Subscribe Us

DEMOKRASI SUBURKAN KORUPSI

Oleh Jihan
(Pemerhati Masalah Sosial)


Vivisualiterasi.com-Saat ini, korupsi menjadi salah satu permasalahan yang harus dihadapi setiap negara di dunia, tak terkecuali Indonesia.
Di Indonesia ada banyak kasus korupsi yang ditemukan setiap hari, baik itu di tingkat pejabat tinggi maupun daerah.

Menurut Transparency International, Indonesia telah mengeluarkan Indeks Persepsi Korupsi (IPK) pada Selasa, 25 Januari 2022. Pada indeks tersebut, posisi Indonesia berada pada peringkat 96 dari 180 negara dengan tingkat korupsi cukup tinggi. Indonesia menempati posisi ketiga sebagai negara terkorup di Asia dengan skor indeks korupsi mencapai 30%.

Dikutip dari kompas.com, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menilai kasus dugaan suap yang membelit Bupati Bogor (Ade Yasin) adalah contoh kegagalan dalam proses kaderisasi yang dilakukan oleh partai politik.

"Korupsi kepala daerah yang terjadi berulangkali harus membuat parpol membenahi diri. Ini menunjukkan bahwa parpol gagal dalam melakukan fungsi rekrutmen politik dan kaderisasi anggota," kata Egi dalam keterangan pers yang diterima Kompas.com, Kamis (28/4/2022).

Korupsi, Buah Dinasti Demokrasi

Peneliti Transparency International Indonesia (TII) Wawan Heru Suyatmiko menilai, penangkapan Ade Yasin mengingatkan tentang korupsi yang berkaitan dengan dinasti politik di Indonesia. Ia menilai, dinasti politik berkorelasi dengan biaya kontestasi politik sehingga mengarah pada tindakan koruptif. Dinamika pemilihan kepala daerah pasti selalu diwarnai isu relatif sama, salah satunya adalah “mahar politik” kepada partai politik pengusung calon kepala daerah. Hal tersebut bukanlah hal yang baru dalam pemilu di Indonesia, terlebih partai-partai di Indonesia sendiri cukup pragmatis dan berorientasi pada kemenangan calon. Konsekuensinya hitungan-hitungan politik untuk memenangkan calon menjadi hal yang prioritas terutama untuk menyikapi besarnya ongkos politik yang harus dikeluarkan oleh para calon.

Mekanisme pemilihan calon kepala daerah di dalam partai ini yang seringkali sulit diawasi dan belum adanya transparansi karena bersifat internal atau sekadar formalitas belaka. Sehingga hal ini membuka peluang untuk adanya transaksi “jual-beli” antara para elit partai dengan bakal calon yang akan diusung oleh partai tersebut.

Sebagai implikasi dari sistem Pilkada langsung berdasarkan suara mayoritas. Hal ini cukup menjelaskan bahwa ongkos politik dalam sistem demokrasi saat ini begitu mahal. Berdasarkan penelitian FITRA, anggaran yang dikeluarkan dalam Pilkada kabupaten berkisar 5-28 miliar, sedangkan Pilkada provinsi kisaran 60-78 miliar. Nilai yang begitu besar tersebut tidaklah sebanding dengan pendapatan resmi yang akan diterima oleh gubernur. Misalnya, yang hanya memperoleh gaji Rp 8,6 juta/bulan atau total 516 juta selama lima tahun menjabat. Inilah hal-hal yang dapat memicu korupsi dan koalisi (pemufakatan jahat) menjadi cara untuk mengeruk pundi-pundi kesejahteraan rakyat.

Selain itu, politik dinasti akan menghalangi SDM kompeten dan berintegritas menduduki jabatan pemerintahan hanya karena bukan kerabat atau keluarga. Alhasil, pejabat pemerintah diisi oleh sekawanan atau sekeluarga yang berbondong-bondong terlibat dalam pemerintahan salah satu anggota keluarga yang sedang berkuasa.

Kegagalan partai dalam membina kadernya sebagai anggota partai yang bersih, jujur, dan bertanggung jawab tidak terlepas dari paradigma politik demokrasi. Dalam pandangan demokrasi, politik adalah meraih kekuasaan setinggi-tingginya. Dengan sudut pandang ini, siapa pun calon yang diajukan dalam pemilu harus selalu siap citra dan modal.

Pencitraan adalah cara terbaik bagi Parpol untuk memoles para kader agar layak dipilih dan mampu memikat hati rakyat dengan profilnya. Selain itu, modal besar juga menjadi faktor kunci agar mereka bisa memenangkan kontestasi. Tanpa modal besar, mustahil bisa menang. Tanpa membangun citra positif, rakyat tidak mudah memilih. Modal dan citra adalah bekal bagi para kontestan Pemilu. Tidak peduli apakah dia terlibat hubungan keluarga atau mantan narapidana.

