Oleh Febri Ghiyah Baitul Ilmi
(Kontributor Vivisualiterasi Media)
Vivisualiterasi.com-Kini semakin tampak usaha pemerintah dalam memberikan sekat antara politik dan agama. Politik dianggap sebagai sesuatu yang kotor. Agama dianggap sesuatu yang suci, ibadah ritual. Sehingga tidaklah pantas menyatukan antara politik dengan agama. Padahal, jika sebuah kekuasaan yang berharap kebaikan untuk masyarakat, maka diperlukan adanya keterlibatan dengan agama.
Kenyatanya, menjelang pemilu 2024 mendatang, banyak para calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik untuk memperoleh kursi kekuasaan. Seharusnya, pemimpin yang ideal mampu menjadi rahmat bagi seluruh golongan, dan bukan hanya untuk umat Islam. Maka, jika ada calon pemimpin yang menggunakan agama sebagai alat politik, maka tidak boleh dipilih. Sehingga, untuk menentukan calon pemimpin yang perlu diperhatikan adalah rekam jejak calon pemimpin, agar bangsa ini memperoleh pemimpin yang amanah dan bertanggung jawab untuk kemajuan Indonesia. Demikian ungkapan Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas. (kompas.com, 4/9/2023)
Pernyataan Menag tersebut sangat jelas terkait larangan menghubungkan antara politik dengan agama. Menurutnya, ketika agama dan politik dihubungkan maka akan menyebabkan perpecahan di antara umat yang ada di negeri ini. Maka, pendapat menag dapat diartikan bahwa agama adalah penyebab perpecahan.
Pendapat tersebut sangat berbahaya untuk umat. Sebab pendapat menyesatkan tersebut dapat mendorong umat untuk berfikir tidak perlu menggunakan agama dalam sebuah pemerintahan. Namun di sisi lain, sebagian umat tidak terpengaruh terhadap pendapat menag, dan tetap menjadikan agama sebagai landasan dalam pemerintahan. Oleh karena itu, pendapat menag-lah yang sebenarnya dapat menyebabkan perpecahan di antara umat.
Racun Kapitalisme
Munculnya perpecahan di antara umat adalah dampak diterapkanya sistem kapitalisme. Sistem kapitalisme memiliki asas sekuler, yaitu memisahkan agama dengan kehidupan. Di mana agama menjadi urusan pribadi seseorang, sedangkan politik mengurusi masalah kekuasaan. Olehnya, di dalam sistem kapitalisme, politik tidak dapat melibatkan agama.
Di dalam kacamata sistem kapitalisme, politik hanya identik dengan kekuasaan semata. Kemudian, cara yang digunakan untuk mendapatkan kekuasaan tersebut calon pemimpin harus memiliki modal yang besar, tanpa mempertimbangkan aspek agama. Sistem yang terpancar dari kapitalisme adalah sistem demokrasi yang katanya dari, oleh, dan untuk rakyat.
Sistem demokrasi saat ini menjadi sistem yang paten dan tidak dapat diubah. Jadi, jika muncul berbagai macam masalah, yang harus diperbaiki adalah individunya. Padahal kenyataanya meskipun pemerintah berusaha untuk memperbaiki individu tanpa pemperhatikan sistem yang ada, akan menjadikan usaha tersebut sia-sia. Sebab, yang menjadi pokok permasalahanya adalah sistem yang tidak melibatkan aspek agama.
Sistem demokrasi akan memancarkan aturan-aturan guna mengatur masyarakat. Aturan tersebut dibuat tidak berdasarkan asas agama. Namun, dibuat oleh orang-orang yang berkuasa membuat aturan. Bahkan, ada juga aturan titipan dari pemilik kepentingan. Sehingga, aturan-aturan yang ada tidak berpihak pada rakyat, melainkan pada segelintir orang. Walhasil, rayatlah yang menjadi korban dari aturan buatan manusia.
Hubungan Agama dan Politik
Di dalam Islam Allah Swt. mengatur segala urusan manusia. Di antaranya yaitu mengatur hubungan antara manusia dengan Allah Swt., mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan mengatur hubungan manusia dengan manusia lain yang berkaitan dengan politik dan kekuasaan. Di dalam Islam politik diartikan sebagai pengurusan umat. Maka, semua yang berkaitan dengan umat disebut politik, seperti pemerintahan, kesehatan, pendidikan, dll. Sehingga, agama dan politik di dalam Islam tak bisa dipisahkan.
Pengurusan umat di dalam sistem Islam hanya dapat dilaksanakan dengan adanya peran negara. Sebab, yang memegang kendali umat secara penuh adalah negara. Sebagaimana Abu Hamid Al-Ghazali berkata, "Agama itu bagaikan pondasi, sementara kekuasaan (imamah/khilafah) itu merupakan penjaga. Sesuatu (bangunan yang tidak ada pondasinya, pastilah roboh, sementara sesuatu (bangunan dan pondasi) yabg tidak ada penjaganya, pasti akan hilang."
Di dalam sistem Islam agama digunakan sebagai landasan dalam menata, mengatur, melindungi, mengadili umat, dll. Maka, segala sesuatunya akan sesuai tuntunan Islam. Sehingga, tidak akan ada masalah yang tidak tepat solusinya, sebab aturan dan solusi di dalam Islam sesuai dengan perintah atau larangan Allah Swt.
Pejabat di dalam Islam benar-benar mengurusi urusan umat dengan mencerdaskan dan memberikan informasi yang benar kepada umat. Bukan justru memberikan stetmen yang menyesatkan umat. Sebab, pejabat paham tanggungjawab seluruh umat akan ditagih oleh Allah Swt. di akhirat kelak. Sebagaimana, sabda Rasulullah saw. "Kepala negara (imam/khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan dia bertanggung jawab atas yang dia urus." (HR. Bukhari)
Wallahu a'lam bish-shawab.[NFY]


0 Komentar