Oleh Irwansyah
(Pegiat Sosial Media)
Vivisualiterasi.com - Sejak 7 Oktober 2023, Gaza berubah menjadi penjara raksasa yang dikepung dari segala arah. Setelah perang terbaru meletus, Israel memperketat blokade total terhadap dua juta lebih penduduknya. PBB mencatat bahwa lebih dari 80 persen warga Gaza kini bergantung pada bantuan kemanusiaan, sementara akses pangan, obat-obatan, dan bahan bakar hampir sepenuhnya diputus. Rumah sakit kolaps, sekolah hancur, dan ribuan anak terbunuh di tengah serangan udara tanpa henti. Dunia menatap, menyesal, lalu melupakan. Dari satu konferensi ke konferensi lain, Gaza dibicarakan seolah ia sekadar wacana, bukan luka yang terus mengalirkan darah.
Baru-baru ini, Sumud Flotilla kembali berlayar dari pelabuhan Eropa menuju Gaza. Kapal-kapal kecil itu membawa bantuan medis dan simbol solidaritas, menantang blokade yang telah menjerat Gaza selama hampir dua dekade terakhir. Namun di tengah perjalanan, armada itu dicegat dan ditahan oleh pasukan Israel di Laut Tengah. Sampai hari ini, belum ada satu pun kapal berhasil mencapai pantai Gaza.
Secara militer, misi itu gagal. Tapi secara moral, Sumud Flotilla menampar wajah dunia Islam.
Ia membuktikan bahwa yang berani menantang tirani bukanlah negara-negara dengan pasukan dan jet tempur, melainkan sekelompok manusia yang hanya bersenjatakan nurani. Sementara itu, para pemimpin Muslim yang punya kekuasaan dan pengaruh hanya menjawab dengan kecaman diplomatik dan seruan damai yang terdengar sama setiap kali Gaza berdarah. Dunia Islam hari ini ramai oleh pernyataan, tapi sunyi oleh tindakan. Gaza tetap terpenjara, dan umat kehilangan arah antara rasa iba dan rasa takut.
Dalam sejarah Islam, pernah ada kisah yang menggugah tentang Khalifah al-Mu‘tasim Billah. Diceritakan, ketika seorang perempuan Muslimah dilecehkan oleh prajurit Romawi di kota Amuriyah, ia berteriak, “Wa Mu‘tasimah!” — panggilan kepada sang khalifah. Kabar itu sampai ke Baghdad. Al-Mu‘tasim tidak berdebat di meja wacana, tidak menyusun deklarasi, dan tidak menunggu izin siapa pun. Ia memerintahkan pasukannya berangkat, menaklukkan Amuriyah, dan memulihkan kehormatan perempuan itu.
Itu bukan sekadar kisah legenda, tapi cermin betapa iman pernah menjadi energi politik dan moral.
Kini, ribuan perempuan dan anak-anak di Gaza menjerit setiap hari. Tapi dunia Islam tak lagi menggigil mendengarnya. Jeritan mereka tenggelam di antara pidato, forum, dan pertemuan internasional yang tak berujung. Para pemimpin lebih sibuk menjaga stabilitas diplomasi daripada menegakkan harga diri umat.
Ironisnya, istilah jihad yang dahulu menjadi sumber keberanian seperti al-Mu‘tasim, kini justru disalahpahami dan ditakuti. Di banyak negara, kata itu diasosiasikan dengan kekerasan dan ekstremisme, padahal dalam Islam, jihad adalah konsep perjuangan menyeluruh — moral, sosial, dan spiritual.
Jihad bukan hanya tentang mengangkat senjata. Ia adalah semangat untuk berjuang menegakkan kebenaran, melawan kezaliman, dan mempertahankan martabat manusia. Ia berarti bergerak melawan kebekuan, melawan ketakutan, melawan kejahatan yang dibiarkan terjadi di depan mata.
Namun di dunia modern, kata jihad dicabut dari maknanya. Barat menganggapnya ancaman, sementara sebagian penguasa Muslim menganggapnya tabu. Akibatnya, umat kehilangan bahasa perjuangan yang sah dan luhur. Kita menjadi penonton dalam sejarah yang seharusnya kita tulis sendiri. Kini, setiap seruan jihad disamakan dengan radikalisme, padahal yang dibutuhkan umat justru semangat jihad yang cerdas dan bermartabat.
Jihad membela rakyat tertindas bukanlah fanatisme. Jihad menolak penindasan bukanlah terorisme. Yang berbahaya bukan jihadnya, tapi diamnya umat terhadap kezaliman.
Sumud Flotilla telah membuktikan satu hal: keberanian tidak selalu lahir dari kekuasaan. Mereka yang berlayar bukan pejabat, bukan penguasa, tapi manusia biasa yang menolak tunduk pada ketidakadilan. Mereka sedang berjihad dengan kemampuan, dengan nyawa, dengan keyakinan bahwa diam terhadap kezaliman adalah dosa yang paling nyata.
Masalah Gaza bukan sekadar isu kemanusiaan. Ia adalah ujian moral dunia Islam.
Seberapa jauh kita berani menegakkan kebenaran ketika itu berisiko secara politik?
Apakah kita masih memiliki iman yang membuat kita bergerak, atau hanya pandai mengutuk dari jarak aman?
Selama pemimpin Muslim lebih takut kehilangan legitimasi daripada kehilangan kehormatan, Gaza akan tetap terblokade — bukan hanya oleh tembok Israel, tapi oleh kebisuan umat sendiri. Dunia Islam tidak kekurangan tentara, tapi kekurangan tekad. Tidak kekurangan doa, tapi kekurangan keputusan.
Jihad hari ini bukan sekadar mengangkat senjata. Ia adalah keberanian moral untuk menolak ketidakadilan. Ia adalah kesediaan menanggung risiko demi kebenaran. Ia adalah kejujuran untuk berkata, “Cukup sudah.”
Selama umat masih digerakkan oleh nurani, maka jihad dalam makna sejatinya belum mati.
Dan mungkin, jihad terbesar di zaman ini adalah melawan kepengecutan di hati, di kekuasaan, dan di bangsa-bangsa yang telah terbiasa melihat penderitaan tanpa rasa bersalah.[Irw]
0 Komentar