Oleh Hany Handayani, S. P.
(Aktivis Muslimah)
Vivisualiterasi.com - Suatu kewajaran jika seorang manusia ingin menunjukkan eksistensinya di kancah sosial. Hal itu terwujud akibat naluri baqo yang sudah Allah atur agar dimiliki oleh setiap manusia. Fenomena pamer, ingin dihargai, ingin dipuji berkat usaha kerasnya, dan lain sebagainya merupakan salah satu bentuk dari naluri tersebut. Makin penting kedudukan seseorang di masyarakat, maka makin tinggilah keinginan untuk show up. Naluri ini memang butuh penyaluran agar dapat meraih kesenangan dan kebahagiaan.
Jika dulu akses media hanya diperuntukkan bagi kalangan artis maupun politikus saja, namun tidak untuk saat ini. Dunia digital kini dengan mudah diakses oleh seluruh kalangan, baik ditinjau dari sisi usia maupun kondisi sosial masyarakatnya. Maka makin mudahlah seseorang untuk bisa menyalurkan naluri baqo. Penyaluran tersebut bisa dalam bentuk balutan edukasi maupun hanya sekadar menunjukan aktivitas sehari-hari. Makin ke sini nyatanya banyak varian istilah pamer, salah satunya adalah flexing. Flexing merupakan tindakan pamer sesuatu yang dimiliki maupun diraih seseorang namun dengan cara yang dianggap oleh orang lain tidak menyenangkan. Istilah ini biasa digunakan di sosial media yang banyak menghimpun beragam kalangan masyarakat.
Maraknya anak serta istri pejabat, baik pengusaha maupun artis yang melakukan tindakan flexing, menunjukkan bahwa hal ini sudah menjadi budaya. Pamer harta berupa makanan enak, pakaian branded, perjalanan mahal ke luar negeri, kendaraan terbaru, serta rumah mewah di tengah himpitan masyarakat yang menjerit akibat penerapan sistem ekonomi kapitalis menjadi hal yang miris. Sedihnya lagi, mereka melakukan itu semua saat masih ada di belahan negeri yang masyarakatnya stunting.
Betul bahwa manusia memiliki naluri baqo yang perlu disalurkan. Namun, bukan berarti manusia bebas melakukan aksi pamer seperti budaya saat ini. Budaya flexing hadir ke tengah umat sebab pandangan matrealistis serta gaya hidup mewah yang serba di ukur dengan uang dan harta. Akhirnya muncul sikap insecure atau tidak percaya diri. Ditambah lagi sifat individualistis yang mengakar hingga menimbulkan sikap tidak peduli dengan orang lain.
Turunnya empati masyarakat mengakibatkan mereka bebas pamer di tengah kondisi sosial dan ekonomi yang sedang tidak sehat seperti sekarang ini. Bagaimana bisa ada manusia yang pamer kekayaan di kala saudaranya sendiri mengalami stunting akibat akses ekonomi yang sulit. Makin tinggi kesenjangan sosial, akhirnya banyak menimbulkan beragam masalah di tengah masyarakat.
Fenomena stunting yang masih sulit diatasi saat ini bukan karena tidak ada usaha dari pemerintah. Pemerintah sepertinya lupa bahwa persoalan stunting bukan perkara kasuistik melainkan sistemik. Maka penyelesaian stunting perlu solusi sistemik. Bukan malah solusi yang tak solutif seperti anjuran pemerintah untuk gemar mengkonsumsi ikan. Gerakan gemar konsumsi ikan ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia (Menko PMK) Muhadjir Effendy. Menurutnya, pemerintah daerah perlu terus menggencarkan kampanye untuk mengajak masyarakat gemar makan ikan guna mencegah dan menurunkan prevalensi stunting. (tirto.id, 12/03/2023)
Masyarakat Indonesia bukan tak gemar makan ikan, melainkan akses terhadap bahan konsumsi ikan ini yang sulit. Bagaimana kalangan ekonomi ke bawah bisa membeli ikan yang notabene harganya tinggi, sedangkan daya beli mereka rendah. Indonesia memang negara bahari yang kaya akan hasil laut, namun faktanya tidak secara otomatis mereka mudah memperoleh sumber daya alam laut.
Hal tersebut dikarenakan pengelolaan sumber daya alam saat ini berdasarkan sistem kapitalis yang lebih menguntungkan asing ketimbang masyarakatnya sendiri. Hasil laut yang melimpah berupa ikan segar, cumi, kepiting, lobster, udang, teri, dan sejenisnya lebih diutamakan dijual ke luar negeri lantaran harga tinggi. Kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada pemilik modal juga turut menambah derita masyarakat lemah sehingga sulit mengaksesnya.
Budaya flexing maupun kasus stunting merupakan bukti kegagalan sistem kepitalisme dalam mewujudkan kebahagian dan kemakmuran. Maka tak heran jika budaya ini merebak di tengah kasus stunting pada negeri yang menerapkan sistem kapitalis. Sebab keduanya merupakan dampak dari diterapkannya sistem yang mendewakan materi.
Tampak jelas bahwa budaya flexing bukan berasal dari Islam. Begitu pula stunting, sebab dalam Islam mengatur bagaimana caranya agar sumber daya alam bisa terdistribusi secara merata ke seluruh kalangan. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah dalam Islam pun secara langsung mengutamakan kepentingan kaum muslim, bukan memihak pada segelintir orang lantaran alasan tertentu.
Islam memandang bahwa kekayaan secara materi memang bukanlah sumber kebahagiaan. Namun, tercukupinya kebutuhan hidup manusia baik pangan, sandang, serta papan secara tidak langsung akan membawa kebahagiaan. Oleh sebab itu, penting bagi kaum muslim untuk bisa mengelola sumber daya alam yang sudah Allah sediakan di bumi ini dengan pengelolaan yang benar. Yakni pengelolaan berdasarkan syariat Islam. Ketika kaum muslim mampu melaksanakannya maka kebahagiaan hakiki pun akan lahir. Sebab sumber kebahagiaan bagi kaum muslim tak lain adalah ketaatan serta ketakwaan kepada Allah dan Rasulullah. Bahagianya kaum muslimin adalah ketika mampu meraih rida Allah Swt. Sebagaimana firman Allah berikut:
"Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan dengan sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tentram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat..." (QS. An Nahl: 112)
Wallahua'lam. [Mly]
0 Komentar