Subscribe Us

RESESI GLOBAL MENGANCAM MASA DEPAN PEKERJA, APA SOLUSINYA?

Oleh:Uqie Nai
(Member AMK4)

Vivisualiterasi.com- Presiden Jokowi beserta pejabat pemerintah berulang kali mengingatkan bahwa ekonomi global terancam gelap pada 2023. Jika gejolak resesi dunia tidak bisa diatasi, akan berdampak pada ekonomi Indonesia dan menyasar pada krisis pangan, krisis energi serta krisis keuangan.

Resesi global yang dipicu oleh pandemi Covid-19 ini telah mengintai moneter dunia, terlebih adanya perang antara Rusia dan Ukraina akan memperparah krisis negara yang bergantung pada hasil produk kedua negara tersebut. Yang paling merasakan dampaknya bukan hanya negara importir, para produsen, tapi juga  para pekerja dan buruh kecil yang bergantung pada belas kasih pengusaha. Gaji yang tak seberapa harus mereka kerat-kerat demi terpenuhinya kebutuhan keluarga di saat harga bahan pokok melambung dan ancaman PHK massal. Bisa dibayangkan, rakyat miskin dan kelaparan akan terus bertambah.

Salah satu industri yang diprediksi terkena imbas resesi adalah industri tekstil. Industri lokal yang banyak menawarkan produknya ke luar negeri terutama negara yang menjadi target ekspor seperti Amerika dan Eropa ternyata terdampak resesi global. Maka, tak dipungkiri akses ekspor akan tersendat, market jadi mengecil, hingga terjadi penundaan order. Lalu apa yang terjadi di dalam negeri? Pengusaha menghentikan produksinya, merumahkan karyawannya atau memutus hubungan kerja (PHK).
Menurut Sekretaris Jenderal Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Rizal Tanzil Rakhman, ada sekitar 30 ribuan pekerja tekstil yang akan dirumahkan karena industri tekstil merasakan dampak resesi di tingkat global. Angka tersebut adalah data yang terangkum dari anggota API, belum termasuk dari perusahaan yang bukan anggota API ataupun karena kondisi tidak memutakhirkan datanya pada asosiasi. (Kbr.id/nasional, Senin, 31/10/2022)

Bisakah Negara Menjaga Warganya dari Resesi?

Apa yang disampaikan pemerintah tentang ancaman resesi global, berpeluang menimbulkan keresahan atas ketiadaan jaminan hidup masyarakat di masa depan. Tak heran jika tanggal 12 Oktober lalu kaum buruh melakukan demonstasi besar-besaran menuntut kenaikan upah sebesar 13 persen dan menolak PHK.

Tuntutan tersebut tentunya akan sulit dipenuhi pihak perusahaan jika negara tidak ikut andil membenahi apa yang menjadi tanggung jawabnya terhadap rakyat secara umum, misalnya dengan memberikan hak dasar mereka baik sandang, pangan, papan, atau kebutuhan kolektifnya seperti pendidikan dan kesehatan gratis juga terciptanya rasa aman. Untuk para pengusaha, negara bisa memberikan iklim pasar yang kondusif, persaingan sehat, bahan baku mudah, distribusi lancar, dan pajak sangat ringan.

Bila tanggung jawab negara terwujud secara optimal dan dirasakan secara riil oleh publik, maka hubungan pengusaha dengan pekerja hanya terbatas pada akad kerja (kontrak) di antara keduanya. Pekerja tak akan menuntut haknya di luar kesepatan, pengusaha pun tak mudah mem-PHK karyawannya tanpa alasan jelas.

Kasus demonstrasi yang dilakukan kaum buruh selama ini, disebabkan ketidakpahaman mereka terhadap pangkal masalah sebenarnya. Mereka hanya tahu keberlangsungan hidup mereka tergantung dari upah, yang itu berasal dari pemilik usaha. Padahal, masalah sebenarnya terletak pada sistem, yakni kapitalisme.

