Subscribe Us

DIPLOMASI SETENGAH HATI, UPAYA NORMALISASI HUBUNGAN ISRAEL-RI DITENGAH GENOSIDA

Oleh Sri Wulan Suci
(Kontributor Vivisualiterasi)

Vivisualiterasi.com-Presiden RI Prabowo Subianto dalam pertemuannya dengan Presiden Prancis menyatakan bahwa Indonesia siap membuka hubungan diplomatik dengan Israel jika Presiden Israel mengakui kemerdekaan Palestina. Ia juga menambahkan bahwa keamanan Israel perlu dijamin dan Prancis akan terus mendukung langkah-langkah menuju kemerdekaan Palestina.
Pernyataan ini menimbulkan polemik luas, mengingat dilontarkan di tengah krisis kemanusiaan akut yang menimpa rakyat Palestina. (Reuters.com, 28/5/2025)

Menurut laporan OCHA PBB (Office for the Coordination of Humanitarian Affairs), sejak Januari 2024 hingga Juni 2025, lebih dari 50.000 warga Palestina terbunuh dan 116.000 terluka akibat agresi Israel di Gaza. WHO juga menyebutkan bahwa 70% fasilitas kesehatan di Gaza lumpuh total dan tidak lagi mampu memberikan layanan dasar.

Lantas, patutkah membuka diplomasi dengan negara yang diduga kuat melakukan genosida dan pelanggaran berat terhadap hukum internasional?

Menyoal Arah Diplomasi RI

Pernyataan Prabowo tentang kemungkinan membuka hubungan diplomatik dengan Israel secara “bersyarat” merupakan langkah yang secara politik menimbulkan tanda tanya besar: apa makna di balik diplomasi bersyarat itu sendiri? Dalam konteks geopolitik, diplomasi bersyarat sering kali merupakan bagian dari tawar-menawar kekuasaan yang justru menormalisasi relasi antara penjajah dan yang dijajah. Padahal dalam kasus Palestina, Israel bukan sekadar pihak dalam konflik, melainkan pelaku kejahatan kemanusiaan yang terstruktur.

Dengan membuka ruang negosiasi kepada Israel, Indonesia berisiko mengikis konsistensi posisi politik luar negeri yang selama ini tegas membela Palestina. Konsistensi moral Indonesia akan merosot drastis di mata dunia, karena sikap ini bisa dimaknai sebagai bentuk pembiaran, bahkan “penerimaan” atas pelanggaran hukum internasional yang nyata dan terus berlangsung.

Lebih dari itu, pendekatan “diplomasi bersyarat” justru membingkai perjuangan Palestina dalam kerangka sekuler-transaksional, bukan lagi perjuangan melawan penjajahan. Yang berpotensi  membuat posisi Indonesia menjadi ambigu di satu sisi mengecam kejahatan Israel, tapi di sisi lain membuka ruang kerja sama yang secara moral dan hukum sangat problematis.

Pelanggaran berat hukum internasional oleh Israel, secara sistematis melanggar hukum humaniter internasional, di antaranya, Penargetan warga sipil dan fasilitas sipil (sekolah, rumah sakit, masjid). Pengepungan total wilayah Gaza yang menyebabkan kelaparan dan krisis medis, pemindahan paksa penduduk, yang bertentangan dengan konvensi Jenewa yang menyatakan penggunaan senjata terlarang seperti fosfor putih.

Normalisasi terhadap negara pelanggar hukum ini bukan hanya tidak etis, tetapi merusak prinsip keadilan universal yang menjadi pondasi hukum internasionalSikap permisif terhadap Israel sama saja dengan mencederai semangat konstitusi Indonesia, terutama Pembukaan UUD 1945 yang tegas menyatakan bahwa:

 “Kemerdekaan ialah hak segala bangsa dan oleh sebab itu, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan.”

Pernyataan Prabowo, meski disampaikan dengan embel-embel “syarat”, tetap dapat dikategorikan bertentangan secara prinsipil dengan amanat konstitusi. Ia mengaburkan garis tegas antara penegakan keadilan dan kompromi politik, dan membuka celah bagi legitimasi penjajahan dalam bentuk baru.

Sudut Pandang Islam terhadap Kezaliman

Rasulullah ï·º bersabda:
 "Barang siapa yang tidak peduli terhadap urusan kaum Muslimin, maka dia bukan bagian dari mereka." (HR. al-Hakim)

Hadis ini menekankan urgensi kepedulian aktif, bukan pasif, dalam membela umat yang tertindas. Dalam konteks Palestina, sikap diam, apalagi kompromi diplomatik, justru mencerminkan pengkhianatan terhadap amanat keimanan dan ukhuwah. Negara mayoritas Muslim seperti Indonesia memiliki kewajiban syar’i untuk menolak segala bentuk penjajahan dan berdiri di pihak yang dizalimi.

