Subscribe Us

SIKAP ANTI KHILAFAH, BERTENTANGAN DENGAN SEJARAH

Oleh: Alfira Khairunnisa
(Aktivis Muslimah Peduli Umat)



Vivisualiterasi.com-Monsterisasi terhadap ajaran Islam kembali digencarkan. Ajaran Islam yakni Khilafah, dianggap hanya sejarah masa lalu. Pihak-pihak terkait berasumsi bahwa Khilafah tidak relevan lagi untuk diterapkan di masa sekarang ini, melainkan hanya cocok untuk diterapkan di masa Rasulullah saja. Setidaknya, begitulah yang disampaikan oleh oknum-oknum yang anti dengan Khilafah. Termasuk rezim saat ini.

Tak hanya itu, penguatan opini oleh oknum-oknum yang anti terhadap Khilafah juga deras bergulir. Opini bahwa Khilafah itu ekstrim dan sangat tidak toleran, memecah belah umat dan segudang kata negatif lainnya, yang tak lain ditujukan untuk membuat citra buruk terhadap sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah.

Sampai-sampai belakangan ini ramai diperbincangkan terkait kebijakan Menteri Agama, (Fahrul Razi) untuk menghapus konten yang dianggap radikal dalam 155 buku pelajaran agama Islam yang dihapus. Ratusan judul buku tersebut pun akhirnya positif telah direvisi. 

Adapun buku-buku yang direvisi itu ada lima mata pelajaran, yakni Akidah Akhlak, Fiqih, Sejarah Kebudayaan Islam, Al-Qur'an dan Hadits, juga termasuk Bahasa Arab. Meski materi Khilafah tetap ada di buku-buku tersebut, namun Menag memastikan buku-buku itu akan memberi penjelasan bahwa Khilafah tak lagi relevan di Indonesia. 

Bahkan, seluruh materi ujian di madrasah yang mengandung konten Khilafah dan perang atau jihad telah diperintahkan untuk ditarik dan diganti. Hal ini sesuai ketentuan regulasi penilaian yang diatur pada SK Dirjen Pendidikan Islam Nomor 3751, Nomor 5162 dan 5161 Tahun 2018 tentang Juknis Penilaian Hasil Belajar pada MA, MTs, dan MI. (republika.co.id, 12/7/2020)

Ternyata yang dihilangkan bukan hanya materi khilafah dan perang. Melainkan setiap materi yang dianggap radikal dan tidak mengedepankan kedamaian, keutuhan dan toleransi juga dihilangkan. Alasannya, karena saat ini pemerintah akan lebih mengedepankan pada Islam wasathiyah. Sehingga semua buku-buku ajar di MI, MTs dan MA berorientasi pada penguatan karakter, ideologi Pancasila, dan anti korupsi.

Ini adalah penyesatan sistematis terhadap ajaran Islam. Karena ajaran Islam yang berpotensi mengganggu kepentingan rezim juga dihapus. Sehingga kebijakan ini akan menghasilkan kurikulum pendidikan sekuler anti Islam. Kurikulum yang harusnya menjadi rujukan untuk mengarahkan anak umat memperjuangkan tegaknya Islam, diganti materi yang mendorong mereka mengganti Islam dengan sistem buatan manusia. 

Isu Khilafah Terus Digoreng

Isu Khilafah dalam waktu panjang sepertinya akan terus digencarkan untuk terus digoreng. Hingga terus dijadikan sebagai kambing hitam, pengalih perhatian dari ragam problematika yang gagal diatasi oleh rezim saat ini. Termasuk pandemi yang tak juga bisa teratasi sampai saat ini.

Bahkan bisa jadi ormas-ormas yang memperjuangkan Khilafah tetap dibidik untuk terus diselidik. HTI sebagai pengusung Khilafah sudah dibubarkan. Namun sepertinya, rezim belum bisa move on dengan Khilafah yang diusung oleh partai Islam yang cukup besar massanya tersebut. Hingga dituding sebagai partai Islam yang terus memprovokatori umat untuk penegakkan daulah Islam, dituding sebagai pemecah belah umat, dituding sebagai ancaman bagi NKRI. Padahal, bukankah ancaman terbesar negeri ini berasal dari komunisme dan kapitalisme? Ya, para komunis dan kapitalis yang anti terhadap Khilafah dan terus menggerogoti dan merusak negeri Ini dengan liberalismenya.

Sikap anti Khilafah ini sekaligus mewakili ideologi Kapitalisme barat yang memang anti-Islam. 

Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh kalangan yang berhaluan komunis. Komunisme sebetulnya rival utama Kapitalisme. Hanya saja, keduanya sama-sama memusuhi Islam. Karena itu, wajar jika kalangan komunis pun bersikap anti-Islam dan tentu anti Khilafah. Mereka takut dengan gerakan Khilafah yang menerapkan hukum Islam secara menyeluruh dan tegas. (republika.co.id, 17/08/2019)

Sikap anti-Khilafah ini wajar ditunjukkan oleh kalangan yang terpengaruh oleh ideologi kapitalisme dan ideologi komunisme. Namun yang tak wajar adalah jika sikap anti khilafah ini ditunjukan oleh sebagian kalangan Islam oyang mengklaim anti penjajahan kapitalis dan anti komunis. Bukankah sikap anti Khilafah ini sejalan dengan sikap para pemimpin barat imperialis Barat?

