Subscribe Us

KRIMINALISASI SUARA GENERASI, DIMANA DEMOKRASI?



Oleh Novita L, S.Pd.
(Kontributor Vivisualiterasi Media) 


Vivisualiterasi.com - Fenomena terbaru yang mencuat ke permukaan cukup mengejutkan publik. Kepolisian menetapkan menetapkan ratusan anak sebagai tersangka terkait aksi demonstrasi di berbagai wilayah Indonesia. Tak kurang dari 295 anak terjerat kasus yang dilabeli sebagai tindakan anarkisme atas dugaan keterlibatan dalam kerusuhan saat aksi demonstrasi di berbagai wilayah Indonesia. Di tengah riuh tuntutan rakyat terhadap berbagai kebijakan yang dianggap tidak adil, justru generasi muda menjadi korban kriminalisasi. Bahkan, Komnas HAM pun turut angkat bicara. Mereka memperingatkan adanya potensi pelanggaran HAM dalam proses penyelidikan terhadap anak-anak tersebut, karena banyak di antaranya yang mengalami tekanan, intimidasi, bahkan ancaman secara verbal dan mental, yang tentu saja tidak sejalan dengan prinsip perlindungan anak.

Kriminalisasi Kesadaran Politik Gen Z

Jika dilihat lebih jauh, fenomena ini menyiratkan gejala yang lebih dalam, munculnya generasi muda dalam aksi-aksi massa sebenarnya adalah tanda tumbuhnya kesadaran politik di kalangan Gen Z. Di tengah berbagai ketimpangan dan ketidakadilan sosial, generasi muda mulai menunjukkan keberanian untuk bersuara. Mereka bukan lagi kelompok apatis yang hanya sibuk dengan dunia digital atau tren sesaat. Mereka mulai peka, membaca situasi, dan berani menyuarakan ketidakadilan sosial dan ekonomi yang terjadi di sekeliling mereka.

Namun sayangnya, kesadaran kritis ini malah diberi label "anarkis". Aksi mereka tidak lagi dianggap sebagai bagian dari hak menyampaikan pendapat, tetapi dijerat sebagai tindakan kriminal. Padahal, tidak semua bentuk perlawanan berarti kekerasan. Tidak semua suara berbeda berarti ancaman terhadap negara. Inilah wajah asli sistem demokrasi-kapitalisme, yang selama ini dipuja sebagai ruang terbuka kebebasan berpendapat. Ternyata, kebebasan hanya diberikan kepada mereka yang mendukung narasi kekuasaan, sedangkan suara yang menuntut keadilan atau menentang status quo justru diberangus. Bahkan, aparat penegak hukum pun sering kali digunakan sebagai alat untuk meredam gelombang kesadaran politik rakyat, khususnya pemuda.

Demokrasi kapitalistik sejatinya bukan panggung bagi semua suara, tetapi hanya untuk mereka yang sejalan dengan kepentingan pemilik modal dan kekuasaan. Ketika suara muda bersuara lantang menentang kebijakan yang zalim, sistem ini segera menyematkan cap “pengacau,” “radikal,” atau “anarkis” agar mereka bisa disingkirkan secara legal. Kita harus jujur mengakui, sistem hari ini gagal memberikan ruang aman bagi tumbuhnya kesadaran politik yang sehat. Sebaliknya, generasi muda justru dijauhkan dari aktivitas politik yang produktif. Mereka diframing hanya sebagai perusuh saat turun ke jalan, dan dipaksa diam ketika menyampaikan kritik. Ini adalah bentuk represif yang bertolak belakang dari semangat perubahan. Demokrasi kapitalistik tidak mendidik, tapi menindas.

Padahal, sejarah mencatat bahwa pemuda adalah kekuatan utama dalam perubahan sosial dan pilar perubahan. Mereka punya semangat, idealisme, dan keberanian. Tetapi semangat itu harus diarahkan dengan benar. Tanpa arah yang jelas, kesadaran politik bisa menjelma menjadi luapan emosi tanpa hasil nyata. Bahkan bisa disalahgunakan oleh pihak tertentu untuk kepentingan pragmatis.

Mengarahkan Energi Perubahan Menuju Ridha Allah

Sejarah mencatat bagaimana banyak generasi muda menjadi ujung tombak dakwah dan perjuangan Islam. Rasulullah saw membina para sahabat muda seperti Ali bin Abi Thalib, Mush'ab bin Umair, hingga Usamah bin Zaid menjadi generasi pemimpin yang kokoh secara iman, cerdas, dan berani menegakkan kebenaran. Islam tidak membungkam suara anak muda, justru mengarahkan semangat mereka agar tidak liar dan destruktif, tetapi fokus untuk mewujudkan perubahan hakiki. Allah Swt berfirman:

“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar. Mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Ali Imran: 104)

Ayat ini adalah panggilan bagi seluruh kaum muslim, termasuk pemuda, untuk aktif mengoreksi penguasa jika mereka menyimpang dari syariat. Amar ma’ruf nahi munkar adalah kewajiban, bukan kriminalitas.

Islam juga mengatur sistem pendidikan yang berbasis aqidah Islam, yang akan membentuk kesadaran politik generasi muda bukan semata-mata karena emosi, tetapi karena tanggung jawab iman untuk menegakkan kebenaran dan meraih ridha Allah. Dalam sistem Khilafah, pemuda bukan dikekang, tapi diarahkan. Mereka diberi ruang untuk berpikir, menyampaikan pendapat, bahkan mengoreksi Khalifah jika ia zalim, sebagaimana dilakukan oleh para ulama dan rakyat di masa lalu.

Khatimah

Penangkapan dan kriminalisasi terhadap ratusan anak dalam aksi unjuk rasa bukan hanya tindakan represif, tapi juga bentuk kegagalan sistem ini dalam membina generasinya. Daripada membungkam suara pemuda, negara seharusnya membuka ruang dialog yang sehat dan mendidik mereka menjadi generasi pemimpin yang peduli terhadap umat.

Hanya sistem Islam yang mampu mewadahi semangat perubahan anak muda dan mengarahkannya untuk memperjuangkan tegaknya keadilan dan rahmat bagi seluruh alam. Bukan dengan kekerasan, tapi dengan dakwah dan perjuangan intelektual yang dibangun atas dasar iman dan ilmu.
Wallahua’lam bishowab.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar