Oleh Fathin Kusumardani, S.Pd
(Aktivis Dakwah Muslimah)
Vivisualiterasi.com - Kasus LGBT kian memprihatinkan. Peningkatan kasus Lesbian, Gay, Bisexual, and Transgender (LGBT) yang signifikan terjadi di Kota Bekasi, yang kini menempati peringkat kedua kasus HIV tertinggi di Jawa Barat.
Berdasarkan data hasil kajian Komisi Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Bekasi, terjadi lonjakan signifikan kasus LGBT. Pada 2023, tercatat 544 kasus, dan setahun kemudian, pada 2024, jumlahnya melonjak drastis menjadi 5.632 kasus—sepuluh kali lipat lebih tinggi. Data ini menunjukkan masalah LGBT di Bekasi semakin serius dan bersifat sistemik.
Dilansir dari Infobekasi.co.id (25/9/2025), Wakil Ketua Komisi IV DPRD Kota Bekasi, Wildan Fathurrahman, menyatakan keprihatinannya terhadap fenomena LGBT yang mulai menyasar anak-anak usia sekolah dasar. Hal tersebut diketahui berdasarkan laporan masyarakat di daerah pemilihannya.
“Laporan masyarakat di daerah pemilihan (dapil) juga menunjukkan adanya indikasi perilaku menyimpang yang muncul di kalangan anak-anak,” ujar Wildan di Bekasi Timur, Kamis, 25 September 2025. Ia menilai, langkah yang harus diperkuat adalah pendidikan karakter. Pencegahan perilaku menyimpang dan penguatan nilai akan lebih efektif bila dilakukan dengan pendekatan keagamaan dan psikologis.
Pendidikan karakter berfokus pada pembentukan moral, akhlak, dan kepribadian yang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila serta norma sosial lainnya. Hal ini bisa menjadi cara mencegah kejahatan seksual sejak dini melalui pendidikan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Pendidikan karakter berpotensi menjadi solusi jangka panjang dalam membentuk generasi berakhlak dan berlandaskan nilai moral.
Namun, pendidikan karakter saja tidak cukup. Selama pendidikan tersebut hanya menekankan nilai umum seperti disiplin dan kejujuran tanpa fondasi akidah Islam, maka ia mudah runtuh di tengah arus budaya global yang menormalisasi LGBT.
Sementara itu, Peraturan Daerah (Perda) biasanya disusun untuk menjaga ketertiban umum, melindungi nilai budaya dan agama, serta mengatur kehidupan sosial. Perda dapat menjadi instrumen hukum pendukung, tetapi harus dirumuskan dengan hati-hati agar tidak menimbulkan diskriminasi. Jika pendidikan karakter dan Perda hanya digunakan sebagai alat penekanan tanpa memberi ruang edukasi, maka keduanya berpotensi menjadi ilusi, bukan solusi, dalam menangani isu LGBT.
Kasus LGBT tidak dapat dipandang semata-mata sebagai perilaku menyimpang yang bisa dihapus hanya dengan larangan. Ada aspek psikologis, lingkungan keluarga, dan pembinaan moral sejak dini yang turut memengaruhi. Jika penanganan dilakukan semata melalui regulasi, hal itu justru berisiko menimbulkan diskriminasi, penindasan, bahkan mendorong kelompok LGBT bergerak di ruang tersembunyi. Perda umumnya lebih menekankan aspek larangan dan hukuman yang mungkin memberi efek jera, tetapi belum menyentuh akar permasalahan.
Pemerintah Kota Bekasi kini memberi perhatian khusus terhadap isu LGBT dengan mengusulkan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Penanganan LGBT. Usulan ini merupakan hasil kerja sama antara Pemkot Bekasi dan DPRD, dengan fokus pada upaya pencegahan dan rehabilitasi, bukan sekadar pelarangan keras. Dorongan menghadirkan regulasi baru ini muncul seiring meningkatnya laporan kasus LGBT yang disampaikan MUI Kota Bekasi, yang mencapai ribuan.
