Subscribe Us

HIDUP MISKIN DI NEGERI KAYA SDA

Oleh Andi Sriwahyuni, S. Pd.
(Pemerhati Sosial)


Vivisualiterasi.com-Tak ada yang bisa menyangkal bahwa Indonesia merupakan negeri yang kaya akan Sumber Daya Alam (SDA). Dengan letaknya yang strategis, negeri ini memiliki berbagai sumber daya baik yang berasal dari makhluk hidup maupun hasil tambang. Namun, kekayaan yang melimpah ini tidak pernah membuat semua rakyatnya juga ikut sejahtera bahkan mengalami kelaparan akibat kemiskinan yang meningkat setiap tahunnya.

Anggota DPR RI Komisi IV, Andi Akmal Pasluddin menyayangkan sikap pemerintah yang tidak mampu memegang kendali akan harga pasar. Ada sekitar 115 juta kelas menengah dan ratusan juta rakyat menengah kebawah yang terguncang dengan persoalan kenaikan harga pangan dan energi. Hal ini diduga telah meningkatkan angka kemiskinan di negeri ini. Beliau kemudian mengatakan bahwa komoditas strategis seperti pangan dan energi tidak seharusnya dikuasai oleh swasta melainkan pemerintah mesti berperan sebagai price leader. (Media Indonesia, 4/4/2022)

Di saat berbagai harga barang naik massal, tak ayal inflasi pun berpotensi melonjak. Direktur Eksekutif Core Indonesia, Muhammad Faisal memprediksi inflasi RI bakal melonjak di level 5 persen, jauh lebih tinggi dari prediksi pemerintah. lonjakan tersebut ia proyeksi terjadi jika pemerintah jadi menaikkan harga bensin pertalite dan gas LPG 3 kg. (CNN, 20/4/2022)

Kenaikan harga pangan akibat permintaan yang meningkat adalah hal yang wajar dalam sistem kapitalisme. walaupun telah dilakukan antisipasi namun faktanya, tetap saja tidak semua harga pangan harganya bisa stabil. Terlebih dalam situasi sekarang ini, akibat dampak pandemi dan pengaruh global membuat rakyat semakin menjerit. 

Para wakil rakyat terus melakukan upaya agar harga tetap stabil. Salah satu langkah yang diambil adalah dengan melakukan impor. Namun tentu saja, dampak dari tidak adanya batasan impor bisa menimbulkan berbagai problem di antaranya ketergantungan dengan negara lain, menghambat pertumbuhan industri dalam negeri, masyarakat semakin konsumtif, dan pertumbuhan ekonomi dalam negeri semakin rendah. Sehingga, impor tidak bisa dijadikan alternatif utama untuk membantu menstabilkan harga pangan. Selain impor, operasi pasar dan pemberian subsidi menjadi langkah yang dianggap mampu membantu mengatasi ketidakstabilan harga pangan dan energi. Namun di sisi lain, pemerintah lebih mementingkan kepentingan para korporasi. Para pemilik modal memiliki prinsip "no free lunch". Mereka memiliki andil dalam mengatur mekanisme pasar dengan pertimbangan keuntungan berada di pihak mereka. Sehingga langkah apapun yang diambil, hanya sekadar solusi tambal sulam selama prinsip itu masih berorientasi profit.

Adanya pihak yang mengendalikan perdagangan di pasar merupakan problem yang sangat urgen untuk diselesaikan. Dan ketika ditemukan solusinya, tidak akan ada lagi pihak yang terzalimi. Sehingga keadilan bisa tergapai. Tidak akan ada fakta lagi yang menggambarkan di balik kelompok yang berpenghasilan atau labanya bermiliar-miliar, ada ribuan bahkan jutaan manusia yang terinjak-injak atau mengalami kemiskinan. 

Solusi Islam, Efektifkah? 

Dalam pandangan Islam, ketika negara mengalami permintaan yang tinggi, pemerintah tidak akan mematok harga agar mendapatkan kestabilan. Namun, langkah yang diambil oleh pemimpin atau khalifah adalah dengan memperbanyak supply. Hal ini telah dicontohkan pada masa kepemimpinan Khulafaur Rasyidin yaitu Khalifah Umar bin Khattab.

