Subscribe Us

MEWUJUDKAN KETAHANAN PANGAN YANG BERDAULAT


Oleh Nikmah, SM
(Pegiat Opini)

Vivisualiterasi.com-Ketahanan sebuah negara tidak hanya diukur dari kekuatan militernya semata, tetapi juga berbagai hal lainnya. Ukuran masing-masing ketahanan itu sendiri antara lain adalah jumlah orang yang akan terdampak bila ada gangguan ketahanan, dan panjang waktu yang dibutuhkan untuk pemulihannya. Seperti halnya ketahanan pangan sebuah negeri, tentu hal ini haruslah menjadi salah satu pokok utama yang harus diperhitungkan.

Di Negeri tercinta kita ini misalnya, mayoritas masyarakatnya adalah mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokoknya. Namun tak ayal, belakangan harga beras justru melambung tinggi. Tentu hal ini berdampak langsung pada masyarakat dalam memenuhi kebutuhan mendasar berupa pangan.

Badan Pangan PBB alias Food and Agriculture Organization (FAO) sendiri was-was terhadap harga beras yang naik mencapai level tertinggi dalam 12 tahun bakal memicu lonjakan pangan di Asia. Ada dua biang kerok utama lonjakan harga beras yang mereka identifikasi. Pertama, larangan ekspor India sejak bulan lalu. Kedua, ancaman cuaca buruk akibat El Nino yang merusak produksi beras (CNN Indonesia, 23/8/2023).

Di Indonesia sendiri, berdasarkan laman Pusat Informasi Harga Pangan Strategis (PIHPS) Nasional dari Bank Indonesia, harga beras medium tertinggi per 17 September 2023 tercatat di Kalimantan Tengah sebesar Rp 18.150 per kilogram (Tempo, 17/09/2023).

Seperti yang dimuat dalam situs Ombudsman Republik Indonesia di tahun 2021, Ombudsman RI telah memberikan catatan kritis atas tata kelola beras dalam negeri. Dan pihaknya telah menyelesaikan investigasi atas prakarsa sendiri mengenai perbaikan dalam Tata Kelola Cadangan Beras Pemerintah (CBP). Ombudsman mencatat setidaknya 12 temuan pada proses perencanaan, penetapan, pengadaan, perawatan penyimpanan, penyaluran, pelepasan dan pembiayaan CBP.

Tiga temuan di antaranya, yaitu tidak memadainya teknologi pendukung pasca panen, tidak optimalnya pengadaan beras dalam negeri, dan tidak adanya standar terkait indikator dalam pengambilan keputusan importasi beras. Pada ruang lingkup perawatan dan penyimpanan cadangan beras pemerintah, Ombudsman mencatat dua temuan yaitu tidak cermatnya pencatatan perawatan (spraying dan fumigasi) CBP, serta tidak teraturnya penyimpanan CBP di gudang Perum Bulog.

Kemudian pada tahap penyaluran dan pelepasan CBP, Ombudsman menemukan empat temuan yaitu tidak efektifnya implementasi kebijakan harga eceran terendah (HET), tidak adanya captive market dalam penyaluran CBP, tidak ditindaklanjutinya permohonan pelepasan CBP dan tidak efektifnya penyelesaian penggantian disposal stock.

Memperbaiki rantai pasokan yakni distribusi merata dan memaksimalkan lahan yang sudah tersedia adalah hal penting yang harus ditempuh. Bukan malah menempuh solusi pragmatis dengan operasi pasar atau bantuan pangan bagi keluarga miskin semata, yang justru penerimaanya tidak merata dan menyentuh seluruh lapisan masyarakat serta memicu konflik di tengah-tengah masyarakat.

Kemudian optimalisasi produksi, yakni mengoptimalkan seluruh potensi lahan harus serius di lakukan guna menghasilkan bahan pangan pokok. Di sinilah peran berbagai aplikasi sains dan teknologi, mulai dari mencari lahan yang optimal untuk benih tanaman tertentu, teknik irigasi, pemupukan, penanganan hama hingga pemanenan dan pengolahan pasca panen.

Dan tidak kalah penting adalah manajemen logistik, di mana masalah pangan beserta yang menyertainya (irigasi, pupuk, anti hama) sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah yaitu dengan memperbanyak cadangan saat produksi berlimpah dan mendistribusikannya secara selektif pada saat ketersediaan mulai berkurang. Di sini teknologi pasca panen menjadi penting.

Kemudian yang tidak kalah penting adalah prediksi iklim, yaitu analisis kemungkinan terjadinya perubahan iklim dan cuaca ekstrim dengan mempelajari fenomena alam seperti curah hujan, kelembaban udara, penguapan air permukaan serta intesitas sinar matahari yang diterima bumi.

Terakhir, mitigasi bencana kerawanan pangan, yaitu antisipasi terhadap kemungkinan kondisi rawan pangan yang disebabkan oleh perubahan drastis kondisi alam dan lingkungan. Mitigasi ini berikut tuntunan saling berbagi di masyarakat dalam kondisi sulit seperti itu.

Dan faktor-faktor di atas nampaknya tidak menjadi perhatian serius oleh rezim hari ini, pemerintah justru hanya sibuk melegalisasi undang-undang investasi yang justru merugikan banyak pihak terutama masyarakat. Berbeda dengan masa ketika Islam berjaya, di mana para ilmuwan dan para ahli teknologi difasilitasi serta diakui keahliannya dengan sebaik-baiknya. Dan segala macam kemungkinan ancaman-ancaman baik dari dalam dan luar pada daulah Islam dapat teratasi dengan baik.

Kemudian kebutuhan pangan, sandang, dan papan dalam jaminan tanggung jawab negara. Negara selayaknya memberikan jaminan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Apalagi jika terjadi krisis ekonomi pangan, penguasa seharusnya mampu mengatur perekonomian dengan baik terutama dalam hal pangan yang menjadi kebutuhan pokok rakyatnya.

Dan Islam dijadikan satu-satunya standar dalam mengatur kehidupan manusia. Karena pada hakikatnya seorang pemimpin yang telah mengabdikan dirinya untuk negara dan rakyat harus mampu memberikan kesejahteraan untuk semuanya. Begitulah gambaran dalam sistem Islam dalam mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya. Wallahu a'lam bish-shawab.[NFY]


Posting Komentar

0 Komentar