Hingga kini, Kota Bekasi belum memiliki Perda khusus yang secara eksplisit mengatur soal LGBT. Regulasi yang ada masih bersifat umum, seperti yang mengatur kesetaraan gender, perlindungan anak, dan pemberdayaan perempuan. Dengan demikian, isu LGBT belum tersentuh secara langsung dalam produk hukum yang berlaku.
Akar permasalahan LGBT di tingkat global tidak dapat dilihat hanya sebagai perilaku individu, melainkan juga sebagai hasil konstruksi media, pengaruh budaya populer, serta dorongan agenda liberal-internasional yang berupaya melegitimasi perilaku tersebut.
Pengaruh budaya Barat dalam sistem liberal-kapitalisme menjadikan LGBT bukan hanya isu moral, tetapi juga produk budaya dan ekonomi global. Nilai kebebasan individu dan kepentingan pasar kapitalis mempercepat legitimasi LGBT di tingkat internasional, meski sering berbenturan dengan norma tradisional dan religius.
Fenomena ini juga membawa dampak serius di bidang kesehatan. Kota Bekasi, misalnya, menempati peringkat kedua kasus HIV di Jawa Barat. Terdapat sekitar 3.600 orang yang hidup dengan HIV/AIDS. Angka ini menempatkan “Kota Patriot” sebagai wilayah dengan kasus tertinggi kedua di provinsi tersebut setelah Bandung. Laporan Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Bekasi mencatat adanya 321 kasus baru sepanjang Januari hingga Juli 2025 dari 50.583 orang yang menjalani tes (RakyatBekasi.com, 19/9/2025).
Syariat Islam memandang LGBT sebagai tindakan kriminal yang wajib diberi sanksi pidana syariah secara tegas. LGBT disebut kriminal karena hukumnya haram dalam Al-Qur’an, sunnah, dan ijma ulama. Kriminal (al-jariimah) dalam Islam didefinisikan sebagai perbuatan melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib (Abdurrahman Al-Maliki, Nizhamul ‘Uqubat, hlm. 15).
Dalam pandangan Islam, LGBT bertentangan dengan fitrah manusia dan hukum syariat. Al-Qur’an mengisahkan kaum Nabi Luth sebagai contoh nyata bahwa perbuatan tersebut termasuk dosa besar yang mendatangkan azab Allah SWT. Karena itu, Islam harus dijadikan standar nilai dalam menentukan sikap, kebijakan, dan tindakan.
Pendidikan Islam menjadi kunci utama dalam kehidupan. Tarbiyah berbasis akidah menanamkan iman yang kuat, rasa takut kepada Allah, serta kesadaran terhadap hukum syariat. Bukan sekadar pendidikan moral umum, tetapi pembinaan yang mampu membentengi generasi muda dari penyimpangan perilaku.
Perda dapat menjadi langkah awal membangun kesadaran umat. Namun, karena sifatnya parsial dan terbatas dalam sistem hukum sekuler yang permisif, Perda tidak bisa menjadi solusi menyeluruh bagi persoalan umat. Solusi hakiki hanya dapat terwujud melalui penerapan Islam secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan.
Fenomena LGBT tidak dapat diatasi hanya dengan aturan parsial atau pendekatan moral umum, sebab akar masalahnya adalah ideologi sekuler-liberal yang merusak fitrah manusia. Islam kaffah hadir sebagai solusi total karena mengatur seluruh aspek kehidupan—dari individu, keluarga, masyarakat, hingga negara.
Hanya dengan penerapan syariat Islam secara menyeluruh, pengawasan sosial, kontrol media, dan penegakan hukum syar’i, fenomena LGBT dapat dicegah dari akar masalahnya sekaligus melindungi generasi muda. Wallahu a‘lam bish-shawab. (Dft)
0 Komentar