Fokus parpol dalam meraih kekuasaan adalah kemenangan. Adapun dalam aspek  rekrutmen kader, Parpol tidak terlalu mementingkan siapa dan bagaimana rekam jejaknya. Asal memiliki kepentingan dan tujuan sama, mereka sudah bisa merekrut para anggotanya. Asas manfaat dan kepentingan inilah yang sejatinya membangun ikatan di antara para anggota Parpol. Tidak heran jika kita kerap melihat fenomena kutu loncat politisi. Ketika tidak sejalan lagi, mereka bisa dengan mudah berpindah kubu.

Politik Sahih Anti Korupsi

Para pemuja demokrasi masih mengira bahwa sistem ini adalah sistem terbaik dan paling ideal dalam menjalankan pemerintahan. Padahal, kecacatan demokrasi sebenarnya tidak bisa ditambal sulam. Dampak kecacatannya bisa kita saksikan hari ini. Budaya korupsi menggurita, kaderisasi yang gagal, politik transaksional hingga oligarki politik menjamur di sistem demokrasi.

Suara rakyat hanya dibutuhkan saat pemilu. Demokrasi yang katanya dari, oleh, dan untuk rakyat sejatinya hanyalah kamuflase. Faktanya, rakyat hanya bisa memilih calon dari kader yang dipilih atau calon independen yang didukung Parpol. Tanpa kendaraan bernama partai politik tidak mungkin seseorang bisa mencalonkan diri dalam Pemilu. Inilah fakta politik demokrasi.

Kasus korupsi politik dinasti Ade Yasin memberi pelajaran penting bahwa sistem politik demokrasi tak akan mampu membentuk kader yang berintegritas dan jujur, sebab lebih banyak menggunakan politik pragmatis. 

Politik yang sahih anti korupsi, dalam perspektif Islam jelas berbeda. Dalam hal politik, sistem Islam tegak di atas enam asas. Yaitu hukum hanya milik Allah Swt., kedaulatan ada di tangan syarak, kekuasaan (al-sulthan), yakni pemerintahan berada di tangan umat, pengangkatan wali/gubernur (penguasa wilayah) dipilih oleh khalifah yang satu untuk seluruh umat Islam. Maka perlu kita lihat dalam sistem politik pemerintahan Islam yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. di madinah munawarah. Pengangkatan wali/gubernur (penguasa wilayah) disebuah wilayah seharusnya memiliki:

Pertama, haruslah memiliki pemikiran (fikrah) yang benar yaitu akidah Islam. Sebab, fikrah ini akan menentukan tujuan serta yang menjadi asas untuk menyatukan umat.

Kedua, memiliki metode (thariqah) yang benar untuk meraih tujuannya yaitu untuk kemaslahatan umat.

Politik yang benar adalah yang menyandarkan fikrah dan thariqahnya pada asas yang benar. Jika asasnya salah, maka bisa dipastikan arahnya tersebut juga salah.

Jika melihat standar benar dan salah, maka asas sahih haruslah berasaskan Islam bukan yang lain. Jika dibangun di atas basis ideologi yang benar yaitu Islam, mereka akan menempuh dan meraih tujuannya berdasarkan asas tersebut.

Ketiga, harus memiliki ikatan yang benar. Ikatan yang mengikat mereka harus berbasis pada Islam, bukan sekadar ikatan organisasi apalagi kepentingan, melainkan ukhuwah islamiyah.

Keempat, orang-orangnya pun haruslah memiliki kesadaran yang benar. Yakni menggambarkan syakhsiyah Islam dan takut kepada Allah Swt. Ia bergabung bukan karena iming-iming jabatan, melainkan karena kelayakan dirinya untuk mengemban tugas. Yakni membina umat agar memiliki kepribadian Islam, mendidik umat dengan politik yang sesuai syariat, serta mengoreksi kebijakan penguasa.

Hanya saja, sulit mewujudkan poin-poin itu jika sistem demokrasi ini masih berdiri. Oleh karena itu, noda politik dinasti dan kaderisasi yang gagal harusnya menjadi evaluasi besar. Janganlah menyandarkan perubahan pada sistem demokrasi. Sistem rusak ini akan terus berjalan memberikan kerusakan selama kita menerapkan dan menjadikannya asas berpolitik dan bernegara.

Jika ingin membabat habis gurita korupsi dan kader gagal, maka ubah asas dan paradigmanya dengan sistem sahih, yakni ideologi Islam. Sebagai nafas memperjuangkan perubahan secara hakiki dan fundamental. Oleh karena itu, dalam Islam ditetapkan hukuman yang setimpal kepada pelaku koruptor. Dimana berfungsi sebagai pencegah (zawajir) memberikan efek jera, maka para koruptor dikenai hukuman ta’zir berupa tasyhir atau pewartaan dengan diarak keliling kota. Jika saat ini dengan dilakukan penyitaan harta dan hukuman kurungan bahkan sampai hukuman mati dilihat dari kerugian yang dirasakan umat. Wallahu'alam bishawab. [Ng]

Posting Komentar

0 Komentar