Oleh Arinda Nurul Widyaningrum
(Aktivis dan Penulis @Keranjangkritik_)
Baru-baru ini, dunia pertelevisian kembali heboh dan nyaris membuat darah tinggi. Bagaimana tidak, mereka menampilkan salah satu artis yang baru saja keluar dari jeruji besi atas perlakuan kejahatan seksualnya pada anak. Acara hiburan itu diberi judul yang sama sekali tak menimbulkan empati, “Masya Allah Ini Kisah Pilu Saipul Jamil Selama di Penjara” pada acara Kopi Viral pada 3 September 2021. Padahal, sebelumnya, petisi untuk boikot Saipul Jamil di TV dan Youtube sudah dapat sambutan luar biasa dari masyarakat.
Begitulah, cara media sekuler bermain. Media yang tak dinaungi dengan visi Islam. Tak mengapa tontonannya tak edukatif, dan hanya mengandung viral semata, toh rating tinggi mungkin lebih menarik perhatian. Tidakkah kita memikirkan apakah luka korban kejahatan seksual itu sudah sembuh? Belum pulih luka dan trauma anak itu, si pelaku sudah diberi ruang untuk tertawa lebar di depan khalayak umum.
Alasan yang dikeluarkan oleh Ketua KPI mengenai alasan bolehnya Saipul Jamil tampil di TV adalah sebagai edukasi, misalnya hadir sebagai bahaya predator seksual. Sebuah alasan yang dinilai terkesan bodoh oleh politisi Ferdinand Hutahaean. Bagaimana bisa membuat edukasi soal bahaya predator seksual, sementara yang diundang adalah pelaku? Bukankah seharusnya yang diundang adalah korban. Namun begitulah, bukan sebuah kemustahilan, wajah Saipul Jamil akan kembali menjadi penghibur di stasiun TV.
Berapa kali kita disodorkan keanehan dalam dunia hiburan di TV. Di mana yang hidupnya paling sensasional akan semakin diangkat dan diundang ke sana kemari. Tak jarang bahkan setelah mereka melakukan tindakan asusila. Sebut saja model LM yang semakin eksis pasca video syur dirinya viral bersama salah satu anggota band terkenal. SM yang hamil di luar nikah pun diangkat menjadi duta anti aborsi karena memilih mempertahankan bayi yang dikandungnya. Terlepas dari kehebatannya untuk mempertahankan sang bayi tetap hidup, tetapi kita lupa menyoroti kesalahannya yang tak boleh ditiru anak muda, yaitu pergaulan bebas. Namun apa boleh buat, seolah itu sudah jadi kebebasan berekspresi, dan dianggap sebagai pilihan pribadi yang tak usah diganggu.
Media, Pisau Bermata Dua
Sulit untuk menolak pemikiran yang mengatakan bahwa para artis yang sibuk wara wiri dalam panggung hiburan adalah role model dari sebuah penyebaran ide kebebasan, dan ide sekularisme. Kebebasan itu ditampilkan dalam berbagai kesempatan. Gaya hidup mereka yang terus disoroti seputar hal duniawi, menyibukkan diri dengan kesenangan pribadi, namun tak sibuk dengan urusan agama. Mulai pagi hingga malam kembali, media sibuk menyoroti dan menggosipi permasalahan-permasalahan pribadi artis sebagai konsumsi publik yang seolah nikmat ditayangkan. Sayangnya kehidupan pribadi itu lebih banyak mengandung sensasi yang penuh hedonisme saja.
Kebebasan itu juga terlihat dari bebasnya iklan-iklan yang mengeksploitasi tubuh wanita. Anehnya sang wanitanya merasa bangga dan bebas berekspresi bila sudah menjadi model bintang iklan TV. Merasa berbangga dengan kesempatan memperlihatkan kesempurnaan fisiknya yang terawat. Merasa kariernya telah sukses dan melejit. Sehingga setelah itu, para remaja pun tak mau kalah dan mengikuti ide kebebasan yang sama.
Ide sekulerisme juga berhembus pada setiap momen hiburan di TV. Hanya di bulan suci Ramadan saja, artis wanita terlihat menyarungkan kain ke kepala, selebihnya seolah tiada agama lagi di panggung hiburan. Hanya saat bulan Ramadan saja, iklan-iklan ajakan berbuat kebaikan itu merebak, selebihnya iklan yang tak sopan kembali diproduksi. Apakah ini bukan memisahkan agama dari kehidupan? Seolah kita menganggap agama hanya berada pada tempatnya tersendiri yang jauh dari ruang publik. Yakni di masjid, dan hanya sakral pada bulan sucinya saja.
Islam Ideologi yang Komplit Menguntungkan Berbagai Pihak
Bila kita merasa tersinggung dengan media penyiaran di negeri ini yang seolah kehilangan empati. Mari bersyukur sebab konsep Islam yang kita miliki ternyata mampu menyelesaikan setiap kegundahan itu. Berharap pada KPI yang katanya bertugas menyensor hal-hal dan konten yang tak pantas, tak akan pernah puas. Sebab landasannya tak seperti media penyiaran dalam pandangan Islam. Bila iya demikian, sudah pasti kita tak temukan iklan-iklan eksploitatif wanita di TV. Bila iya demikian, sudah pasti kita tak temukan cerita-cerita tak edukatif lagi di TV, yang hanya menyita waktu generasi untuk ibadah, dan belajar.
Bila Islam menjadi landasan berpikir dan kepemimpinan berpikirnya, maka misi media penyiaran akan jelas dan terang menerangi umat. Seterang kesempurnaan Islam. Tak mungkin ada tayangan yang tujuannya hanya untuk menghibur, bercanda, tertawa sepenuh wajah, menampilkan hal yang sebenarnya tak boleh dilihat publik, mengungkit setiap inci permasalahan keluarga orang lain, menjadikannya bahan gosip. Tak ada lagi iklan-iklan yang memasang bagian-bagian tubuh perempuan sebagai pemanis, dengan begitu wanitanya menjadi mulia, dan generasinya tak salah mengikuti. Tak akan ada toleransi pada pelaku kejahatan-kejahatan agar ia menghibur di TV, justru diberi hukuman yang pantas ia terima, meskipun dulunya adalah orang yang sangat terkenal dan berparas menarik.
Sebab visi dari penyiaran dalam Islam adalah sebagai media untuk menyebarkan Islam dalam setiap kesempatan, yang artinya menyebar kebaikan dan manfaat. Sebagai corong informasi yang baik dan benar agar masyarakat dapat berpikir secara politik, sebagai media yang tak kenal lelah untuk mengedukasi umatnya bagaimana menjalani kehidupannya. Semua ditujukan untuk menyebarkan kebaikan Islam, dan sungguh hal itu akan berpengaruh pada perubahan masyarakatnya. Meski hanya media tetapi jangan lupa, bahwa ia tergantung pada ide apa yang menjadi landasan geraknya. Sehingga masih layakkah kita berharap pada ide rusak produksi barat yang terbukti selama ini telah memporakporandakan kita?
Wallahu a'lam.[IRP]
0 Komentar