Subscribe Us

PELARANGAN EKSPOR CPO, AKANKAH JADI SOLUSI PERSOALAN MINYAK GORENG?

Oleh Irianti Aminatun
(Litbang Lingkar Studi Islam Strategis)


Vivisualiterasi.com-Kebijakan pemerintah melarang ekspor crude palm oil (CPO) dan turunannya mulai 28 April 2022 diharapkan mampu mengembalikan harga minyak goreng ke harga normal. Tapi benarkah larangan ekspor ini akan menuntaskan peyelesaian masalah harga minyak goreng atau sekedar ‘kosmetik’ untuk meredam gejolak masyarakat?

Pasalnya, beberapa bulan lalu pemerintah sudah mencoba menstabilkan harga minyak goreng melalui penetapan harga eceran tertinggi (HET). Yang terjadi justru minyak langka di pasaran dan menimbulkan penderitaan masyarakat. Bahkan ada yang meninggal karena kelelahan mengantri minyak goreng dengan harga murah.

Kebijakan DMO (Domestic Market Obligation) dan DPO (Domestic Price Obligation) yang ditujukan untuk memberikan jaminan stok bahan baku minyak goreng di dalam negeri juga bukan tanpa masalah. Kebijakan yang diharapkan agar harga minyak goreng lebih terjangkau oleh masyarakat luas, dalam implementasinya justru disalahartikan oleh para eksportir yang membuat resah petani sawit pada saat itu.

Kebijakan itu meski tujuannya baik tapi tidak menyelesaikan masalah, karena tidak menyentuh akar permasalahannya.

Akar permasalahan sebenarnya terletak pada pemerintah tidak mengatur bagaimana mulai produksi hingga distribusi minyak goreng yang berorientasi pada pelayanan dan pemenuhan kebutuhan masyarakat. Dalam arti masyarakat mudah mendapatkan minyak goreng dengan harga terjangkau.

Fakta di lapangan menunjukkan bahwa produksi dan distribusi minyak goreng diserahkan pada swasta. Data berbicara, sekitar 4 pengusaha swasta menguasai pasar (kartel) minyak goreng sekitar 46%.

Artinya ada pembiaran dari pemerintah bahwa pengelolaan minyak goreng mulai dari produksi hingga distribusi kepada swasta. Tak heran kalau swasta mendominasi pengaturan harga di pasar sehingga pemerintah seperti tidak berdaya.

Kalaulah pemerintah melarang ekspor CPO, tapi produksi CPO ada dua. Satu untuk biodisel kedua untuk minyak goreng. Pengusaha lebih memilih mengalokasikan produk CPO nya ke biodisel lebih besar ketimbang alokasi untuk minyak goreng, karena  alokasi ke biodisel mendapat insentif dari pemerintah. Ini juga akan menyebabkan kelangkaan minyak goreng.

Persoalan minyak goreng sudah menyangkut masalah struktural. Mengacu pada fakta bahwa 4 pengusaha minyak goreng  mampu melakukan penguasaan atau dominasi pasar 46 %, ini menunjukan telah terjadi kartel.

Artinya, persoalan yang harus diselesaikan adalah persoalan struktural bukan sekedar ‘kosmetik’. Harus dirombak sehingga ada kondisi baru yang prinsipnya pemerintah harus mengambil tanggung jawab minyak goreng dan kebutuhan pokok lainnya mulai sejak awal produksi hingga distribusi. Tidak boleh diserahkan pada swasta. Dengan prinsip itu, swasta ada dalam kendali pemerintah.

Prinsip seperti inilah yang diajarkan Islam. Dalam Islam, pemerintah atau pemimpin itu penanggung jawab. Dialah yang mengurus, mengatur, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang diurusnya.

Tugas utama negara adalah mengurusi dan melayani rakyat, bukan menjadikan rakyat sebagai mitra dagang. Hubungan yang harus dibangun adalah hubungan pelayanan dan meringankan beban rakyat bukan pertimbangan untung rugi. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah saw. Imam atau pemimpin adalah pelayan rakyat dan ia bertanggungjawab atas pengurusan rakyatnya.

Ini berbeda dengan cara pandang yang sekarang sedang berjalan yang menggunakan cara pandang kapitalisme sekuler yang memosisikan pemerintah hanya sebagai regulator, lepas tanggung jawab pelayanan dan justru berbisnis dengan rakyat.

Kalau paradigma sudah diubah maka di tingkat pelaksanaan, siapapun yang melakukan proses industrialisasi mulai dari aspek produksi hingga aspek distribusi, semua dalam kontrol pemerintah.

Sehingga seberapa besar pun kebutuhan rakyat terhadap minyak goreng akan bisa dipenuhi oleh negara dengan harga murah karena diproduksi sendiri oleh negara. Sisa produksinya bisa di ekspor dengan harga mengikuti harga pasar internasional, sehingga mendapatkan keuntungan besar yang bisa digunakan untuk melayani kebutuhan rakyat lainnya seperti pendidikan dan kesehatan.

Jangan lupa, Indonesia adalah penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Jika paradigma Islam diterapkan akan menjadi sumber keberlimpahan minyak goreng  untuk memenuhi kebutuhan rakyat, bukan menjadi ironi seperti hari ini. Wallahu a'lam bish-shawab.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar