Subscribe Us

KEBIJAKAN TEPAT DEMI KEMASLAHATAN UMAT

Oleh Rita Yusnita
(Pengasuh Forum Bunda Salehah) 


Vivisualiterasi.com-Pemerintah untuk membuka kembali sekolah dan memulai pembelajaran pada Januari 2021 lalu, belum sepenuhnya terealisasi. Beberapa hal menjadi pertimbangan karena menyangkut keselamatan anak-anak dan tenaga pendidik. Bahkan Epidemiolog dari Griffith University, Dicky Budiman mengatakan bahwa keputusan itu berbahaya. Alasan pertama karena angka positifity rate di Indonesia yang masih di atas 10 persen. Padahal, untuk relatif aman membuka kembali sekolah angka positifity rate setidaknya 5 persen atau di bawah itu.

"Tes positifity rate kita yang sudah sembilan bulan ini di atas 10 persen, akan perlu waktu untuk diturunkan menjadi lima persen. Umumnya negara-negara yang lakukan dan berhasil itu perlu waktu, setidaknya 3 bulan, ujar Dicky dilansir kompas.com, Selasa (24/11/2020). 

Ungkapan keberatan disampaikan juga oleh Komisioner KPAI Bidang Pendidikan, Retno Listyarti. "KPAI berpandangan seharusnya April-Juni adalah waktunya melakukan penyiapan, bukan uji coba secara terbatas. Uji coba PTM terbatas seharusnya dilakukan pada Juli 2021," ujar Retno dikutip dari siaran pers, Sabtu (3/4/2021). Menurutnya, penyiapan infrastruktur dan protokol kesehatan Covid-19 tak bisa berjalan secara pararel dengan pembukaan sekolah tatap muka. Retno juga mengingatkan bahwa pemerintah wajib memberikan perlindungan berlapis untuk keselamatan peserta didik saat sekolah tatap muka. (liputan6, 3/4/2022)

KPAI menyatakan hanya 16,3 persen sekolah yang sudah siap melakukan pembelajaran tatap muka. Angka ini berdasarkan hasil pengawasan KPAI pada Juni-November 2021 dari 49 sekolah di 21 kabupaten/kota pada 8 Propinsi, (kontan.co.id, 2/4/2021). Retno menuturkan, pemerintah daerah harus melakukan pemetaan sekolah mana saja yang sudah siap dan yang belum. Untuk sekolah yang sudah siap harus ditinjau apakah sarana dan prasarananya lengkap. Seperti penyediaan wastafel yang memadai, thermo gun hingga ruang isolasi sementara untuk keadaan darurat. Jangan lupakan juga ketika uji coba sekolah tatap muka, para guru sudah divaksin terutama guru dan tenaga pendidik yang usianya lebih dari 45 tahun. Adapun untuk sekolah yang belum siap, hendaknya pemerintah mengecek sejauh mana ketidaksiapannya. 

Pandemi yang belum juga usai menjadi sebab anak-anak tetap melakukan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Berbagai keluhan dan kendala mengiringi proses pembelajaran ini. Dari mulai terkendalanya jaringan, minimnya kuota, hingga tugas beruntun dari para guru menjadikan anak dan para orangtua pusing kepala. Belum lagi dari sistem kurikulum yang selalu berubah-ubah hingga para guru dibuat kalang kabut untuk menyesuaikan dengan metode pembelajaran.

Sampai saat ini, belum ada langkah tepat yang diambil pemerintah guna mengatasi berbagai kendala yang terjadi dalam sistem pendidikan. Setiap kebijakan yang diambil seakan terburu-buru sehingga hasilnya tidak maskimal. Seperti saat ini, ketika berbagai desakan publik muncul untuk membuka kembali sekolah maka pemerintah secepatnya mengeluarkan keputusan sekolah tatap muka tanpa terlebih dulu mengadakan sosialisasi persiapannya.

Padahal setiap sekolah pasti berbeda kondisi, baik dalam sarana maupun prasarananya. Seharusnya pemerintah bertanggung jawab dan memberi perhatian secara berimbang. Meninjau dan memastikan secara langsung persiapan setiap sekolah dalam menghadapi pembelajaran tatap muka, sehingga ketika keputusan itu diterapkan maka tidak akan ada lagi hal yang perlu dikhawatirkan.

Setiap kebijakan yang diambil pasti menimbulkan pro dan kontra, namun itu tidak akan terlalu terlihat jika setiap keputusan yang lahir bukan atas desakan pihak manapun, tetapi murni untuk kemaslahatan umat. Dalam kaidah fikih, disebutkan kaidah, "Kebijakan imam/pemerintah bagi rakyat harus berdasar maslahah." Kaidah ini memberi dasar bagi pemerintah bahwa setiap keputusan harus berdasar atas sebuah kemaslahatan semua lapisan masyarakat. Kaidah ini berdasar firman Allah subhanahu wa ta'ala.

"Sesungguhnya Allah menyuruh kalian menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, dan (menyuruh kalian) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya kalian menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepada kalian. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat," (TQS An-Nisa’ [4]: 58).
 
Imam al-Qurtubi dalam tafsirnya menyebut dua perkara terkait ayat ini. Pertama, obyek (khitab) ayat ini adalah para pemangku kekuasaan, Nabi ï·º, khalifah setelahnya dan para pemimpin setelahnya. Kedua, ayat ini mengandung pokok-pokok hukum yang menjadi tanggung jawab pemimpin berupa amanah kekuasaan atas harta benda, penegakan hukum, perlindungan, dan advokasi terhadap kezaliman yang menimpa rakyat. (Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari, Al-Jami' li Ahkamil-Qur'an, [Darul Kutub al-Misyriyah] jilid: 5 hlm: 255-256)

Amanah yang menjadi tanggung jawab dunia akhirat, sehingga kepemimpinan tidak boleh dijalankan sembarangan tanpa prinsip keadilan, transparan, dan bisa dipertanggungjawabkan.
Rasulullah ï·º bersabda, "Tiada seorang yang diamanati Allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati, ia masih menipu rakyatnya, melainkan pasti Allah mengharamkan baginya surga," (HR Bukhari). Inilah gambaran nyata jika sistem Islam diterapkan, setiap kebijakan murni untuk kemaslahatan umat bukan atas desakan maupun pesanan dari pihak manapun. 

Wallahu a'lam Bishawab. [SP]

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Setuju atas pemafaran penulis. Jadi kalau membuat aturan jangan berdasarkan perasaan.
    Tapi berdasarkan dalil/bukti yg nyata , akurat serta harus dilihat apakah kebijakan yg diambil sudah tepat? Hingga kemasiahatan umat akan terwujud.

    BalasHapus