Oleh Anita Arwanda, S.Pd.
(Pendidik, Aktivis Dakwah Muslimah, Pelajar)
Vivisualiterasi.com - Ada ironi dan aroma kegagalan ketika mendengar fenomena pelajar atau anak-anak terjerat aktivitas judi online (judol) yang terus merebak.
Fenomena ini menunjukkan bahwa ancaman terhadap generasi masa depan bangsa berada dalam genggaman mereka sendiri. Kehadiran negara dalam melindungi anak-anak dan pemuda dari judol menjadi urgensi yang tak bisa ditawar lagi.
Hafizh (19) masih ingat pertama kali diperkenalkan pada aplikasi judol oleh teman sebangkunya di sekolah. Kejadian itu terjadi sekitar dua tahun lalu, ketika ia masih duduk di kelas II SMK di salah satu sekolah di Kabupaten Bogor.
Sejak saat itu, Hafizh keranjingan bermain judol hingga menjual barang-barang pribadi milik orang tuanya. Ia sempat menjual tabung gas 3 kg, monitor komputer, bahkan sepeda miliknya. Hal ini membuat Hafizh sering berselisih dengan keluarganya.
“Baru setahun uring-uringan, saya putuskan sudah tidak bisa lagi, harus berhenti. Saya mau lulus,” cerita Hafizh, yang mengaku kepada Tirto sudah tidak lagi bermain judol ketika dihubungi via telepon, Selasa (28/10/2025) malam.
Serupa dengan kisah kecanduan judol lainnya, ia terjebak karena sempat meraih satu kemenangan besar. Padahal, pemuda asal Bogor itu mengatakan, jika dikalkulasikan, antara kemenangan dan modal yang sudah ia keluarkan untuk deposit judol, sebenarnya ia sudah merugi.
Hafizh membulatkan tekad berhenti bermain judol karena tersadar bahwa ia hendak lulus dari sekolah menengah. Namun, ia mengakui godaan untuk kembali bermain terkadang masih muncul. Apalagi, kata dia, tidak ada kesulitan bagi anak-anak mengakses situs atau aplikasi judol melalui ponsel pintar yang mereka miliki.
“Promonya saja di YouTube, TikTok, atau Twitter (sekarang X), itu gila-gilaan. Nempel sana-sini itu iklan judol, tinggal klik masuk situsnya, tidak diblokir,” terang Hafizh.
Kisah lain dibagikan oleh guru di salah satu SMA swasta di Kota Depok, sebut saja Alda. Ia mengaku sempat disambati oleh salah satu wali murid yang anaknya kecanduan judol. Ini menjadi tantangan yang tidak mudah diselesaikan karena harus membujuk murid tersebut agar tidak lagi bermain judi.
Menurut pria berusia 28 tahun itu, anak-anak yang kecanduan judol tidak bisa langsung dirampas ponselnya atau dihukum keras. Hal tersebut biasanya direspons dengan agresif dan justru memperbesar persoalan.
Berbeda dengan kecanduan gim, kata Alda, untuk membantu murid lepas dari judol perlu dilakukan pendekatan emosional. Alda, misalnya, menyadarkan bahwa perekonomian keluarga anak itu akan hancur jika terus-menerus bermain judi.
“Perlahan anak itu menyadari juga, intinya jangan diberi opsi untuk masih bisa punya uang, bisa pinjam, atau berutang. Jangan dibuka opsinya. Teman-temannya pun membantu. Jadi, anak yang kecanduan itu bisa disebut korban,” ungkap Alda kepada wartawan Tirto, Selasa (28/10/2025), di kesempatan terpisah.
Fenomena anak-anak sekolah yang keranjingan judol adalah alarm keras agar upaya pemerintah membasmi penyakit masyarakat ini terus digencarkan. Tidak cukup menangkap pemain atau operator judol kelas teri, penegak hukum mesti berani menindak bandar-bandar judi besar.
Lihat bagaimana dampak judol menyasar seorang siswa SMP di Kokap, Yogyakarta. Hal ini bermula dari informasi yang diberikan Sekretaris Disdikpora Kulon Progo, Ahad, 26 Oktober 2025 lalu. Diberitakan, seorang siswa SMP di Kokap kecanduan bermain judi online hingga terlilit utang pinjaman online (pinjol).
Karena terlilit utang pinjol, anak tersebut takut datang ke sekolah. Berdasarkan informasi yang dihimpun Tirto, anak tersebut memakai Nomor Induk Kependudukan (NIK) bibinya untuk mengakses jasa pinjol. Karena tidak mampu melunasi utang, bocah itu meminjam uang dari teman-temannya hingga sekitar Rp4 juta.
Kejadian-kejadian di atas merupakan potret buram dunia pendidikan dan penegakan hukum kita yang masih tidak kuasa menghadapi gempuran aktivitas judol. Tahun lalu, PPATK melaporkan bahwa total uang perputaran aktivitas judol mencapai Rp1.200 triliun.
Pada November 2024 silam, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengungkapkan bahwa tercatat sekitar 200 ribu pelajar berusia di bawah 19 tahun memiliki indikasi terpapar aktivitas judi online. Sekitar 80 ribu pelajar di antaranya berada pada jenjang usia di bawah 10 tahun.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI, My Esti Wijayanti, menilai munculnya kasus siswa SMP yang terjerat pinjaman online dan judi online disebabkan oleh kesalahan sistem pendidikan saat ini.
“Ketika anak SMP sudah mengenal dan terjerat judol dan pinjol, itu berarti ada yang sangat keliru dalam cara kita mendidik dan membimbing generasi muda,” ujar Esti dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/10/2025).
