Subscribe Us

“17+8 TUNTUTAN RAKYAT”: SINYAL KRISIS KEPERCAYAAN


Oleh Irwansyah
(Pegiat sosial media)


Vivisualiterasi.com - Gerakan “17+8 Tuntutan Rakyat” yang belakangan viral di media sosial bukanlah sekadar daftar protes. Ia lahir dari akumulasi kemarahan publik terhadap DPR, aparat, dan kebijakan pemerintah yang dirasakan makin jauh dari aspirasi rakyat. Dari wacana tunjangan DPR yang fantastis, kekerasan aparat dalam membubarkan aksi demonstrasi, hingga kebijakan ekonomi yang membuat harga kebutuhan pokok melambung, semua menambah panjang daftar kekecewaan. Publik merasa dikhianati, dan aksi ini pun dianggap sebagai sinyal krisis kepercayaan yang kian menguat.

Gerakan ini membawa 17 tuntutan jangka pendek dengan tenggat 5 September 2025, seperti penarikan TNI dari tugas sipil, penghentian kekerasan aparat, pembebasan demonstran, hingga penghentian tunjangan DPR. Di sisi lain, delapan tuntutan jangka panjang ditargetkan hingga Agustus 2026, mencakup reformasi DPR, perbaikan partai politik, pajak adil, UU perampasan aset koruptor, reformasi Polri, serta evaluasi menyeluruh terhadap arah kebijakan ekonomi.

Sebagai catatan, salah satu tuntutan publik terkait tunjangan DPR sudah mendapat respons. Per 31 Agustus 2025, DPR resmi menghentikan tunjangan perumahan sebesar Rp 50 juta per bulan serta memberlakukan moratorium perjalanan dinas luar negeri. Meski demikian, langkah ini belum meredam gelombang protes, karena publik menilai masalah yang lebih mendasar tetap belum tersentuh.

Rangkaian tuntutan ini memperlihatkan bahwa rakyat tidak hanya menolak kebijakan tertentu, tetapi juga menghendaki perubahan struktural. Mereka ingin agar lembaga politik kembali berpihak pada rakyat, bukan hanya pada elite. Dengan demikian, “17+8 Tuntutan Rakyat” dapat dibaca sebagai peringatan keras bahwa kesabaran rakyat ada batasnya.

Kapitalisme: Akar Masalah

Meski tampak beragam, tuntutan tersebut sesungguhnya bermuara pada satu hal, yaitu krisis kepercayaan terhadap sistem politik yang ada. Rakyat sudah terlalu sering dikecewakan oleh janji manis politisi. Setiap rezim datang dengan jargon perubahan, tetapi akhirnya terjebak dalam pola lama, kebijakan yang lebih menguntungkan elite ketimbang rakyat.

Akar dari persoalan ini adalah sistem kapitalisme. Kapitalisme menjadikan politik sebagai arena transaksi. Jabatan dipandang sebagai investasi, sehingga wajar bila pejabat mencari keuntungan setelah berkuasa. DPR bisa dengan mudah mengusulkan fasilitas baru karena orientasi mereka bukan lagi amanah, melainkan perhitungan untung rugi.

Kapitalisme juga melahirkan ketimpangan yang tajam. Elite politik dan pengusaha saling menopang, sementara rakyat menjadi korban kebijakan. Aparat yang seharusnya mengayomi justru sering tampil sebagai tameng kekuasaan. Tidak sedikit demonstrasi dibubarkan dengan kekerasan, memperlihatkan bahwa aparat lebih setia pada penguasa daripada pada rakyat. Jurang kepercayaan pun semakin lebar, membuat rakyat sulit lagi berharap pada sistem yang cacat sejak lahir.

Melirik Islam Sebagai Solusi

Islam menawarkan paradigma yang berbeda dari kapitalisme. Dalam Islam, kekuasaan bukanlah hak istimewa, melainkan amanah yang berat.

Rasulullah bersabda: “Setiap pemimpin adalah penggembala, dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas gembalaannya.”

Prinsip ini menegaskan bahwa jabatan adalah tanggung jawab di hadapan Allah, bukan sarana untuk memperkaya diri atau kelompok.

Dalam sistem Islam, pemimpin dipilih melalui bai’at umat, bukan lewat politik transaksional. Anggaran negara dikelola dalam baitul mal untuk kepentingan rakyat, bukan untuk fasilitas elite. Ada lembaga hisbah yang berfungsi mengawasi jalannya pemerintahan dan memberi ruang rakyat melakukan koreksi. Bahkan distribusi kekayaan diatur agar tidak terkonsentrasi pada segelintir orang, sebagaimana ditegaskan dalam QS. Al-Hasyr ayat 7.

Sejarah mencatat keberhasilan prinsip ini. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz, kesejahteraan rakyat begitu tinggi hingga hampir tidak ditemukan penerima zakat. Kondisi itu menunjukkan bahwa sistem Islam mampu mewujudkan keadilan sosial secara nyata, bukan sekadar wacana.

Refleksi dan Pilihan Masa Depan

Gerakan “17+8 Tuntutan Rakyat” seharusnya tidak dipandang sekadar sebagai gejolak sesaat, tetapi sebagai cermin dari ketidakpuasan mendalam terhadap sistem kapitalis. Bila pemerintah hanya menambal sulam masalah tanpa menyentuh akar, krisis kepercayaan akan terus berulang. Hari ini rakyat marah, esok mungkin tenang, namun luka akan tetap menganga.

Selain menjadi refleksi, gerakan ini juga bisa dibaca sebagai ujian kedewasaan politik bangsa. Selama ini, aspirasi rakyat sering direduksi hanya sebagai suara di bilik pemilu. Setelah pesta demokrasi usai, suara itu hilang digantikan oleh kompromi elit. Aksi ini menunjukkan bahwa rakyat tidak lagi mau hanya dijadikan objek politik lima tahunan. Mereka menuntut keterlibatan yang nyata, kebijakan yang berpihak, dan keberanian pemerintah untuk melawan dominasi oligarki.

Di sinilah pentingnya menggeser paradigma dari demokrasi yang kering nilai ke sistem yang menegakkan amanah sejati. Islam tidak menafikan partisipasi rakyat, tetapi menempatkannya dalam kerangka syariah yang menjaga keadilan dan mencegah tirani mayoritas maupun minoritas. Dengan demikian, solusi yang ditawarkan Islam bukan sekadar alternatif, tetapi kebutuhan mendesak agar bangsa ini keluar dari lingkaran krisis yang terus berulang.

Islam menawarkan jalan keluar yang lebih fundamental. Dengan menempatkan kekuasaan sebagai amanah, ekonomi sebagai sarana kesejahteraan, dan rakyat sebagai subjek utama, Islam menghadirkan paradigma yang jauh lebih adil dan manusiawi. Pertanyaannya, apakah kita berani keluar dari lingkaran setan kapitalisme dan menoleh pada sistem Islam yang telah terbukti menghadirkan keadilan selama berabad-abad?

Gerakan ini bisa menjadi momentum refleksi bersama. Rakyat sudah bersuara lantang, dan sejarah akan mencatat pilihan kita, apakah mau terus bertahan dalam sistem kapitalis yang penuh kepincangan, atau berani mengadopsi sistem Islam yang memberi janji dan bukti keadilan. Wallahualam.

Posting Komentar

0 Komentar