Oleh Audina Putri
(Aktivis Muslimah)
Vivisualiterasi.com - Generasi Z atau lebih dikenal dengan istilah gen z, lahir di era kemajuan arus informasi. Mereka tumbuh menjadi pribadi yang kritis, berani menyuarakan ketidakadilan, dan mampu menyuarakan tentang masa depan bangsa.
Meskipun banyak pernyataan negatif terhadap generasi mereka, seperti mental lemah, fomo, mageran, nomophobia dan sebagainya. Tapi sisi positifnya, mereka update dan aware terhadap keadaan yang ada di sekitar.
Seperti saat ini yang sedang terjadi pergolakan sistem, banyak dari mereka yang mulai bersuara. Sayangnya suara mereka kerap dianggap ancaman, bukannya pujian justru ancaman yang mereka dapatkan, tidak sedikit aktivis muda ditangkap aparat, dilabeli provokator, bahkan dijerat pasal karet (pasal yang tidak jelas maknanya).
Seakan-akan mengkritik penguasa adalah dosa, dan pemikiran cemerlang harus tetap dipendam, karena kecerdasan adalah ancaman bagi mereka yang sudah nyaman dalam kebodohan. Padahal, dari pemikiranlah lahir sebuah perbuatan, pikiran yang cerdas akan menghasilkan peradaban dan kemajuan.
Namun kebenaran sering kali dianggap momok menakutkan, sebab suara jujur bisa mengguncang singgasana yang tenang. Akibatnya, generasi muda bisa kehilangan keberanian untuk bersuara, karena dibungkam oleh sistem yang menakut-nakuti dengan alasan menertibkan.
Kebebasan pun tinggal sekedar nama tanpa makna, terucap berulang namun tidak terbukti nyata. Akhirnya, anak bangsa berjalan mundur dalam bayang-bayang ketakutan. Bukan karena pemikirannya salah, tapi karena terlalu benar untuk diterima oleh mereka yang takut kehilangan kuasa. Padahal, masa depan bangsa ada di tangan para pemuda.
Ironis sekali, demokrasi yang diagungkan sebagai ruang berekspresi, justru berubah menjadi labirin ketakutan, membuat diam artinya aman, dan jika bicara berarti menggali kubur sendiri.
Kritikan dianggap sebagai ujaran kebencian, aksi damai dicap ancaman kerusuhan. Mana yang tersisa dari demokrasi bila suara kritik masyarakat selalu dibungkam aparat?
Demokrasi akhirnya menunjukkan wajah aslinya, segalanya hanya panggung sandiwara, pemilu lima tahun sekali, suara manis dengan janji-janji, dan kekuasaan yang terus melindungi dirinya sendiri.
Ini adalah fakta demokrasi yang bergantung pada siapa yang punya kuasa. Aturan bisa berubah sesuai selera, hukum boleh dibeli, rakyat pasrah menjadi penonton tanpa daya. Sedangkan Gen Z yang berani bicara, justru dijadikan tersangka, bahaya provikator atau apalah katanya.
Fenomena kriminalisasi suara pemuda membuktikan bahwa demokrasi tak lebih dari ilusi indah. Di atas kertas, ia menjanjikan segala hak rakyat, tapi di lapangan yang terjadi adalah dominasi oligarki yang mengikat.
Jika terus seperti ini, yang lahir selanjutnya hanyalah generasi lemah, pemuda yang takut bersuara, rakyat yang pasrah, dan bangsa yang kehilangan arah.
Di sinilah Islam hadir sebagai solusi mendasar. Karena Islam tidak menjadikan politik sebagai ajang berebut kekuasaan, melainkan amanah untuk mengurus umat dengan hukum yang Allah Swt turunkan.
Pemimpin dalam Islam adalah pelayan rakyat, bukan sebagai penguasa yang menginjak rakyatnya. Rasulullah saw bersabda:
"Pemimpin itu adalah pengurus rakyat, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Setiap kebijakan, perbuatan para pemimpin akan diberikan balasan oleh Allah di akhirat, Al-Qur’an juga menegaskan kewajiban menegakkan hukum Allah sebagai standar kepemimpinan:
"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang Allah turunkan, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka…” (QS. Al-Maidah: 49)
Dalam sistem Islam, kritik terhadap penguasa bukaah kejahatan kriminal, melainkan bagian dari amar ma’ruf nahi munkar. Ulama, kaum intelektual, bahkan rakyat biasa pun diberi ruang untuk menegur penguasa tanpa ancaman kekerasan. Gen Z, dengan idealismenya, tidak seharusnya diarahkan untuk sekadar bertahan dalam ruang sempit seperti demokrasi.
Mereka bisa belajar dari sahabat-sahabat muda Nabi, seperti Mush’ab bin Umair dan Usamah bin Zaid, yang diberi amanah besar untuk mengemban dakwah, bukan dibungkam.
Mush’ab bin Umair diutus berdakwah di Madinah, ia mengetuk setiap pintu yang ada dan mengenalkan Islam pada mereka, para pemuka kaum yang gusar datang mengancam dengan pedang yang terhunus ke lehernya, tapi ia mampu dengan tenang meminta diizinkan untuk berbicara, akhirnya dengan lisannya ia mampu mengIslamkan Madinah, maa syaa Allah.
Maka jelas sudah, saat suara Gen Z dibungkam, demokrasi akan semakin muram. Namun di balik kegelapan itu, ada cahaya yang tak bisa dipadamkan, yakni cahaya Islam. Hanya Islam yang mampu menghidupkan kembali politik sebagai amanah, menegakkan keadilan, dan membuka ruang luas bagi generasi muda untuk menjadi pelopor perubahan peradaban. Wallahu a’lam bishawab.[AR]
0 Komentar