Subscribe Us

MARITAL RAPE DALAM RUU KUHP: SERANGAN HUKUM KELUARA MUSLIM

Oleh Juniwati Lafuku, S.Farm.
(Pemerhati Sosial)


Vivisualiterasi.com-Pernikahan yang harusnya mendatangkan kebahagiaan, kini terusik dengan isu marital rape (pemerkosaan suami terhadap istri). Sebagian orang menganggap defenisi pemerkosaan harus lebih luas, meskipun ada juga yang berpendapat tidak ada istilah pemerkosaan dalam pernikahan. 

Banyaknya laporan kekerasan seksual dalam pernikahan, mendorong lahirnya UU KUHP untuk meluaskan definisi pemerkosaan, salah satunya pemerkosaa suami terhadap istrinya (marital rape). Delik ini sudah ada dalam UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Dalam Pasal 479 RKUHP disebutkan bahwa setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang bersetubuh dengannya dipidana karena melakukan pemerkosaan, dengan pidana penjara paling lama 12 tahun. Tindak pidana pemerkosaan itu, antara lain perbuatan persetubuhan dengan cara kekerasan, memaksa seseorang karena orang tersebut percaya bahwa orang yang disetubuhinya itu merupakan suami/istriya yang sah. (cnnindonesia,com 16/6/2021)

Isu ini tentu mengundang kontroversi di tengah masyarakat, apakah pasal 479 RKUHP dapat menjadi solusi penghapusan kekerasan seksual dalam rumah tangga? 

Marital Rape: Bentuk Penghancuran Keluarga

Dengan definisi yang tercantum dalam Pasal 479 ayat (1) maka bisa saja seorang suami memerkosa istrinya. Dengan syarat si istri sedang tidak mau berhubungan badan dan si suami melakukan kekerasan. Karena memang sudah ada kejadian. 

Kasusnya yang pertama karena istri sakit-sakitan dan dipaksa berhubungan intim lalu istri meninggal. Kasus ini terjadi di Denpasar pada 2015, yaitu Tohari memerkosa istrinya yang sedang sakit-sakitan. Beberapa pekan setelah itu, Siti meninggal dunia. Atas hal itu, Pengadilan Negeri Denpasar menjatuhkan hukuman 5 bulan penjara kepada Tohari. 

Kasus kedua yaitu istri dipaksa melakukan hubungan intim di hutan dengan alasan itu hak suami sesuai dengan agama tertentu. Kasus kedua ini dilakukan oleh Hari Ade Purwanto. Ia memaksa istrinya berhubungan badan di sebuah hutan di Pasuruan, Jawa Timur pada 2011. Hari beralasan sudah kewajiban istri melayani suami, sesuai agama yang ia yakini. 

Namun pembelaan diri Hari ditolak dan akhirnya dihukum 16 bulan penjara. Putusan itu bergeming hingga tingkat kasasi dengan ketua majelis hakim Prof. Komariah E. Sapardjaja serta hakim anggota Suhadi dan Salman Luthan. 

Jadi, kalau kita lihat kejadiannya sangat ekstrem. Tidak bisa kita generalisasikan karena memang pasangan itu tidak bisa hidup bersama lagi sebagai suami istri. 

Sedang dalam keadaan normal, jika suami meminta istri melayani dan istri menolak tanpa ada alasan syar'i, dipandang sebagai bentuk ketidaktaatan istri pada suami. 

Kekerasan dalam hubungan suami istri juga dipengaruhi banyak faktor. Perlakuan kasar suami kepada istri bisa jadi karena faktor ekonomi, keadaan krisis, sementara istri stres, dan tidak mampu bersabar sehingga tidak dapat melayani suami dengan baik. Rangsangan seksual dari luar akibat gaya hidup hedonis dan liberal di tengah masyarakat juga memicu kekerasan seksual. 

Bagi kalangan pembela kesetaraan gender, pasal 479 ayat 1 KUHP tentang perkosaan dalam perkawinan, seolah memberikan angin segar. Karena KUHP berkedudukan sebagai payung untuk rujukan lain, misalnya Undang-undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (yang kini masih berupa RUU PKS). Apalagi Indonesia lebih dari 20 tahun berada pada tahun emergency (keadaan darurat) kejahatan seksual. Sehingga membutuhkan regulasi tegas untuk membantu negeri ini keluar dari jebakan kekerasan/kejahatan seksual.

Hal ini tentu akan merusak institusi pernikahan, karena istilah pemerkosaan bahkan bisa disematkan pada pasangan sah. Hal ini tentu berbahaya, sebab merusak ketahanan keluarga dan merobohkan institusi pernikahan. 

UU PKS dan UU yang mengatur tentang KDRT sejatinya tidak bisa berbuat banyak selama pemahaman liberal tentang pergaulan laki-laki dan perempuan masih berlangsung. Pintu-pintu perzinahan masih terbuka lebar. Kesenjangan ekonomi dan keluarga tidak terpenuhi. Jadi, adanya tindak kekerasan terhadap pasangan karena merasa "diperkosa" suami memang harus mendapatkan hukum yang setimpal. Meskipun demikian, tata hukum di Indonesia perlu diperbaiki agar kekerasan seksual dalam bentuk apapun terhadap wanita dapat dicegah. 

Islam Solusi Ketahanan Keluarga

Tata pergaulan di dalam Islam sangat dijaga. Setiap individu muslim harus miliki gaya hidup taat syariat, baik laki-laki maupun perempuan. Mereka hidup terpisah dan tidak berinteraksi kecuali dengan alasan syar'i. Seperti pendidikan, kesehatan, perdagangan, dan persaksian. Mereka yang belum mampu menikah dapat menahan diri dengan puasa serta bersabar dalam ketaatan. Paham kebebasan jelas bertolak belakang dengan Islam. 

Pernikahan dilakukan karena tiap individu muslim ingin menyempurnakan separuh agama serta mencontoh Rasulullah saw. dalam kehidupan. 

Hubungan pernikahan adalah hubungan persahabatan antara suami dan istri, bukan hubungan antara atasan dan bawahan. Dengannya rasa bahagia, kasih sayang, dan cinta akan tumbuh. Hubungan yang harmonis dapat terwujud ketika suami dan istri paham akan fungsi dan perannya dalam rumah tangga. Istri yang seringkali menolak ajakan suami tanpa alasan syar'i, sangat berpotensi menimbulkan sakit hati dan rasa kecewa pada diri suami yang menyebabkan ketidak harmonisan dalam rumah tangga. 

Dari Thalqu bin Ali, Rasulullah saw. bersabda,

إِذَا الرَّجُلُ دَعَا زَوْجَتَهُ فَلْتَأْتِهِ وَ إِنْ كَانَتْ عَلَى التَّنُّوْرِ 

“Apabila seorang suami mengajak istrinya untuk berkumpul, hendaknya wanita itu mendatanginya sekalipun dia berada di dapur.” (HR Tirmidzi, dinilai sahih oleh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib) 

Berdasarkan hadis tersebut dapat disimpulkan, bahwa istri wajib melayani suami jika suaminya  meminta meskipun saat itu ia sedang ada pekerjaan lain. Hadis tersebut merupakan anjuran untuk lebih memprioritaskan ajakan suami berhubungan intim dibanding pekerjaan lainnya. 

Hadis lainnya, dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: 

لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُوْمَ وَ زَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ 

“Tidak halal bagi wanita untuk berpuasa (sunah) sedangkan suaminya berada di rumah, kecuali dengan izinnya.” (HR Bukhari) 

Masih dari Abu Hurairah, Rasulullah saw. bersabda: 

إِذَا دَعَا الرَّجُلُ اِمْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا اَلْمَلآئِكَةُ حَتىَّ تُصْبِحَ 

“Apabila suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya lalu istri enggan sehingga suami marah pada malam harinya, malaikat melaknat sang istri sampai waktu subuh.” (HR Bukhari). 

Pertanyaan yang perlu diajukan adalah, bagaimana jika istri sedang menderita sakit, sehingga merasa berat melayani suaminya. Apakah istri berdosa jika menolak ajakan suaminya? Sebagaimana diterangkan di atas. Pada dasarnya, istri wajib memenuhi ajakan suami untuk berhubungan intim. Akan tetapi jika istri sedang sakit atau mengalami gangguan psikis lainnya yang mengakibatkan berat melayani suaminya, maka suami tidak boleh memaksanya untuk berhubungan intim. Tapi, masih ada cara lain agar kebutuhan batin suami terpenuhi, yaitu dengan cara mencium, membelai, atau lainnya. Selama hal itu tidak membahayakan terhadap si istri. 

Nabi saw. bersabda: 

لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ 

“Tidak boleh melakukan sesuatu yang berbahaya atau membahayakan (orang lain).” (HR Ahmad,  Malik dan Ibnu Majah) 

Allah Swt. juga berfirman dalam surah Annisa ayat 19: 

وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ 

“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.” 

Wallahu a'lam [SP]

Posting Komentar

0 Komentar