Sejak kapitalisme dengan demokrasi sebagai turunannya diadopsi, perekonomian negeri ini dikendalikan oleh para pemilik modal dengan aturan liberalnya seperti  UU Ciptaker atau Omnibus Law. Negara tidak diperkenankan turut campur atas kegiatan mereka selain sebagai regulator dan fasilitator saja. Maka, bukan hal yang aneh ketika sumber daya alam yang harusnya dikelola oleh negara dan hasilnya diperuntukkan sebesar-besarnya untuk rakyat (sebagaimana UUD 1945 pasal 33) kini dikuasai pihak swasta dan asing. 
Kapitalisme pula yang mengerdilkan bahkan meminimalisir peran negara sebagai pelayan dan pelindung umat. Semboyan demokrasi: "dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat" seakan tak berefek apapun selain hanya bertuah di saat Pilpres dan Pilkada, bahkan tidak berbuah kesejahteraan ketika kebijakan dikeluarkan. Karena faktanya, setiap kali negara mengeluarkan satu kebijakan, yang diuntungkan adalah para kapital, sementara rakyat "dipaksa" mengatasi kesulitannya sendiri. Alhasil, ketika buruh resah dengan kesulitan hidup yang mencekiknya ditambah  ancaman dari resesi global, yang dilakukan adalah demo. Aksi ini pun tak jauh dari kritisi kebijakan, tuntutan upah, tunjangan, dan tolak PHK. Bukan aksi mengritisi sistem yang menjadi akar penyebabnya.

Dengan dibiarkannya kapitalisme tetap eksis, padahal jelas sebagai biang kekacauan ekonomi dan resesi, maka permasalahan buruh dan nasib masyarakat tak akan pernah berubah. Dan memungkinkan kian memburuk saat resesi global 2023 benar-benar terjadi. Negara yang menganut sistem ini, bisa pasrah atau mengalah pada negara yang masih bertahan.

Kembali pada Ekonomi Sahih, Islam Anti Resesi

Menurut sistem ekonomi Islam, memburuknya  perekonomian  negara (resesi) dilatarbelakangi oleh: 1) keburukan pelaku ekonomi, seperti curang, menipu, serakah, hedonis, judi (spekulasi), menimbun, dan monopoli. 2) faktor eksternal/eksogen, semisal bencana alam, wabah menular, sistem moneter internasional. 3) Adanya tata kelola yang buruk, terutama di lembaga administrasi dan pelayanan publik, hingga rentan tindak korupsi. 4) Sistem moneter berbasis riba.

Keempat hal tersebut menjadi fakta yang tak terbantahkan saat ini, yakni terjadi demikian benderang karena ulah sistem ekonomi kspitalisme. Bagaimana Islam memberikan solusi?

Untuk poin pertama, yang dilakukan adalah merubah pola pikir dan pola sikap pelaku ekonomi dengan mindset Islam. Terutama akidahnya. Akidah yang kuat akan menjadi landasan ia berpikir dan bertindak, bahwa Allah dan rasulNya melarang kegiatan yang bisa merugikan dirinya dan orang lain. Sebab, Islam melarang praktik curang, gharar, serakah, judi, dll. Sebagaimana salah satu firman-Nya:

يايهاالذين امنوا لاتأكلوا اموالكم بينكم بالباطل  

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memakan harta sesama kalian dengan jalan yang batil." (QS. An-Nisa: 29)

Terkait faktor eksogen, Islam membebankan tanggung jawab ini kepada penguasa (negara). Negara akan mengerahkan segala potensi yang dimiliki, seperti APBN dan APBD yang berasal dari berbagai sumber (pos pendapatan negara, kepemilikan umum, serta pos zakat). Jika berkaitan dengan wabah menular, negara tak segan mengerahkan para tenaga ahli untuk mencari obat penangkal virus. Untuk para korban, negara akan mengevakuasi ke tempat aman, memberi pelayanan kesehatan maksimal hingga sembuh, mengisolir tempat timbulnya wabah, atau jika perlu dilakukan lockdown. 
Adapun poin ketiga, tak jauh berbeda dengan poin pertama ditambah sanksi yang diberlakukan negara. Seorang pemimpin dalam negara Islam, senantiasa menasehati pejabatnya agar bekerja sesuai aturan syarak dalam melayani publik. Siapa saja yang melanggar dan bahkan merampas hak publik, ia akan menerima sanksi tegas berupa ta'zir. Bisa hukuman penjara atau hukuman mati bergantung seberapa besar  kecurangan yang dilakukannya.

Dan yang terakhir adalah menghapus sistem moneter berbasis riba (bunga) dengan sistem berbasis syariah yakni menjadikan  dinar-dirham sebagai mata uang dan alat tukar. Mata uang ini relatif stabil dan bisa berlaku sepanjang masa. Di samping itu karena mata uang ini memiliki nilai intrinsik sendiri, sehingga tidak menimbulkan inflasi yang besar sebagaimana uang kertas pada masa sekarang. Hal inilah yang dipraktikkan masa Rasulullah saw. dan para khalifah setelahnya. Wallahu'alam.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar