Vivisualiterasi.com- Thrifting belakangan ini begitu ramai diberitakan oleh media. Padahal bukan fenomena baru di negeri ini. Menurut OCBC definisi thrifting adalah aktivitas membeli atau mencari barang bekas untuk dipakai kembali yang menjadi solusi untuk mendapatkan barang. Bahkan barang branded dengan harga murah. Barang-barang bekas ini diimpor masuk ke Indonesia dari berbagai negara dan terbanyak dari negara maju. Pelarangan thrifting ini tentu karena alasan kesehatan dan juga mengancam produksi dalam negeri. Bahkan thrifting ini menarik perhatian Presiden Joko Widodo hingga mengeluarkan larangan terkait hal tersebut.
Dikutip dari republika.co.id (19/03/2023) Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) geram dengan maraknya impor pakaian bekas atau thrifting. Menurutnya, hal tersebut mengganggu industri tekstil dalam negeri.
Aturan perundangan yang melarang impor pada barang bekas seperti karung, kantong, dan pakaian bekas. Hal tersebut tertuang dalam Permendag Nomor 40 Tahun 2022. Aturan tadi menjadi landasan pelarangan tegas thrifting hingga jajaran Polri berkomitmen untuk siap menindak siapapun yang terlibat, sebagaimana yang dikatakan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. (republika.co.id, 19/03/2023)
Namun benarkah hal ini dilakukan untuk melindungi industri dalam negeri atau ada kepentingan oligarki?
Kontradiktif Pelarangan Thrifting
Reaksi pemerintah memicu presiden untuk melarang thrifting. Reaksi tersebut mengandung dua arti. Pertama, pemerintah serius mengembangkan industri tekstil dalam negeri. Kedua, pemerintah mengakomodir keluhan importir kain yang mempersoalkan beberapa perusahaan yang selama ini sudah terlalu monopolistik.
Namun pertanyaannya, mengapa pemerintah baru mengeluarkan larangan terkait thrifting ini setelah sekian lama dengan dalih akan menganggu industri tekstil dalam negeri? Sementara pelarangan ini di keluarkan setelah industri tekstil dalam negeri kita mati. Sehingga pelarangan thrifting ini kontradiktif antara pemerintah yang ingin melindungi industri dalam negeri yang terancam _thrifting_ hingga tak mampu bersaing dan berkembang dengan adanya kepentingan oligarki serta para importir. Sebab kebijakan pelarangan ini bak setengah hati, karena yang dilakukan oleh pemerintah hanya melarang impor thrifting ilegal. Artinya, tak memberikan sumbangan pada bea cukai. Selain itu, pemerintah jika memang serius dalam melindungi industri dalam negeri maka harus memiliki arah kebijakan dan perlindungan industri. Misalnya menghidupkan industri bahan baku dalam negeri serta mendukung kelembagaan, modal, dan pemasarannya.
Gambaran di atas menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam menangani masalah. Hal tersebut tampak nyata pencitraan dan pembelaan pada para pengusaha.
Thrifting dan Tuntutan Gaya Hidup
Menurut Direktur Institut Muslimah Negarawan, Dr. Fika Komara mengatakan "di negara maju dengan tingkat produksi tinggi semua harus serba baru. Sehingga barang bekas harus "dibuang", thrifting ini hadir bukan hanya karena impor dan lahir dari turunan sistem kapitalisme yang membentuk dan melahirkan perilaku konsumerisme hedonisme. Alhasil, permintaan atas thrifting ini menjadi tinggi.
Konsumen terbanyak thrifting ini menyasar para generasi milenial dan gen z yang ingin bergaya mendapatkan produk bagus hingga branded dengan harga miring. Mereka tak mau ambil pusing soal dampak yang ditimbulkan dari thrifting ini, termasuk dampak kesehatan.
Thrifting ini yang dilakukan generasi muda tersebut demi menunjukkan eksistensi dirinya (flexing). Banyak yang mengandalkan thrifting sebagai pilihan untuk memamerkan diri dalam berbusana. Hal ini merupakan salah satu tuntutan gaya hidup masyarakat sekuler saat ini yang cenderung materialistis. Bagi mereka, standar kebahagiaan adalah harta dan memiliki barang mewah.
Perasaan insecure karena kemampuan finansial yang dimiliki tak mendukung, menjadikan thrifting budaya pada generasi muda untuk tampil mewah dengan harga murah.
Thrifting dan Solusi Islam
Masalah thrifting ini bukanlah persoalan biasa, namun sudah mencakup masalah multidimensi. Negara tak hanya kebanjiran impor thrifting tetapi juga persoalan gaya hidup baik dilevel individu dan permasalahan ekonomi. Perdagangan bebas yang berakibat menimbulkan kesenjangan yang makin dalam sehingga tingkat kemiskinan masyarakat dan kesulitan memenuhi kebutuhan. Semua problematika ini terjadi sebab akar persoalan ideologis yang sering menawarkan solusi yang bersifat apatis sehingga muncul masalah dilematis dalam kehidupan sistem kapitalis.
Persoalan ini harus diselesaikan dengan sistematis, tetapi tidak dengan ideologi kapitalis. Islam yang ditetapkan dalam institusi negara yang mengeluarkan regulasi untuk menyelesaikan masalah hingga akarnya. Sehingga bukan kebijakan setengah hati yang dijalankan.
Islam dengan institusi negara yang berlandaskan pada Al-Qur'an dan Sunnah yang dibangun atas ketakwaan kepada Allah, maka seorang khalifah akan serius mengeluarkan regulasi dalam rangka kepengurusan dan peri'ayahan ummat. Sebagaimana Rasulullah saw. bersabda:
"Sesungguhnya seorang imam (kepala negara) laksana perisai rakyat dibelakangnha dan menjadi pelindung rakyat."(HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam sistem Islam yang memiliki sistem ekonomi khas akan menjamin pemenuhan kebutuhan pokok individu seperti sandang, pangan, papan, dan juga kebutuhan lainnya. Seperti jaminan kesehatan, pendidikan, dan juga keamanan. Yang diatur dengan mekanisme dan bertanggung jawab langsung oleh negara. Sehingga dalam realisasinya, negara menerapkan mekanisme yang menjaga dan menjamin pemenuhan kebutuhan individu dengan beberapa langkah.
Pertama, mekanisme secara tidak langsung yakni negara mendorong individu untuk bekerja mencukupi kebutuhan dirinya terlebih para laki-laki yang bertanggung jawab pada keluarganya. Maka dalam hal ini, negara juga menyiapkan lapangan kerja bagi masyarakat guna memperoleh pemenuhan kebutuhannya.
Kedua, jika individu belum dan tidak mampu memenuhi kebutuhan pokoknya maka negara yang bertanggung jawab langsung kebutuhan pokok individu melalui:
1. Mewajibkan ahli waris dan kerabat yang mampu untuk memberikan nafkah pada yang tidak mampu.
2. Jika tidak ada atau kerabatnya tidak mampu, maka nafkah atasnya menjadi tanggung jawab negara melalui dana baitul mal lewat pos kepemilikan fai dan kharaj bukan atas pajak yang dibebankan kembali pada masyarakat.
Hal ini menjadi jaminan pemenuhan kebutuhan kepada seluruh masyarakat. Sehingga tidak ada individu dalam negara yang kesulitan mencukupi kebutuhan.
Ketiga, Islam dengan sistem khasnya dibangun atas ketakwaan demi memperoleh rida Allah. Kemudian dijaga oleh negara dan menjadi standar baku dalam masyarakat. Maka masyarakat dalam sistem Islam tidak akan ada yang memiliki. Pemikiran materialistis, di mana standar kebahagiaannya adalah materi hingga akhirnya memilih hidup dengan flexing. Namun masyarakat pada sistem Islam yang memiliki kesadaran akan tujuan dari kehidupan dan konsekuensi dari penghambaan Maka individu dalam masyarakat begitu memahami dan terfokuskan diri mereka untuk mencari rida Allah sebagai standar bahagia mereka.
Alhasil, generasi muda mereka terpacu untuk meningkatkan kualitas diri hingga mengejar dan berlomba memberi sumbangsih untuk Islam. Demikianlah sistem sahih yang harusnya diterapkan oleh kita umat hari ini. Thrifting dan flexing serta masalah turunan yang akan terus terjadi. Problem pelik yang tak kunjung usai mestinya menyadarkan kita untuk menerapkan syariat Islam secara kafah dalam naungan khilafah. Wallahu'alam.[Irw]
0 Komentar