Pada saat itu, di bawah kepemimpinan Khalifah Umar terjadi paceklik di hijaz. Sehingga kelangkaan pun terjadi dan harga membumbung tinggi. Langkah yang dilakukan adalah meminta supply dari dua wilayah, yakni Mesir dan Syam. Kedua wilayah tersebut berada dalam naungan Daulah Islam. Adapun regulasi terkait dengan distribusi berada dalam kontrol institusi. Sehingga bantuan bisa berjalan dengan lancar tanpa adanya hambatan. 

Hal tersebut jauh berbeda dengan sistem hari ini di mana umat Islam tersekat-sekat dengan ide nation-state. Sehingga daulah Islam tidak lagi memiliki kepemimpinan umum atas negeri-negeri kaum muslim. Umat terpecah belah hingga menjadi 50 negara bagian. Dan ketika akan membutuhkan supply tidak lagi bisa dibantu oleh wilayah yang berada dalam naungan daulah Islam, tapi harus terlibat dalam politik luar negeri. Sedangkan, negara Indonesia yang mayoritas umat Islam adalah negara pengekor, lemah, dan tak memiliki pengaruh di dunia internasional. Maka negara adidaya dan negara-negara besar memiliki kesempatan emas untuk mengeksploitasi kekayaan sumber daya alam di negeri ini. Jadi, mematok harga batas atas (celling price) maupun batas bawah (floor price) bukan solusi hakiki karena hal tersebut tidak akan menyelesaikan konflik justru menimbulkan kezaliman.

Orang-orang berkata: 
"Wahai Rasulullah, harga mulai mahal. patoklah harga untuk kami!" Rasulullah saw. bersabda: "Sesungguhnya Allah-lah yang mematok harga, yang menyempitkan dan yang melapangkan rezeki, dan aku sungguh berharap untuk bertemu Allah dalam kondisi tidak seorang pun dari kalian yang menuntut kepadaku dengan suatu kezaliman pun dalam darah dan harta." (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan asy-Syaukani)

Dengan patokan harga berdasarkan hukum Allah, akan terjadi kestabilan harga di pasar karena bertemunya antara demand dan supply sehingga tercipta posisi equilibrium. Harga akan mengalami titik normal, yakni kesepakatan antara para pedagang dan konsumen. Sehingga terwujudnya mekanisme pasar yang sesuai syariat. Maka kemiskinan akibat inflasi bisa dicegah dengan langkah-langkah khalifah yang menegakkan hukum ekonomi Islam, baik yang terkait produksi, distribusi, perdagangan dan transaksi. 

Dan tentunya tidak akan dilakukan eksploitasi SDA seperti yang dilakukan oleh para kapitalis saat ini terhadap negeri kaum muslim, terkhusus di Indonesia. Inilah pentingnya penerapan sebuah institusi Daulah Islam, yakni institusi yang akan menyejahterakan rakyat atau menjamin terpenuhinya segala kebutuhan pokok (sandang, papan, dan pangan) maupun kebutuhan dasar seperti pendidikan dan kesehatan.

Tak mustahil semuanya akan bisa terpenuhi karena ekonomi Islam memiliki aturan kepemilikan. Pemenuhan kebutuhan pokok akan menjadi tanggung jawab negara dengan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Seorang ayah atau penanggung nafkah dalam keluarga tak perlu khawatir untuk membiayai keluarganya. Dalam hal pendidikan dan kesehatan akan diakses dengan murah bahkan gratis dengan sumber dana dari pengelolaan sumber daya alam milik umum. Tidak ada penguasa yang serupa dengan belalang, memakan hutan nan hijau bahkan tanah kering. Dengan aturan kepemilikan dalam Islam, tidak akan ada pihak yang berkuasa dengan mengikuti nafsu serakahnya dan umat menjadi tumbalnya. 

Olehnya itu, penerapan ekonomi Islam sangat urgen. Namun tidak akan bisa terwujud jika tidak ada kekuasaan. Maka dibutuhkan perjuangan tangguh oleh umat Islam dengan lantang berani membongkar kerusakan sistem kapitalisme dan pengkhianatan penguasa terhadap umat. Dengan demikian, Islam akan bangkit kembali dan akan menjadi agama yang memiliki kekuasaan. Wallahu a'lam bish-shawab.[Irw]

Posting Komentar

0 Komentar