Subscribe Us

UTANG KERETA CEPAT: BOM WAKTU DAN JEBAKAN INVESTASI



Oleh Teti Ummu Alif
(Kontributor Media Vivisualiterasi) 


Vivisualiterasi.com - Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung atau Whoosh kini kembali menjadi sorotan publik. Betapa tidak, setelah 2 tahun beroperasi Whoosh yang dahulu digadang-gadang sebagai simbol lompatan maju moda tranportasi Indonesia, sekarang tengah dilanda persoalan keuangan yang serius alias utang yang membengkak. Bahkan menyentuh angka 116 T. Sebenarnya sejak awal pembangunannya banyak pihak sudah mengingatkan ihwal risiko pembiayaan, terutama soal besaran utang Whoosh yang akan jadi beban berat kedepannya. Sebab, angkanya tak main-main pembangunan kereta cepat ini membutuhkan dana lebih dari 120 Triliun rupiah. Besarnya beban utang ini membuat perusahaan opratornya terus mencatat kerugian triliunan tiap tahunnya. Padahal, proyek ini awalnya dijanjikan akan dibangun melalui skema Bussiness to Business tanpa melibatkan dana APBN. 

Pemerintah China melalui Kementerian Luar Negerinya secara terbuka angkat bicara mengenai polemik utang proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) atau Whoosh. China menegaskan bahwa proyek tersebut berjalan dengan baik dan membawa manfaat ekonomi yang signifikan bagi Indonesia, di tengah desakan dalam negeri untuk restrukturisasi pembiayaan. 

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, Guo Jiakun, menanggapi laporan media yang menyebut Pemerintah Indonesia sedang menegosiasikan restrukturisasi utang dengan China karena proyek tersebut mengalami kesulitan keuangan. Guo menekankan bahwa proyek ini telah melayani lebih dari 11,71 juta penumpang, dengan arus penumpang yang terus meningkat. Hal ini telah membawa manfaat yang baik bagi warga. Lebih lanjut ia juga menekankan bahwa penilaian proyek kereta cepat tidak boleh hanya didasarkan pada angka-angka keuangan semata, tetapi juga harus mempertimbangkan manfaat publik dan hasil komprehensifnya. Dalam hal ini, China menyatakan kesiapan penuh untuk bekerja sama dengan Indonesia (cnbcindonesia, 24/10/2025). 

Lantas benarkah bahwa whoosh memberikan manfaat sosial dan ekonomi kepada warga masyarakat seperti yang diklaim diatas? 

Proyek KCJB sejak awal memang telah menuai kritik. Bayangkan, guna mendapatkan dana tambahan untuk menutupi pembengkakan proyek kereta cepat, pemerintah terpaksa kembali berutang. Kemandirian negara dalam membangun infrastruktur pun kembali dipertaruhkan. Dari sisi pendanaan, Indonesia sangat tergantung pada Cina. Tidak sedikit pula yang mempertanyakan urgensi pembangunannya. Logika bahwa proyek ini akan membuat masyarakat dapat meringkas waktu tempuh dan mengurangi kerugian logistik akibat macet, harusnya disertai dengan persiapan dana yang memadai.

Di sisi lain, biaya yang harus masyarakat keluarkan untuk memanfaatkan kereta cepat tersebut pun membengkak dua kali lipat. Prinsip “ada harga ada pelayanan” menguatkan pembangunan yang berasaskan logika kapitalisme. Terlebih lagi, bukan hanya Cina, pihak swasta pun ikut bermain dalam proyek kereta cepat ini.

Menteri Luhut pernah menjelaskan bahwa beberapa utang yang pemerintah tarik adalah untuk mendanai proyek strategis. Ia menilai wajar sebab seluruh negara di dunia pun banyak yang melakukannya. Ia juga menyatakan bahwa utang dan pembangunan proyek strategis itu juga untuk rakyat. Padahal, kenyataan di lapangan utang-utang tersebut berdampak langsung pada rakyat. 

Situasi ekonomi yang tidak pasti membuat rakyat kian tercekik. Sejumlah kebijakan kenaikan harga kebutuhan pokok membuat rakyat harus banting tulang. Di mana logikanya utang tidak berdampak pada rakyat? Bahkan, kondisi rakyat kian terbebani dengan pajak yang juga terus merangkak naik.

