Subscribe Us

MENGUJI PENEGAKKAN HUKUM BAGI SI KAYA

Oleh Betiya
(Muslimah Kabupaten Bandung)


Vivisualiterasi.com-Narkoba adalah singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan adiktif lainnya. Narkoba disebut juga dengan istilah NAPZA (narkotika, psikotropika, dan zat adiktif).

Para ulama sepakat tentang keharaman narkoba jika keadaannya tidak darurat. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Narkoba sama halnya dengan zat yang memabukkan, diharamkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Bahkan, setiap zat yang dapat menghilangkan akal, haram untuk dikonsumsi walau tidak memabukkan.” (Majmu’ Al Fatawa, 34: 204)

Saat ini, barang haram tersebut telah menjerat keluarga pengusaha besar di Indonesia beserta menantunya yang juga seorang artis Nia Ramadhani dan suaminya Ardie Bakrie. Melansir dari Merdeka.com, Kapolres Jakarta Pusat, Kombes Hengki Haryadi menegaskan, penyidik tetap akan memproses hukum terhadap Nia Ramadhani atas kasus penyalahgunaan narkotika. Meskipun, dalam undang-undang pengguna narkotika diwajibkan menjalani rehabilitasi. Dalam Pasal 127, berdasarkan hasil penyelidikan yang diperoleh terkait pengguna narkoba, maka diwajibkan untuk rehabilitasi, itu merupakan kewajiban undang-undang. Namun adanya rehabilitasi, bukan berarti perkara tidak lanjutkan. Perkara akan tetap dilanjutkan dan dibawa ke ruang sidang yang nantinya divonis sesuai ketentuan hukum yang berlaku. Dalam hal ini ancaman maksimal adalah empat tahun. Kemudian, untuk rehabilitasi bukan dilaksanakan oleh penyidik. (Merdeka.com, 7/7/2021)

Hukum Indonesia: Tumpul ke Atas Tajam ke Bawah

Rasa-rasanya sulit untuk bisa percaya dengan aparat penegak hukum saat ini. Sebab, akhir-akhir ini sudah begitu banyak catatan buruk yang ditemukan publik dalam berbagai kasus yang ditangani pihak kepolisian yang semakin terlihat tak bertaji, termasuk terhadap kasus Nia Ramadhani dan suaminya Ardie Bakrie.

Terkait dengam kasus yang menimpanya, Nia Ramadhani pun hanya bisa menangis dan mengungkapkan penyesalannya dengan meminta maaf kepada keluarga dan masyarakat luas. Selain itu, ancaman penjara maksimal empat tahun yang membayangi, sepertinya bisa ditepis tersebab adanya  permohonan dari keluarga dan penyidik yang memfasilitasi untuk rehabilitasi. Meski pihak kepolisian mengklaim bahwa proses hukum  tetap dilanjutkan, tapi rasanya mustahil bagi si kaya akan dijatuhi hukuman tersebut. Mengingat, kekuatan lobi politik sang pengusaha sangat mungkin untuk bisa terhindar dari jerat hukum. Hukum pun seolah bisa dengan mudah direvisi sehingga pelaku  terbebas dari pidana dan tak harus mendekam dalam tahanan. 

Penegakan hukum saat ini memang begitu memuakkan. Sebab, terlalu banyak fakta yang menunjukkan hukum laksana pisau dapur yang tumpul ke atas namun tajam ke bawah. Mari kita tengok kembali terkait kasus seorang ulama hanif yang membela kebenaran, kemudian beliau justru dituduh melakukan pelanggaran hingga divonis hukuman empat tahun penjara. Namun pada saat yang sama, seorang jaksa wanita yang terbukti melakukan korupsi dan merugikan negara, hukuman yang seharusnya dijatuhkan sepuluh tahun penjara kemudian dipangkas menjadi empat tahun penjara dengan alasan tak masuk akal. Ini hanyalah beberapa kasus dari sekian banyak kasus yang menimpa rakyat di negeri Indonesia. Bagi rakyat biasa dengan kasus yang serupa tentunya masih banyak lagi.

Hukum dalam sistem demokrasi memang tidak bisa dipercaya, sebab telah jelas dalam penerapannya payung hukum hanya melindungi orang yang memiliki kedudukan dan pemilik pundi-pundi materi semata. Bagi seorang kapitalis, meskipun terbukti bersalah namun hukuman dapat dengan mudah diotak-atik sesuai dengan kepentingan yang dikehendaki.

Inilah konsekuensi ketika sistem demokrasi masih dipergunakan dalam mengurus negara. Pada faktanya, sistem rusak ini memang lahir dari ide pemisahan agama dari kehidupan. Agama sama sekali tidak dilibatkan dalam membuat aturan kehidupan. Semua aturan diserahkan kepada akal manusia. Tak heran, produk hukumnya mudah direvisi tergantung siapa yang berkepentingan.

Konsistensi Penegakkan Hukum Dalam Islam

Allah Swt. berfirman, "Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang meyakini (agamanya)?" (QS. al-Maidah: 50)

“Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kalian untuk menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya dan apabila kalian menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil.” (QS. an-Nisa: 58)

Dalam ayat tersebut, jelas aturan Islam diturunkan untuk menciptakan keadilan di tengah masyarakat. Keadilan Islam yang gemilang sesungguhnya telah dirasakan umat sejak sampainya Rasulullah Saw di Madinah hingga Kekhilafahan Turki Utsmani. Kunci utama keberhasilan tersebut karena penerapan seluruh hukum-hukum Allah Swt.

Hukum dalam Islam berfungsi sebagai jawabir dan zawajir, yakni sebagai penebus dosa bagi pelaku juga pencegah bagi orang lain agar tidak mengikutinya. Sebab, hukum Islam adalah hukuman yang dapat memberikan efek jera sehingga akan mencegah orang lain untuk melakukan hal serupa. 

Selain itu, uang tak bisa menjadi alat penjamin seorang pesakitan. Sebab, syariat telah menetapkan suatu perbuatan sebagai dosa (dzunub) yang harus dikenai sanksi. Maka, penerapan syariat Islam menjadi modal bagi keberlangsungan penegakan hukum yang berkeadilan. Dalam hukum Islam, akan didapati cita-cita tertinggi manusia dalam bidang hukum, yaitu untuk mewujudkan keadilan. Inilah yang menjadi kunci kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya.

Betapa kita sangat rindu keadilan hukum dan aparat penegak hukum yang berlaku adil, jujur, serta berani memutuskan perkara sesuai kebenaran. Sebuah pengadilan hukum yang senantiasa menyadarkan seluruh keputusannya pada syariat Allah Swt. Tak bisa dibeli dengan uang maupun direvisi oleh sekelompok orang. Hal itu hanya bisa kita temukan dalam sistem Islam, ketika penerapannya terwujud secara menyeluruh dala bingkai Khilafah. Semoga Khilafah yang dinanti segera menaungi bumi ini. Wallahu a'lam bish shawwab.[DFT]

Posting Komentar

0 Komentar