Hal tersebut disampaikan Esti sebagai respons atas temuan kasus siswa SMP di Kulon Progo, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang terjerat judol dan utang pinjol hingga bolos sekolah selama sebulan terakhir.
“Sekolah hari ini masih sibuk menyiapkan anak untuk ujian, bukan untuk bertahan di dunia digital yang penuh jebakan algoritma dan komersialisasi perilaku,” sambungnya.
Ia meminta pemerintah memperkuat literasi digital dan pendidikan karakter di sekolah untuk mencegah maraknya kasus anak sekolah yang terjerat judi online dan pinjaman online.
“Negara harus mengakui bahwa literasi digital bukan sekadar kemampuan memakai gawai, tetapi kemampuan membaca bahaya di balik layar,” ujar Esti.
“Menanamkan kontrol diri dan kesadaran digital sejak dini penting dilakukan untuk mengantisipasi krisis karakter nasional di masa depan,” sambungnya.
Menurut Esti, fenomena ini menunjukkan adanya krisis literasi digital serta lemahnya pengawasan sosial terhadap generasi muda di tengah derasnya arus digitalisasi. (kompas.com)
Konten judi online telah merambah situs-situs pendidikan dan gim online, sehingga siswa rentan terpapar. Pinjol dan judol sering kali membentuk lingkaran setan. Pelajar yang kehabisan uang karena kalah judi akan mencari pinjaman online.
Kasus ini menunjukkan adanya celah besar dalam pengawasan orang tua dan sekolah terhadap anak, serta lemahnya peran negara dalam menutup atau memberantas situs-situs judol.
Pendidikan karakter dan literasi digital yang selama ini menjadi arah pendidikan belum mampu menuntaskan masalah tersebut.
Penyebab utamanya adalah cara berpikir yang rusak—ingin cepat kaya tanpa kerja keras—karena kemudahan akses dan modal kecil. Ini juga dipengaruhi oleh gim yang menawarkan kesenangan instan, sehingga anak tidak tertarik dengan proses dalam mencapai sesuatu.
Kapitalisme menjadikan keuntungan materi sebagai tolok ukur utama tanpa mempertimbangkan halal-haram.
Negara dalam sistem kapitalisme berperan sebagai regulator, bukan pelindung rakyat. Negara hanya bertindak ketika sudah ada kasus atau dampak negatif dalam masyarakat, tetapi tidak mampu mencegahnya.
Kebijakan-kebijakan yang lahir bukan untuk menyejahterakan rakyat. Akibatnya, rakyat dipaksa mandiri mengejar kesejahteraan, keadilan, dan keamanan—sesuatu yang seharusnya dijamin oleh negara. Inilah buah pahit kapitalisme.
Demikian pula dengan pinjol. Selama negara masih menerapkan sistem kapitalisme, selama itu pula pinjol akan tetap marak. Para kapitalis, seperti pemilik bank, menjadikan pinjaman sebagai investasi untuk memperkaya diri dengan mengeksploitasi ekonomi orang lain melalui pinjaman berbunga yang mencekik. Meski sudah banyak menelan korban, jumlah orang yang terjerat pinjol terus bertambah setiap tahunnya.
Dalam pandangan syariat Islam, pinjol haram hukumnya—baik legal maupun ilegal—karena terdapat riba, yaitu tambahan yang dipersyaratkan dalam akad pinjaman dalam tiga bentuk: bunga, denda, dan biaya administrasi. Ketiga bentuk tambahan ini termasuk riba yang telah diharamkan dengan tegas dalam syariat Islam. Allah Swt. berfirman:
> “Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.” (QS Al-Baqarah [2]: 275)
Demikian pula dengan judol, apa pun bentuknya, adalah haram. Allah Swt. berfirman:
> “Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan panah adalah termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Maidah [5]: 90)
Negara seharusnya menutup celah munculnya pinjol dan judol. Dalam sistem Islam, tidak boleh ada ruang kemaksiatan, baik di dunia nyata maupun di ruang digital.
Pengawasan terhadap media, internet, dan segala bentuk informasi digital dilakukan secara ketat dengan standar halal-haram sebagai tolok ukur.
Pengawasan sistem informasi ini berada di bawah instansi penerangan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 103 Muqaddimah ad-Dustur:
> “Instansi penerangan adalah direktorat yang menangani penetapan dan pelaksanaan politik penerangan daulah demi kemaslahatan Islam dan kaum muslim.”
Dalam sistem Khilafah, tidak akan ada celah bagi transaksi-transaksi ekonomi yang diharamkan syariat, termasuk pinjaman ribawi dan judi, baik online maupun offline. Khilafah akan menerapkan aturan tegas terkait konten digital melalui pemanfaatan teknologi berbasis akidah Islam.
Khilafah juga akan mengatur penggunaan teknologi digital agar tidak disalahgunakan untuk aktivitas haram seperti pinjol dan judol.
Khilafah akan menghapus praktik ribawi karena termasuk dosa besar dan penghancur ekonomi. Selanjutnya, Khilafah akan menata mekanisme utang-piutang agar terbebas dari riba dan tetap menjaga hak-hak harta warga negara.
Untuk itu, khalifah akan menetapkan bahwa yang wajib dibayar hanyalah pokok utangnya. Adapun riba atau bunga yang telah diambil wajib dikembalikan kepada pihak yang berutang.
Penting juga diterapkan pendidikan Islam yang berlandaskan akidah Islam agar pelajar memiliki arah dalam bertindak—tidak cukup hanya dengan pendidikan karakter. Wallahu a‘lam bish-shawab.
(Dft)


0 Komentar