(Kontributor Media Vivisualiterasi.com)


Vivisualiterasi.com-Rencana pemerintah untuk mengenakan PPN terhadap bahan pangan, proses persalinan, dan pendidikan menuai kontroversi di tengah masyarakat. Penolakan datang dari masyarakat dan sejumlah pejabat negara. Pasalnya, ekonomi masyarakat saat ini tidak baik-baik saja. Pandemi yang sudah menginjak tahun kedua, telah merubah tatanan masyarakat menjadi tidak stabil.

Dikutip dari CNN Indonesia (12/6/2021) bahwa rencana pengenaan PPN terhadap sembako tersebut, akan diatur dalam Pasal 4A draf revisi UU. Dalam draf aturan tersebut, barang kebutuhan pokok serta barang hasil pertambangan atau pengeboran dihapus dalam kelompok jenis barang yang tidak dikenai PPN. Dengan penghapusan itu berarti barang itu akan dikenakan PPN. Kemudian menambah objek jasa kena pajak baru yang sebelumnya dikecualikan atas pemungutan PPN. Diantaranya adalah jasa pelayanan kesehatan medis, pelayanan sosial, pengiriman surat dengan perangko, keuangan, hingga asuransi.

Walau hanya berupa rencana, namun nyatanya telah berhasil membuat masyarakat khawatir. Sebab, kebutuhan dasar atau pokok saat ini sudah sedemikian mahal di tengah penghasilan yang tak menentu.

Senada dengan suara masyarakat, ketua MPR RI, Bambang Soesatyo meminta pemerintah khususnya Kementerian Keuangan membatalkan rencana pungutan PPN terhadap sektor sembako dan pendidikan, yang tertuang dalam revisi Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Ia menilai rencana tersebut bertentangan dengan Sila ke-5 yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (antaranews, 13/6/2021)

Benar, masyarakat telah menghadapi situasi sulit akibat pandemi yang semakin melonjak. Kini, dihadapkan dengan persoalan pelik yang menyangkut hajat hidup. Biaya kehidupan menjadi bertambah.

Ekonomi Kapitalis Menggilas Rakyat

Sesuatu yang wajar, ketika pemerintah mengalakkan rencana pemungutan pajak ke rakyatnya. Bahkan, membangun opini 'warga negara baik adalah taat pajak'. Jika ditelisik lebih jauh, hampir semua hajat hidup masyarakat dikenakan pajak. Hal ini dikarenakan negeri kita dibangun atas dasar ide kapitalis yang menjadikan pajak sebagai tumpuan pemasukan negara. Dalam sistem kapitalisme, penerapan kebijakan ekonomi liberal adalah suatu yang tak terpisahkan. Pajak merupakan salah satu kebijakan yang dinilai dapat membantu untuk menambah pemasukan kas negara, juga dapat membantu melunasi utang-utang negara yang terus bertambah. Dengan memperoleh pajak, maka negara dengan mudah mendapatkan dana segar. Hal ini dinilai dapat menyelamatkan ekonomi negara. Oleh sebab itu, pajak menjadi tumpuan pemasukan tetap negara.

Walhasil, kita dapati semua jenis barang dikenai pajak, termasuk rencana PPN bagi bahan pokok dan pendidikan termasuk kesehatan kedepannya. Jika benar terjadi, maka dapat dipastikan bahwa rakyat akan menanggung (lagi) beban. Secara otomatis, beban yang selama ini di pundak rakyat akan bertambah pula. Semua paham, tatkala rencana kebijakan terealisasi maka dampaknya bukan hanya keluarga dan para pedagang kecil. Akan tetapi, seluruh elemen masyarakat merasakan naiknya harga-harga bahan pokok dan pendidikan nantinya.

Jelas, rencana kebijakan pemerintah jauh dari upaya mensejahterakan rakyat. Kalaupun pemerintah menampik, bahwa akan digunakan untuk kepentingan rakyat. Tetapi, seperti kebijakan sebelumnya hampir tak dirasakan rakyat kecuali mereka yang sudah hidup nyaman dengan finansial yang mapan. Lantas, bagaimana dengan mereka untuk makan sehari-hari saja sangat sulit?

Kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, memang sangat merugikan masyarakat secara keseluruhan. Idenya yang batil dan rusak membuat tatanan kehidupan rusak pula. Padahal, negeri kita kaya akan SDA. Tak semestinya pajak menjadi sumber utama pemasukan negara. Sumber daya alam di negeri ini cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan masyarakat tanpa terkecuali jika kelola dengan baik.

Pada faktanya, memang negeri ini sangat kaya akan SDA. Termasuk kepemilikan umum yang dikelola oleh negara sendiri dan hasilnya harus didistribusikan kepada rakyat secara merata. Namun, SDA yang merupakan kekayaan negeri ini diberikan kepada swasta asing untuk dikelola. Apa yang diperoleh negeri ini? Hanya pajak yang jumlahnya tidak lebih dari beberapa persen saja.

Harapan ingin mensejahterakan rakyat dengan pajak, malah sebaliknya. Rakyat semakin tercekik, sebab, harus mengeluarkan biaya (lagi) yang lebih demi memenuhi kebutuhan pokoknya. Hal ini akan menjadi satu kebijakan kelak. Jika benar diterapkan, maka sungguh zalim penguasa terhadap rakyatnya. 

