Oleh Ita Claudia
(Guru SD)
Vivisualiterasi.com - Keinginan untuk berubah adalah naluri alami manusia. Tuntutan untuk perbaikan muncul ketika kita melihat banyak hal yang salah atau buruk di sekitar kita. Seperti yang ditulis Ahmad Athiyath dalam kitab Ath-Thariq, “Manusia tidak akan memikirkan perubahan kecuali jika ia menyadari bahwa ada kerusakan, keburukan, atau situasi yang tidak seharusnya ada di sekelilingnya.” Sederhananya, jika kita melihat masalah, kita akan terdorong untuk mencari solusi dan perubahan.
Tidak dapat dimungkiri bahwa berbagai kerusakan dan kezaliman terjadi di negeri ini akibat berbagai kebijakan rezim sekuler demokrasi. Umat mengalami berbagai persoalan multidimensional sehingga masyarakat menuntut perubahan atas kondisi ini. Tuntutan ini memuncak dalam aksi massa revolusioner yang dimulai di Jakarta pada 25 Agustus 2025, menuntut keadilan sosial dan ekonomi. Demonstrasi meluas ke berbagai wilayah, bahkan berujung pada penjarahan rumah sejumlah anggota DPR (Sahroni, Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach) serta Menteri Keuangan Sri Mulyani sebagai bentuk kemarahan atas ketidakpedulian pejabat terhadap kesulitan rakyat.
Meskipun menghadapi represi dan kriminalisasi, masyarakat tetap berpandangan bahwa aksi demonstrasi adalah jalur demokratis yang vital untuk mewujudkan perubahan substantif. Aksi turun ke jalan ini bertujuan mencapai tiga sasaran utama: menggulingkan rezim yang gagal, mengganti pejabat korup/oligarki, dan melahirkan kepemimpinan yang berpihak pada rakyat kecil. Sejarah dunia juga membuktikan bahwa rakyat selalu menjadi kekuatan utama yang menuntut perubahan ketika mereka merasa tidak adil.
Kegagalan Perubahan Akibat Sistem Demokrasi Sekuler
Pergolakan massa di seluruh dunia Muslim—dari awal Arab Spring hingga pergantian kekuasaan di Afghanistan—membuktikan tingginya hasrat umat untuk memutus rantai ketidakadilan. Namun, di banyak tempat, momentum itu terbuang sia-sia. Alasannya jelas: demokrasi yang dianggap sebagai solusi hanya mampu mengganti individu, tetapi gagal merombak sistem yang sudah dikunci oleh oligarki dan disetir oleh agenda politik serta ekonomi Barat.
Konsekuensinya, umat terjerumus kembali ke dalam lingkaran penderitaan: kebijakan yang membebani, pengkhianatan dari wakil rakyat, dan marginalisasi. Ini merupakan bukti nyata bahwa perubahan sejati mustahil lahir dari mekanisme demokrasi prosedural yang telah didominasi kepentingan asing. Berjuang demi perubahan hakiki melalui jalur demokrasi (trias politica) adalah kesalahan strategis; bukan hanya gagal mencapai cita-cita ideal, tetapi justru menjadi alat untuk melanggengkan keburukan yang ingin diakhiri.
Dalam pandangan Islam, demonstrasi atau people power bukanlah metode yang sahih dalam mencapai perubahan hakiki serta meraih kekuasaan, apalagi kekuasaan Islam.
Taghyir atau Ishlah
Dalam perspektif kaum Muslimin, sebelum melakukan perubahan negara, penting untuk mengidentifikasi akar masalahnya. Jika kerusakan hanya disebabkan penyimpangan penguasa sementara asas dan sistem negara sudah benar, solusinya adalah ishlah (reformasi atau perbaikan). Namun, jika kerusakan dan kezaliman disebabkan oleh kesalahan pada asas bernegara dan sistem yang melahirkannya—seperti yang terjadi di Indonesia dengan sistem sekuler-demokrasi yang menjauhkan agama dari kehidupan bernegara—maka perubahan yang diperlukan adalah taghyir (perubahan total).
Taghyir yang dimaksud adalah mengganti sistem sekuler-demokrasi dengan penerapan Islam kaffah di bawah naungan khilafah sebagai sistem paripurna yang terbukti mampu menyejahterakan rakyat. Sebagaimana firman Allah SWT:
> “Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri itu beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi. Namun, mereka mendustakan (ayat-ayat Kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya.”
(QS. Al-A’raf: 96)
Rasulullah SAW dan Perubahan Hakiki
Bagi seorang Muslim, sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW suri teladan dalam melakukan perubahan hakiki. Sebagaimana firman Allah SWT:
> “Sungguh, telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik.”
(QS. Al-Ahzab: 21)
Secara ringkas, metode yang ditempuh Rasulullah SAW dalam mengubah masyarakat Makkah yang jahiliah, penuh kerusakan, dan kezaliman hingga beliau berhasil mendirikan sistem negara Islam di Madinah melalui beberapa tahapan dakwah yang khas sebagai berikut.
1. Tahap Pembinaan (Marhalah Tatsqif)
Tahap pertama dan rahasia keberhasilan perubahan adalah marhalah ta’sisiyyah, yaitu pengokohan dan penanaman pemikiran yang diemban. Pembinaan bertujuan membentuk individu Muslim berkepribadian Islam (berpikir dan bertindak islami) dengan menanamkan akidah dan syariat yang benar, termasuk dalam masalah ibadah, muamalah, hingga bernegara. Lebih jauh, pembinaan ini juga diarahkan pada pembentukan kekuatan politik (al-quwwatus siyasiyyah) dalam komunitas umat agar memiliki dorongan untuk melakukan perubahan masyarakat ke arah Islam dan mendirikan Daulah Khilafah.
2. Tahap Interaksi dengan Masyarakat (Marhalah Tafa’ul Ma’al Ummah)
Tahap kedua adalah menyampaikan ide perubahan secara terang-terangan melalui perang pemikiran (shira’ al-fikri) dan perjuangan politik (kifah as-siyasiy). Ini berarti mengkritik dan mengungkap kelemahan serta akibat buruk dari pemikiran yang rusak dan kebijakan politik yang menyengsarakan rakyat, sebagaimana dilakukan Al-Qur’an pada masa Rasulullah SAW dengan mengecam keyakinan dan kebiasaan kaum jahiliah.
Dakwah harus berlanjut dari sekadar nasihat ke pembinaan intensif (tatsqif) untuk membangun kesadaran ideologis dan menjauhkan umat dari solusi sekuler. Bersamaan dengan itu, penting untuk memutus ikatan emosional dan kepercayaan (dharbul ‘alaqat) umat dengan penguasa dan pendukungnya dengan terus menyingkap kejahatan rezim yang tunduk pada asing. Tujuan akhirnya adalah membentuk opini publik yang kokoh, menolak hegemoni sekuler, dan menyatukan umat untuk memperjuangkan perubahan hakiki melalui penegakan syariah dan khilafah, dengan melihat Islam sebagai solusi menyeluruh.
3. Tahap Transformasi Kepemimpinan (Marhalah Istilamul Hukmi)
Keberhasilan tahap akhir perubahan ditandai dengan hijrah setelah Baiat Aqabah Kedua, ketika 75 tokoh dan masyarakat Madinah (ahlul quwwah wal mana’ah) secara resmi siap menyerahkan kekuasaan kepada Rasulullah SAW. Baiat ini merupakan langkah krusial yang tidak hanya berfokus pada dakwah, tetapi juga secara rahasia bertujuan membangun pondasi negara Islam (ad-Dawlah al-Islamiyyah) yang mampu mempertahankan umat Islam dan menerapkan Islam secara menyeluruh.
Perubahan yang terjadi dari masyarakat jahiliah ke masyarakat Islam di Madinah merupakan perubahan mendasar dan revolusioner (inqilabiyah), bukan sekadar pergantian rezim, melainkan perubahan sistemik yang bertujuan mengambil alih kekuasaan, menerapkan Islam secara utuh melalui Daulah Islamiyah, serta menyebarkan risalah Islam ke seluruh dunia.
Gerakan mengubah sistem meniscayakan dilakukan dalam amal jama’i (kerja kolektif) dalam sebuah kelompok dakwah politik atau partai politik. Inilah yang dilakukan oleh Rasulullah SAW. Arus perubahan inilah yang sejatinya harus terjadi di dunia dan kaum Muslim saat ini: perubahan dari kondisi sistem sekuler-demokrasi menuju masyarakat Islam. Perubahan yang akan benar-benar memberikan kebaikan bagi masyarakat dan kehidupan alam semesta. Insyaallah. Wallahu a’lam bishshawab.
(Dft)
0 Komentar