Oleh Sinta Lestari
(Pegiat Literasi dan Aktivis Dakwah)
Vivisualiterasi.com - Tak dimungkiri Turki menjadi salah satu negara muslim yang paling vokal mengkritik tindakan kejahatan yang dilakukan Israel terhadap Gaza, termasuk pernah pula bergabung dalam gugatan Afrika Selatan di ICJ (Mahkamah Internasional) tahun lalu, untuk mengambil langkah hukum bagi pelaku genosida sejak Oktober 2023 lalu.
Baru-baru ini, ditengah gencatan senjata, Turki mengumumkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Mentri Israel dan pejabat Israel lainnya.
Dilansir dari TvOnenews.com (9/11/2025), hubungan antara Turki dan Tel Aviv kembali memanas setelah pemerintah Turki mengumumkan penerbitan surat penangkapan terhadap Perdana Mentri Israel, PM Netanyahu.
Hal ini jelas menandai eskalasi terbaru ketegangan diplomatik antara keduanya setelah sebelumnya mereka memiliki hubungan kerjasama dalam bidang ekonomi, militer, intelijen dan energi. Seiring berjalannya waktu mereka banyak mengalami naik turun dalam ketegangan geopolitik setelah terjadi genosida di Gaza, sejak Oktober 2023 lalu. Selain itu, Turki menyinggung insiden pengeboman rumah sakit persahabatan Turki - Palestina yang dilakukan oleh Israel melalui serangan udara pada Maret lalu sebagai alasan penerbitan surat penangkapan.
Kantor kejaksaan Istanbul menyatakan, bahwa ada 37 tersangka yang menjadi target, termasuk Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben Gvir, Menteri Pertahanan Israel Katz, kepala staf angkatan bersenjata Letnan Jendral Eyal Zamir dengan tuduhan melakukan kejahatan sistematis terhadap warga sipil di Gaza.
Meski ditentang oleh beberapa pihak yang mengatakan Turki tidak patut ikut campur dalam stabilitas politik di Gaza, termasuk oleh mantan menteri Israel Avigdor Lieberman. Namun kita bisa melihat peran pemimpin negeri muslim hanya membungkus narasi perlawanan dengan sebuah kecaman sesaat dan tidak mencabut akar permasalahan mendasar yang harus dilakukan oleh tokoh besar di panggung kancah internasional.
Ungkapan kekecewaan, kegeraman atas tindak kejahatan Israel tidak sesuai dengan kerjasama yang dijalin negeri-negeri muslim untuk terus melancarkan sirkulasi ekonomi dan kerjasama terhadap kaum penjajah.
Ini bukti bahwa penjajah masih diberi panggung untuk tetap eksis leluasa membangun diplomatik antar negara meski mereka telah membunuh saudara seimannya, membungkam kebenaran dengan membunuh para jurnalis dan menyingkirkan siapa saja yang hendak menolong Gaza termasuk para tenaga medis di sana.
Kita tak boleh lupa ambisi Trump untuk mengosongkan Gaza dibangun dari lumuran darah yang basah di tangannya sebagai adikuasa dan pendukung utama genosida. Kekuasaan seperti apa yang diraih dari tumpahan puluhan ribu darah rakyat yang tidak berdosa?
Tidak hanya itu, lima negeri muslim masuk dalam perjanjian Abraham Accord sebagai langkah yang akan ditempuh Amerika untuk menstabilkan tekanan politik dan upaya menormalisasi penjajahan.
Dalam pernyataan yang dirilis pada Jumat (7/11/2025). Hamas menyebut langkah Kazakhstan itu sebagai pembenaran atas bentuk penjajahan Israel terhadap rakyat Gaza yang telah menewaskan lebih dari 68.000 rakyat Palestina sejak 7 Oktober 2023 (Antara, 8/11/2025). Sangat disayangkan langkah seperti ini, menurut Hamas tidak bisa diterima dan amat sangat memalukan.
Negeri yang dijuluki "Tanah perawan" (Kazakhstan) telah mendeklarasikan diri untuk bergabung dengan Abraham Accords setelah sebelumnya Uni Emirat Arab, Sudan, Bahrain dan Maroko telah lebih dulu bergabung dalam perjanjian pengkhianatan tersebut. Kemudian diumumkanlah oleh Trump bahwa Kazakhstan telah bergabung dalam perjanjian Abraham Accord sebagai bentuk upaya menormalisasi hubungan diplomatik antara negara-negara lain dengan Israel, sekaligus membangun kerjasama yang lebih banyak terhadap negara-negara di dunia. Lagi-lagi ini cara licik Trump untuk melanggengkan penjajahan.
Ambisi Trump lah yang mengungkap fakta sejarah kejahatan besar dibalik penderitaan kaum muslimin khususnya di Palestina. Apalagi Abraham Accords ini sempat terhambat oleh perlawanan Hamas pada Oktober 2023 lalu. Maka saat gencatan senjata disahkan, ini menjadi peluang Trump, mengumpulkan sebanyak-banyaknya negara untuk menormalisasi hubungan diplomatik dan terus mempromosikan solusi dua negara bagi keduanya (Israel-Palestina).
