Subscribe Us

PENGELOLAAN TAMBANG SALAH ARAH, KAPITALISME BIANG MASALAH


Oleh Yeni Purnama Sari, S.T.
(Muslimah Peduli Generasi)


Vivisualiterasi.com - Indonesia dikenal sebagai negeri yang kaya akan sumber daya alam, baik minyak bumi, gas alam, tambang emas, batu bara, nikel, dan masih banyak lagi. Di balik itu, rakyat masih berada dalam garis kemiskinan. Kesejahteraan hanya menjadi angan-angan. Setiap kali eksploitasi dilakukan, justru timbul permasalahan. Negara mengalami kerugian, rakyat pun ikut menanggung penderitaan akibat kerusakan lingkungan. Hal itu disebabkan para pelaku beroperasi tanpa izin dari negara.

Berdasarkan pidato Presiden Prabowo yang menyatakan bahwa negara mengalami kerugian sebesar Rp300 triliun akibat 1.063 tambang ilegal, presiden pun bertindak tegas dengan menghentikan operasinya dan menyita smelter enam perusahaan swasta yang telah melanggar hukum. Bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, presiden mengambil langkah untuk menertibkan seluruh kegiatan pertambangan, baik di kawasan hutan lindung maupun tambang ilegal. Semua itu bertujuan agar lingkungan tidak rusak demi kepentingan bangsa dan negara. (esdm.go.id, 22/08/2025)

Di sisi lain, pemerintah mengeluarkan kebijakan tentang izin pengelolaan tambang yang diberikan kepada koperasi, ormas, maupun UMKM sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 39 Tahun 2025. PP ini merupakan perubahan kedua atas PP Nomor 96 Tahun 2021. Secara khusus, Pasal 17 ayat (4) huruf a PP Nomor 39 Tahun 2025 menyebutkan bahwa koperasi, badan usaha kecil dan menengah, serta badan usaha milik organisasi kemasyarakatan akan berkontribusi lebih besar dalam pengelolaan tambang. Tujuannya adalah menjadi motor penggerak ekonomi rakyat dan membuka peluang baru dalam pengelolaan sumber daya alam secara berkeadilan dan berkelanjutan.

Kebijakan ini menuai kritik dari berbagai pihak. Peneliti hukum dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhamad Saleh, beranggapan bahwa koperasi dan UMKM belum siap menghadapi kompleksitas pertambangan. Begitu pula Juru Kampanye JATAM, Al Farhat Kasman, dan Salma Inaz, Juru Kampanye Satya Bumi, menilai aktivitas pertambangan akan menjadi titik rawan dampak lingkungan yang lebih luas karena belum memenuhi prinsip transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan. Menurut mereka, koperasi dan UMKM lebih baik diarahkan untuk mengembangkan energi terbarukan berbasis komunitas, seperti panel surya, mikrohidro (PLTMH), atau program efisiensi energi lainnya. (tirto.id, 10/10/2025)

Fakta menunjukkan adanya pengalihan legalisasi aktivitas pertambangan kepada pihak tertentu seolah menjadikan masyarakat daerah seperti tuan di negerinya sendiri. Langkah tersebut dinilai telah membuka peluang besar bagi masyarakat setempat untuk mengelola dan menikmati hasil ekonomi secara langsung, tentunya melalui pembinaan dan pendampingan untuk memastikan adanya keterlibatan dan kemanfaatan sebesar-besarnya bagi ekonomi daerah.

Padahal sejatinya, kebijakan ini bukan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Meskipun bertujuan menciptakan lapangan kerja dan perputaran ekonomi daerah, masih banyak pengelolaan tambang yang justru merugikan negara dan tetap dibiarkan beroperasi. Artinya, hal ini menimbulkan gejolak bagi koperasi dan UMKM karena mereka tidak memiliki kapasitas di sektor tambang, sehingga berpotensi mengundang korporasi besar untuk turut mengelolanya.

Dengan begitu, pelibatan koperasi dan UMKM dikhawatirkan akan mengabaikan standar kelayakan dasar, termasuk makin meluasnya kerusakan lingkungan. Kebijakan ini bukanlah bentuk pemerataan ekonomi dan energi yang tepat. Seharusnya pemerintah lebih mempertimbangkan dampaknya sebelum membuka pintu lebar bagi ekspansi eksploitasi tambang oleh entitas baru yang belum tentu siap. Alih-alih memperluas akses masyarakat secara berkeadilan, kebijakan ini justru memperluas aktivitas pertambangan di berbagai wilayah tanpa kontrol yang memadai.

Salah arah dalam pengelolaan tambang selama ini menjadi bukti kegagalan sistem kapitalisme dalam mengatur kepemilikan umum. Negara tidak mampu mengelola maupun menanggulangi risiko kerusakan lingkungan, sehingga pengelolaannya dialihkan kepada pihak swasta dan asing. Akibatnya, keuntungan hanya dinikmati oleh segelintir pihak, negara terus merugi, dan rakyat tetap sengsara karena harus membayar mahal atas haknya.

Sistem kapitalisme memberi ruang kebebasan bagi pemilik modal, sehingga mereka dapat melakukan apa saja dengan kekuatan uangnya. Baik melalui izin maupun tanpa izin, mereka tetap bisa memuluskan aksi eksploitasi kekayaan alam tanpa keahlian yang mumpuni. Negara pun tidak bertindak sebagai pelindung, justru bersikap acuh dan akhirnya lepas tangan ketika terjadi kerusakan lingkungan. Inilah akibat dari memisahkan agama dari urusan ekonomi dan politik; pengelolaan tambang diatur berdasarkan akal dan hawa nafsu manusia yang serakah.

Dalam pandangan Islam, hakikat pengelolaan tambang diserahkan kepada negara. Hasil dan keuntungannya dimasukkan ke dalam Baitul Mal, kemudian sebagian didistribusikan langsung untuk kesejahteraan rakyat melalui pendidikan, kesehatan, keamanan, maupun pemenuhan kebutuhan dasar. Dengan demikian, sumber daya alam seperti tambang dikategorikan sebagai kepemilikan umum yang tidak boleh dimiliki atau dikuasai oleh siapa pun, baik individu, swasta, maupun ormas.

Rasulullah saw. bersabda:

> “Kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah)

Artinya, negara adalah pengurus rakyat dan bertanggung jawab atas mereka, termasuk dalam pengelolaan tambang serta dampaknya terhadap lingkungan. Oleh karena itu, kebijakan ekonomi yang dibuat haruslah berdasarkan hukum syariat, bukan kepentingan korporasi.

Jelaslah bahwa biang masalahnya adalah penerapan sistem kapitalisme. Negara terus mengalami kerugian berulang meskipun berganti nama, dalih, maupun kebijakan yang seolah-olah dibuat demi kepentingan rakyat.

Satu-satunya solusi sejati bukan hanya menertibkan dan mengatur tata kelola tambang, tetapi beralih dari sistem yang rusak dan merusak. Sesungguhnya, sumber daya alam akan menjadi berkah jika dikelola sesuai politik ekonomi Islam dalam Daulah Khilafah. Dengan begitu, kebutuhan rakyat terjamin dan kemaslahatan pun terwujud secara paripurna.

Sebagaimana firman Allah Swt.:

> “Dan sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatan mereka.” (TQS. Al-A‘raf [7]: 96).
Wallahu a‘lam bishshawab.
(Dft)

Posting Komentar

0 Komentar