Hubungan Mesra Khilafah dan Nusantara

Ternyata hubungan Khilafah dan Nusantara sangat erat. Bahkan Khilafah memiliki hubungan dekat dengan Nusantara. Bagaimana tidak? Kerajaan Sriwijaya di Palembang adalah kerajaan Budha yang memberikan pengakuan terhadap kebesaran Khalifah. Hal ini bisa dibuktikan dengan adanya dua pucuk surat yang dikirim oleh Raja Sriwijaya kepada Khalifah pada zaman Bani Umayah. Surat pertama dikirim kepada Khalifah Muawiyah dan surat kedua dikirim kepada Khalifah Umar bin Abdul Aziz. Ini benar-benar mencengangkan. 

Pada perkembangan selanjutnya, hubungan Khilafah dan nusantara inilah yang menjadi faktor yang mengkonversi banyak kerajaan Hindu/Budha menjadi kesultanan Islam di Nusantara. Salah satunya Kesultanan Yogyakarta yang merupakan penerus Kesultanan Mataram Islam. Fakta ini diakui secara langsung oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X pada Kongres Umat Islam Indonesia (KUII) ke-6 di Yogyakarta. Saat itu ia menjelaskan hubungan yang erat Keraton Yogyakarta dengan Kekhalifahan Utsmani di Turki. (republika.co,id, 12/2/2015)

Berbagai sumber juga telah menyebutkan kegigihan sebagian sultan di Nusantara untuk mendapatkan gelar sultan dari Kekhilafahan Islam di Turki, yang diwakili oleh Syarif Makkah. Hal ini menunjukkan hasrat kuat mereka agar mendapatkan legitimasi dari Khilafah. Fakta ini diakui antara lain oleh sejarawan Muslim Tiar Anwar Bachtiar. (republika.co.id, 8/5/2015) 

Dengan demikian, eratnya hubungan Khilafah dan Nusantara merupakan fakta sejarah. Wajar jika kalangan Muslim di Nusantara menunjukkan kepedulian luar biasa saat Khilafah Utsmani diruntuhkan tahun 1924. Mereka pun terlibat dalam upaya-upaya internasional untuk mengembalikan Khilafah. Eksistensi sejarah umat Islam Nusantara dalam memperjuangkan Khilafah ini telah diamini oleh para sejarawan Indonesia maupun Barat. Di antaranya Prof. Deliar Noer, Prof. Aqib Suminto dan Martin van Bruinessen. (Buletin Kaffah, 3/7/2020)

Keterlibatan kaum Muslim di Nusantara dalam perjuangan mengembalikan Khilafah antara lain diwakili oleh Sarekat Islam, Muhammadiyah dan para kiai dari pesantren. Mereka membentuk ‘Komite Khilafat’ pada 4 Oktober 1924 di Surabaya. Komite Khilafat ini diketuai Wondosoedirdjo (juga dikenal sebagai Wondoamiamiseno) dengan Wakil Ketua K.H.A. Wahab Hasbullah (yang kemudian menjadi salah satu pendiri NU pada 1926). Tujuan pembentukan Komite Khilafah ini adalah untuk ikut menuntut pengembalian Khilafah Utsmaniyah (Azyumardi Azra, “Khilafah,” Republika.co.id., 24/7/2017). 

Maka, sungguh jelas sikap anti Khilafah  bertentangan dengan fakta sejarah. Lebih dari itu, sikap anti Khilafah jelas bertentangan dengan syariat. Bagaimana tidak? Khilafah adalah bagian dari ajaran Islam. Menegakkan Khilafah adalah wajib berdasarkan Ijmak Sahabat maupun ijma' ulama, khususnya ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah. Imam an-Nawawi rahimahullah tegas menyatakan:

"Mereka (para ulama) telah bersepakat bahwa wajib atas kaum Muslim mengangkat seorang Khalifah (menegakkan Khilafah, red.). Kewajiban ini berdasarkan syariat, bukan berdasarkan akal." (Syarh an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim, 12/205)

Lalu, apakah masih saja mau menolak bahwa Khilafah adalah ajaran Islam? Sungguh, mereka yang menolak ajaran Islam dipertanyakan keislamannya.Wallahu a'lam bish-shawab.[AR]

Posting Komentar

1 Komentar

  1. Sungguh, Khilafah adalah ajaran Islam. Kalo boleh ada negara kapitalis, kalo boleh ada negara komunis, mengapa tidak boleh ada negara Islam? Mengapa tidak boleh ada Khilafah? Bagi mereka yang menentang Khilafah sama saja menentang ajaran Islam.

    BalasHapus