Jauh sebelumnya, Rasulullah saw. telah memperingati para pemimpin terkait perlakuan terhadap rakyatnya. Rasulullah saw. bersabda: “Barang siapa yang diangkat oleh Allah menjadi pemimpin bagi kaum muslim, lalu ia menutupi dirinya tanpa memenuhi kebutuhan mereka, (menutup) perhatian terhadap mereka, dan kemiskinan mereka. Allah akan menutupi (diri-Nya), tanpa memenuhi kebutuhannya, perhatian kepadanya, dan kemiskinannya.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi dari Abu Maryam)

Pajak Dalam Timbangan Syariah

Istilah pajak, dikenal dalam fikih Islam, dengan dharîbah. Al-‘Allamah Syaikh Rawwas Qal’ah Jie menyebutnya dengan, “Apa yang ditetapkan sebagai kewajiban atas harta maupun orang di luar kewajiban syara” (Mu’jam Lughat al-Fuqaha’, hal. 256). Sedangkan al-‘Allamah Syaikh ‘Abdul Qadim Zallum, mendefinisikannya dengan, “Harta yang diwajibkan Allah kepada kaum muslim untuk membiayai kebutuhan dan pos yang diwajibkan kepada mereka dalam kondisi ketika tidak ada harta di Baitul Mal kaum muslim untuk membiayainya.” (al-Amwal fi Daulati al-Khilafah, hal. 129)

Sumber pendapatan tetap negara yang menjadi hak kaum muslim dan masuk ke Baitul Mal adalah: fai’ (anfal, ghanimah, khumus), jizyah, kharaj, ‘usyur, harta milik umum yang dilindungi negara, harta haram pejabat dan pegawai negara, khumus rikaz dan tambang, harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, harta orang murtad. Kesemuanya itu merupakan pendapatan tetap negara.

Adapun pendapatan tidak tetap disesuaikan dengan kondisi negara. Yaitu ketika dana tidak ada di Baitul Mal, syara telah menetapkan kewajiban kolektif hanya kepada kaum Muslim terkait pembiayaan ketika dana di Baitul Maal kosong. Diambil tidak secara terus menerus, tergantung kebutuhan yang dibenarkan oleh syara. Syara menetapkan beberapa kewajiban pengeluaran negara tertentu, ada atau tidak adanya dana di Baitul Mal. Jika ada, maka Baitul Mal yang membiayainya. Namun, jika dananya kosong, maka kewajiban bagi seluruh kamu muslim yang membiayainya.

Tetapi perlu diketahui, tidak semua kaum muslim, apalagi nonmuslim diberi beban pajak oleh negara. Melainkan, pajak hanya diambil dari kaum muslim yang mampu saja atau yang mempunyai kelebihan harta setelah kebutuhan dasarnya terpenuhi. Namun, jika tak ada kelebihan harta, maka tidak akan diambil pajak darinya. Sebab, jika tidak ada yang membiayai pos pembiayaan tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya bagi kaum muslim dan negara. 

Diantara pengeluaran yang wajib dibiayai oleh kaum muslim dan negara. Apakah dana itu ada atau kosong di Baitul Mal sebagai berikut:

Pertama, biaya jihad: mulai dari pembentukan pasukan yang kuat, pelatihan hingga pada level tinggi, menyiapkan persenjataan mutakhir, baik dari segi kuantitas maupun kualitas, serta mengemban dakwah Islam ke seluruh dunia. 

Kedua, biaya industri perang: termasuk industri dan pabrik yang dibutuhkan, agar bisa memproduksi alutsista yang diperlukan. Sebab, jihad membutuhkan pasukan dan asukan tidak bisa berperang, jika tidak ada alat utama sistem pertahanan yang canggih dan memadai. 

Ketiga, pengeluaran untuk fakir, miskin, dan ibn sabil. Ini termasuk ashnaf zakat, tetapi jika di Baitul Mal, dana dari pos zakat tidak ada, maka kewajiban tersebut wajib dipikul oleh kaum muslim, namun sifatnya kondisional.

Keempat, pengeluaran untuk gaji tentara, pegawai negara, hakim, guru, dan semua pihak yang memberikan hikmat kepada negara untuk mengurus kemaslahatan kaum muslim. 

Kelima, biaya pembangunan infrastruktur dan fasilitas umum. Seperti jalan raya, sekolah, kampus, rumah sakit, masjid, saluran air, dan sebagainya. Ini semuanya merupakan sarana dan prasarana utama. 

Keenam, biaya penanggulangan bencana alam, kecelakaan, dan sejenisnya. Jika di Baitul Mal tidak ada dana, dan kaum muslim tidak bahu membahu menanggulanginya, maka akan menyebabkan terjadinya bahaya. 

Kesemua pembiayaan tersebut merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan, namun ketika didapati Baitul Mal tidak memiliki dana. Maka, kewajiban berada di pundak kaum muslim yang mampu sampai kondisi stabil dan Baitul Mal mampu membiayai pos-pos pengeluaran yang telah ditetapkan syara.

Oleh sebab itu, pajak dalam Islam bukan menjadi sumber pendapatan tetap bagi negara. Itupun diambil dari kaum muslim yang kaya saja secara materi. Sifatnya hanya sementara, negara tidak akan menetapkan pajak tidak langsung. Seperti pertambahan nilai, pajak barang mewah, pajak hiburan, pajak jual-beli dan lain sebagainya. Bahkan, negara tidak akan menetapkan biaya sedikitpun berupa pelayanan publik yang merupakan kebutuhan dasar rakyat, misalnya biaya kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Semuanya itu diberikan secara gratis dan berkualitas. Demikian pula, mengenai biaya-biaya admistrasi termasuk denda layanan publik. Seluruhnya merupakan kewajiban negara kepada seluruh rakyatnya.

Semua itu akan terwujud dengan menerapkan sistem yang berasal dari Sang Pencipta. Yang akan memberikan keberkahan bagi negara dan bumi secara bersamaan. Menggantungkan harapan agar sejahtera disistem saat ini, bagai mengharap bulan di siang hari. Wallahu a'lam. [IRP]

Posting Komentar

0 Komentar