Hal ini merupakan bukti bahwa memanasnya politik global dimainkan oleh penguasa dunia yang haus validasi untuk menormalisasi usahanya untuk tetap melanggengkan penjajahan dan melakukan kezaliman.
Disisi lain, bergabungnya pemimpin negeri-negeri muslim menunjukkan sikap yang tidak solid, sebagai wujud pengkhianat, sebagimana Turki yang hanya mengecam.
Kita harus memahami segala upaya dan keputusan yang datang dari penjajah dan sekutunya merupakan bagian dari usaha licik mereka untuk mempertahankan hegemoninya.
Alih-alih merasakan kedamaian, justru kita melihat fakta negara yang terjajah seperti Palestina tetap menjadi sandera untuk terus menerus hidup dalam ketidakpastian. Serangan demi serangan di tengah gencatan senjata terus dioperasikan. Apa yang disebut gencatan senjata, jika itu tidak pernah menguntungkan pihak Gaza yang terjajah. Mereka tetap hidup dalam bayang-bayang penjajahan yang didukung kuat oleh banyak negara, tanpa ada satu pun negara yang hari ini nyaring menyuarakan pembebasan palestina dengan suka rela menyerukan perlawanan secara militer yaitu jihad fisabilillah.
Selama keputusan Palestina tunduk pada kepentingan Barat. Palestina akan terus terkungkung dalam gelapnya masa depan karena ketiadaan kepemimpinan yang mampu membela kehormatan Mereka. Sedangkan negara-negara lain terus terkungkung dengan racun Nasionalisme yang diciptakan penjajah untuk melemahkan mereka dan pada akhirnya segala keputusan didominasi Barat. Jalan perdamaian yang ditempuh pun hanya bagian dari Skenario perpolitikan untuk melanggengkan penjajahan.
Solusi Islam Menyelesaikan Persoalan Gaza
Solusi atas persoalan Gaza harus ditempuh dengan solusi ideologis. Membangun kekuatan militer yang setara dengan kekuatan adidaya saat ini.
Islam menawarkan solusi jihad bagi para kafir penjajah yang ingin menguasai sejengkal tanah sebagaimana dimasa Sultan Abdul Hamid II. Khilafah menjadi junnah (pelindung) darah, harta, jiwa, kehormatan dan kemuliaan manusia baik muslim atau pun non muslim, mereka mendapatkan hak perlindungan yang sama.
Persatuan umat menjadi pondasi awal untuk mewujudkan kekuatan secara fisik maupun pemikiran. Dibangun dari dasar akidah aqliyah dan aqidah siyasiyah, yang akan memperkuat umat Islam dari luar dan ruhiyahnya.
Khilafah sebagai junnah akan mencabut akar penjajah hingga ke akar-akarnya dari Palestina, dari negeri-negeri muslim lainnya.
Tidak hanya itu Khilafah menjadi penjaga akidah umat mencabut pemikiran sesat yang membelenggu dan melemahkan kaum muslimin dan para pemimpinnya. Termasuk menghapus nation state, paham-paham liberal sebagai alat penjajahan Barat. Memperbaiki sistem ekonomi yang berbasis ribawi dengan sistem ekonomi Islam. Islam akan memiliki kekuatan penuh yang akan ditunjang dengan pendapatan yang murni dikelola negara tanpa campur tangan asing lainnya.
Wahn yang ditanamkan atas dasar dominasi kekuasaan yang diatur sedemikian rupa dalam strategi politik ala penjajah akan diganti dengan pemikiran Islam yang mendominasi seluruh aspek kehidupan.
Sehingga seruan jihad menggema disetiap negeri kaum muslimin. Berangkat dari perbaikan aqidahnya, menumbuhkan semangat perjuangan, mengembalikan spirit keimanan dan mereka akan rela berjuang merebut kembali tanah kharajiyah sebagaimana yang dilakukan Shalahuddin Al Ayyubi dan pasukannya. Ini hanya bisa dilakukan saat umat Islam bersatu dalam satu kepemimpinan Islam yaitu Khilafah Rasyidah alamin hajinnubuwwah.
Inilah yang dibisyarahkan oleh Nabi Muhammad Saw, "Kemudian, datanglah masa Khilafah ‘ala Minhaaji al-Nubuwwah (Khilafah yang berjalan di atas kenabian). Setelah itu, beliau diam” (H.R. Imam Ahmad).
Umat harus memahami pentingnya perjuangan yang membangkitkan dan mengembalikan eksistensi kehidupan Islam. Dengan mengikuti metode sebagaimana yang Rasulullah saw. contohkan.
Para ulama terdahulu mengatakan, untuk meraih keberhasilan dan kejayaan peradaban Islam adalah sebagaimana dulu peradaban itu diraih dan berjaya. Maka dengan metode yang sama pula kejayaan peradaban islam akan dimenangkan. Wallahu a'lam bishawab. [Irw]


0 Komentar