Subscribe Us

PPN NAIK LAGI, BAGAIMANA NASIB RAKYAT?


Oleh Syahraeni
(Kontributor Vivisualiterasi Media)


Vivisualiterasi.com- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, memastikan kebijakan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% pada 2025 tidak akan ada penundaan. Dengan demikian, kebijakan tersebut akan berlanjut pada masa pemerintahan mendatang.
 
Airlangga mengatakan, ketentuan kenaikan tarif PPN ini akan berlanjut pada 2025 karena juga sudah keputusan masyarakat yang memilih pemerintahan baru dengan program-program keberlanjutan dari Presiden Joko Widodo. (CNBC Indonesia, 08/03/2024)

Sebagai sumber pendapatan negara, pembayaran pajak merupakan suatu aktivitas yang wajib dilakukan oleh masyarakat. Pajak dimaksudkan sebagai penghasil anggaran terbesar yang ditujukan untuk pembangunan negara. Sebagaimana diketahui, tarif PPN sejak 2022 hingga saat ini sebesar 11%, atau telah naik dari yang sebelumnya sebesar 10% berdasarkan ketentuan Undang-undang tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Kenaikan persenan pajak jelas dapat memberikan tambahan pendapatan pada negara. Di sisi lain, kenaikan ini tentu memberikan dampak pada rakyat, potensi dampak kenaikan PPN 1 persen bisa berimbas pada beberapa indikator makro ekonomi, di antaranya semakin mendorong terjadinya inflasi, penurunan daya beli masyarakat akibat kenaikan PPN berdampak pada perlambatan pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan angka pengangguran. Mirisnya, pendapatan negara dari sektor pajak juga rawan dikorupsi, berdasarkan data KPK hingga 10 Januari 2024, KPK telah menangani 1.512 kasus korupsi, di mana 339 kasus terjadi di sektor PBJ yang mengakibatkan pendapatan negara sering tidak tercapai targetnya, akhirnya kenaikan pajak kembali menjadi solusi.

Kebijakan menaikkan pajak tentu akan membebani rakyat, namun dapat menutupi defisit anggaran negara. Menurunkan tarif pajak dapat mengurangi beban rakyat, tetapi negara mengalami defisit keuangan. Oleh karena itu, langkah logis yang diambil oleh negara adalah dengan berutang. Segala bidang yang akan dikenai PPN bisa jadi semakin bertambah kedepannya. Mengingat, utang negara hingga November 2023 telah mencapai Rp8.041 triliun. Utang tersebut bisa lunas jika pembayarannya dibebankan kepada seluruh penduduk di Indonesia. Jika  dikalkulasi, tiap individu akan menanggung utang negara sebesar kurang lebih Rp28 juta, dan salah satu cara terbaik mengurangi utang tersebut adalah dengan menaikkan tarif pajak atau menerapkan pajak pada beberapa lini yang memungkinkan dikenai tarif pajak. Tak berhenti sampai disitu, negara juga akan terus melakukan pengurangan dan penghapusan subsidi serta pengurangan anggaran untuk rakyat sebab APBN negara tak mampu untuk memenuhi semuanya.

Kenaikan pajak adalah suatu hal yang lumrah, mengingat perekonomian negara diatur dengan sistem ekonomi kapitalisme yang menjadikan salah satu kebijakan pendapatan negara bersumber dari pajak. Meskipun penerapan kebijakan ini bisa dikatakan sebagai suatu kebijakan yang keliru sebab sangat membebani rakyat dengan besarannya yang kian bertambah. Meski demikian, peningkatan persenan pajak terus dilakukan, apakah tidak ada alternatif lain untuk meningkatkan pendapatan negara selain pajak?

Sejatinya, negara memiliki berbagai sumber yang dapat dijadikan sebagai sumber penghasilan, di antaranya adalah pengelolaan SDA yang melimpah dan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Hanya saja, dalam sistem ekonomi kapitalisme ini, keberadaan SDA hanya dimiliki dan dinikmati hasilnya oleh para korporat kapitalis. Sebagaimana diketahui, dalam sistem ini para pemodal (kapitalis) yang mampu, diperkenankan untuk membeli dan menguasai SDA yang ada. Negara hanya mengambil andil sebagai regulator yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan sebagai bagian dari pengawasan. Di kabupaten Mimika, Papua misalnya, merupakan daerah pertambangan emas terbesar di Indonesia yang  menghasilkan sekitar 240 kilogram emas setiap harinya dengan pendapatan sebesar US$ 22,78 miliar atau setara Rp 341,70 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per US$) sepanjang tahun 2022. Tambang ini berada di bawah kepemilikan perusahaan asing Freeport-McMoRan yang memegang 90,64 persen saham dari anak perusahaan PT Freeport Indonesia. Sisanya dimiliki oleh pemerintah Indonesia. Belum lagi pada perusahaan-perusahaan besar lainnya.