Diplomasi yang menyerupai normalisasi pada akhirnya adalah bentuk pembiaran kezaliman. Dalam perspektif Islam, ini bukan hanya kesalahan politik, tetapi penyimpangan moral dan aqidah. Islam menolak segala bentuk zulm (penindasan), dan memerintahkan pemimpin untuk bersikap tegas terhadap pelaku kezaliman, bukan berunding dengan mereka.

Lebih jauh, pendekatan politik luar negeri yang berbasis paradigma kapitalisme sekuler yang mengutamakan kepentingan ekonomi dan relasi strategis menjadikan pemimpin lemah, oportunis, dan transaksional. Ia kehilangan arah sebagai pelindung umat. Hanya dalam sistem Islam yang integral-lah, politik luar negeri berjalan sesuai prinsip membela yang lemah, menentang kezaliman, dan menjadikan aqidah sebagai basis diplomasi, lantas bagaimana solusinya?

Pertama:  Tegas Tolak Normalisasi dengan Israel

Penolakan tegas terhadap normalisasi bukan sikap emosional, melainkan satu-satunya jalan untuk mempertahankan konsistensi moral dan politik luar negeri Indonesia. Posisi ini akan memberikan tekanan moral internasional terhadap Israel dan mendesak negara-negara lain untuk mengikuti jejak serupa, sebagaimana Afrika Selatan dan Bolivia pernah lakukan.

Dalam perspektif Islam, sikap tegas ini sejalan dengan prinsip:
"Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka ubahlah dengan tangannya..." (HR. Muslim)

Menolak normalisasi adalah bentuk penolakan terhadap kemungkaran yang terstruktur, dan ini merupakan amanat syariah.

Dua: Dorong Upaya Hukum Internasional

Indonesia harus menginisiasi gugatan terhadap Israel di Mahkamah Internasional (ICJ) dan Mahkamah Pidana Internasional (ICC). Ini krusial untuk Mendokumentasikan kejahatan perang secara resmi,Menekan negara-negara Barat agar berhenti mendukung agresi Israel,Memberikan dasar hukum bagi sanksi internasional dan embargo senjata. Sebagai anggota OKI (Organisasi Kerja Sama Islam) dan negara Muslim terbesar di dunia, Indonesia punya modal diplomasi strategis untuk memimpin langkah ini. Ini adalah langkah konkret yang membuat dukungan terhadap Palestina tidak berhenti di retorika, tapi nyata secara hukum.

Tiga: Libatkan Suara Rakyat dan Ulama

Kebijakan luar negeri tak boleh elitis. Rakyat dan ulama harus dilibatkan melalui forum konsultasi publik, Majelis Ulama Indonesia (MUI), dan ormas Islam. Ini penting untuk memperkuat legitimasi kebijakan luar negeri,Mencegah adanya “diplomasi setengah hati” yang hanya mewakili elite.Pelibatan umat juga merupakan manifestasi maqashid syariah—menjaga agama, jiwa, dan martabat umat.

Terakhir:  Pertahankan Konsistensi Politik Bebas-Aktif

Indonesia harus menunjukkan jati diri sebagai bagian dari Global South dan Dunia Islam, bukan menjadi Alat kepentingan politik Barat. Konsistensi ini penting untuk Melindungi kedaulatan diplomasi dari tekanan negara-negara pro-Israel,Menjaga nilai-nilai konstitusi yang anti-penjajahan,,Menguatkan posisi tawar Indonesia dalam percaturan geopolitik dunia.

Sikap “bebas-aktif” sejati artinya tidak netral dalam kezaliman dan aktif membela keadilan, terutama untuk Palestina yang menjadi simbol kehormatan umat Islam. Sikap terhadap Palestina bukan semata isu politik luar negeri, melainkan ujian moral, konstitusional, dan keimanan. Dalam sistem kapitalisme, politik luar negeri tunduk pada untung-rugi dan kalkulasi ekonomi. Tapi dalam Islam, politik adalah perwujudan tanggung jawab terhadap umat dan keadilan global.

Hanya sistem Islamlah yang menjadikan aqidah sebagai dasar dan syariah sebagai panduan yang mampu memberikan solusi tuntas dan adil dalam membela Palestina. Karena Palestina bukan sekadar konflik kemanusiaan, melainkan simbol kehormatan umat Islam di mata dunia. Wallahu a'lam bisshowab. [PUT]



Posting Komentar

0 Komentar