Sejatinya, melayani rakyat dengan melakukan pembangunan adalah kewajiban negara. Jadi, tidak perlulah sesumbar bahwa utang itu juga untuk rakyat. Selain menunjukkan sikap setengah hati melayani rakyat, juga menunjukkan lemahnya posisi negara dalam menjalankan tugasnya mengurusi rakyat. Terlebih, proyek yang disebut sebagai proyek strategis lebih banyak menguntungkan para pemodal daripada rakyat secara umum. Harus disadari bahwa, proyek kereta cepat yang pendanaannya sebagian besar dari utang, sesungguhnya akan lebih banyak menguntungkan pelaku bisnis. Jelas, rakyat mana yang mendapatkan untung dari proyek strategis pemerintah.

Jika dicermati, sejak UU Cipta Kerja berlaku. Negeri ini kian menjadi surga bagi para investor. Negara-negara kreditur pun berlomba-lomba mengajukan skema utang berkedok investasi. Negeri ini juga kian lihai mengejar utang dan investasi. Prinsip pembangunan terwujud dengan investasi seakan menjadi kunci kesejahteraan. Padahal, di balik itu semua banyak mudarat yang mengintai.

Apalagi, kebanyakan objek investasi di negeri ini adalah proyek-proyek infrastruktur publik, contohnya, proyek kereta cepat, jalan tol, bandara, dan pelabuhan. Namanya utang yang berasal dari negara kreditur, tentu menuntut pengembalian yang besar. Konsekuensinya, pemerintah akan menaikkan biaya penggunaan infrastruktur yang pembiayaannya berbasis utang ini. 

Jika demikian adanya, pengguna yang notabene adalah rakyat akan makin terbebani dengan kenaikan-kenaikan biaya tersebut. Fenomena ini terlihat pada pengelolaan jalan tol. Untuk menjamin agar pendapatan investor tetap menguntungkan, maka tarif tol secara berkala akan dinaikkan. Investasi berkedok utang inipun dapat berujung pada berpindahnya kepemilikan infrastruktur strategis kepada pihak asing. Sebagaimana yang dialami oleh Bandara Kualanamu. Akankah hal ini kembali terulang? 

Islam sendiri tidak memberi celah pihak asing untuk mengendalikan negara melalui jerat utang. Investasi berkedok utang jelas merupakan jebakan dan kini menjadi alat politik negara kreditur untuk menekan negara-negara debitur. Pembangunan berbasis utang tidak hanya mengandung potensi bahaya tetapi juga memiliki beberapa kontradiksi dengan ajaran Islam. Dari aspek investasi, menawarkan investasi pada sejumlah infrastruktur publik, seperti jalan, pelabuhan, ataupun bandara bertentangan dengan syariat.

Dalam Islam, tidak semua barang dapat diusahakan oleh individu, apalagi pihak asing. Harusnya negaralah yang mengelola infrastruktur milik publik. Jika negara memahami bahwa investasi telah menjadi alat politik dan berpotensi menggerus kedaulatan negeri, sudah selayaknya pemerintah menolak untuk tunduk pada skema utang semacam ini.

Dalam sistem ekonomi Islam, infrastruktur publik merupakan bagian dari kepemilikan umum, tidak boleh ada individu yang memilikinya. Ini berbeda dengan sistem kapitalisme di mana kepemilikan umum ini bisa diserahkan kepada swasta atau individu. Sebaliknya, dalam pandangan Islam harta milik umum. Negaralah yang berwenang untuk mengelolanya. 

Rasulullah Saw. telah menjelaskan sifat 
kebutuhan umum tersebut dalam sebuah hadis,
 
Manusia berserikat (punya andil) dalam tiga hal, yaitu air, padang rumput dan api.” (HR Abu Dawud). 

Dalam penuturan Anas ra. pada hadis tersebut terdapat tambahan redaksi “wa tsamanuhu haram” (harganya haram). Artinya, terlarang untuk diperjualbelikan. 

Dalam mengelola kepemilikan, negara tidak boleh menjualnya kepada rakyat. Kalaupun mengganjar sejumlah biaya, itu hanya sebatas harga produksi. Tidak layak negara memosisikan diri sebagai penjual, sedangkan rakyat sebagai pembeli. Negara tidak boleh menjalankan roda pemerintahan sebagaimana skema bisnis yang berorientasi pada untung dan rugi. Negara adalah pelayan dan pelindung, bukan pemalak rakyat. Wallahualam.[Irw]

Posting Komentar

0 Komentar