Mengingat Indonesia sebagai negara yang kaya akan SDA serta besaran hasil dari SDA tersebut, lbxtentu mampu membuat Indonesia tidak menjadikan pajak yang notabene mencekam rakyat sebagai salah satu penunjang APBN negara, apabila pengaturannya diambil alih sepenuhnya oleh negara. Namun, perkara demikian tidak dapat ditempuh negara sebab sistem yang berlaku saat ini ialah sistem kapitalisme dengan asas kebebebasan kepemilikannya, sehingga menjadikan peluang investasi atas SDA terbuka lebar pada investor-investor asing.

Berbeda halnya dengan sistem Islam, sumber pedapatan negara yang masuk ke kas negara (baitul mal) diperoleh dari (1) fai (anfal, ghanimah, khumus), (2) jizyah, (3) kharaj, (4) ‘usyur, (5) harta milik umum yang dilindungi negara, (6) harta haram pejabat dan pegawai negara, (7) khumus rikaz dan tambang, (8) harta orang yang tidak mempunyai ahli waris, dan (9) harta orang murtad.
Pajak yang diterapkan dalam sistem Islam sangat berbeda dengan sistem pajak hari ini, baik ditinjau dari aspek subjek, objek, maupun tata cara pemungutannya. Meski ada kesamaan penggunaaan pada istilah pajak, ini hanya karena sama-sama dipungut dari negara semata.

Pajak dalam sistem Islam dikenal dengan istilah dharibah. Ia adalah langkah terakhir yang diambil apabila kas negara benar-benar kosong dan sudah tidak mampu memenuhi kewajibannya. Dalam kondisi ini, pajak diberlakukan atas kaum muslim saja. Pengambilan pajak dilakukan dari sisa nafkah (setelah dikurangi dari kebutuhan hidup), dan harta orang-orang kaya, yaitu dari sisa pemenuhan kebutuhan primer dan sekunder yang baik peruntukannya.

Dalam Islam, pajak diterapkan atas individu (jizyah dan pajak atas kaum muslim), tanah kharaj, dan cukai atas barang impor dari negara yang mengenakan cukai terhadap pedagang kaum muslim. Sehingga, tidak akan memberikan beban ekonomi yang berat bagi masyarakat.

Pajak dalam Islam hanya diterapkan secara temporal, tidak menjadi agenda rutin sebagaimana yang kita rasakan hari ini. Dalam sistem ekonomi Islam, masih ada dua sumber pendapatan negara, yaitu CC flbagian kepemilikan umum dan sedekah. Syekh An-Nabhani dan Abdul Qadim Zallum menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan kepemilikan umum itu adalah sebagai berikut.

Pertama, fasilitas umum yang jika tidak ada pada suatu negeri akan menyebabkan banyak orang bersengketa untuk mencarinya, seperti air, padang rumput, dan jalan-jalan umum.

Kedua, barang tambang yang jumlahnya sangat besar (tidak terbatas), seperti tambang minyak dan gas bumi, emas dan logam mulia, timah, besi, uranium, batu bara, dan lain sebagainya.

Ketiga, sumber daya alam yang sifat pembentukannya tidak boleh untuk dimiliki secara individu, seperti laut, sungai, dan danau.

Sumber pendapatan dari kepemilikan umum inilah yang berpotensi besar memberikan pendapatan terbesar bagi negara. Negara mengelola kepemilikan ini secara mandiri. Menjadikan pajak sebagai salah satu sumber pemasukan negara hanya akan memperburuk kondisi ekonomi negara. Berpotensi pula terhadap peningkatan angka kemiskinan.

Namun semua sumber diatas hanya ada dalam pengaturan ekonomi dan Islam secara keseluruhan sehingga negara tidak akan bingung mencari sumber pendapatan negara. Wallahua'lam.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar