Subscribe Us

BUNUH DIRI PELAJAR MENINGKAT, BUKTI KEGAGALAN SISTEM


Oleh Anita Arwanda, S. Pd.
(Pendidik, Aktivis Dakwah Muslimah, Pelajar)


Vivisualiterasi.com - Dalam sepekan terakhir dilansir dari bandung.kompas, dua anak ditemukan meninggal diduga akibat bunuh diri di Kabupaten Cianjur dan Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Fenomena ini menjadi alarm serius bagi semua pihak, terutama orangtua, sekolah, dan masyarakat untuk lebih peka terhadap kondisi psikologis anak.

Peristiwa pertama terjadi di Kampung Cihaur, Desa Gunungsari, Kecamatan Ciranjang, Kabupaten Cianjur, Rabu (22/10) sore. Warga digegerkan meninggalnya anak laki-laki berusia 10 tahun berinisial MAA. Dia siswa kelas V salah satu SD Negeri di wilayah tersebut.

Korban ditemukan tergantung di kusen pintu kamar rumah neneknya menggunakan tali sepatu. Saat ditemukan neneknya, korban sudah tidak bernyawa.

Menurut data Polsek Ciranjang, hasil pemeriksaan sementara tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada tubuh korban. Dari hasil visum luar, terdapat ciri khas kematian akibat gantung diri, seperti keluarnya kotoran tubuh dari korban.

Peristiwa serupa terjadi beberapa hari kemudian di Kabupaten Sukabumi. Siswi kelas dua SMP berinisial AK (14) ditemukan tewas gantung diri di kusen pintu rumahnya di Kecamatan Cikembar, Selasa (28/10) malam.

Korban diduga mengakhiri hidupnya setelah dirundung di sekolahnya. Hal ini terungkap dari selembar surat yang ditinggalkan korban sebelum mengakhiri hidupnya. "Ini bukan karangan, saya hanya ingin menyampaikan isi hati yang sudah lama terluka. Bukan karena baper atau hal sepele, tapi karena benar-benar sakit hati oleh ucapan teman-teman di kelas. Sikap mereka membuat saya lelah. Saya hanya ingin ketenangan," ungkap AK dalam salah satu paragraf di surat itu.

Psikolog dan dosen Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung, Efnie Indrianie, mengatakan, anak-anak dari generasi Alfa saat ini memiliki kondisi mental yang lebih rapuh dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Generasi Alfa, yaitu anak-anak yang lahir sekitar tahun 2010–2024. ”Generasi Alfa itu secara mental memang lebih fragile atau rapuh. Ada perbedaan tipologi kepribadian yang signifikan dibandingkan Gen Z,” ujar Efnie, Jum'at (31/10).

Menurut dia, ketika menghadapi tekanan, anak-anak dari generasi ini lebih mudah terpuruk secara emosional. Tindakan ekstrem seperti bunuh diri biasanya bukan keputusan tiba-tiba, melainkan hasil dari tekanan yang menumpuk dalam jangka waktu panjang bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

”Biasanya, tindakan fatal seperti ini terjadi setelah proses panjang. Bisa karena efek bullying, tekanan dari keluarga, atau karena mereka merasa tidak diapresiasi,” jelasnya.

Efnie menambahkan, kedekatan generasi Alfa dengan dunia digital juga berperan besar. Akses terhadap berbagai konten di media sosial membuat anak-anak mudah terpengaruh perilaku atau pola pikir yang mereka lihat di internet.

”Kadang mereka lihat sesuatu di media sosial, lalu meniru atau mendapat inspirasi. Pada titik tertentu, ketika mendapat tekanan, mereka bisa melakukan tindakan fatal,” ujarnya.

Tanggapan pemerintah

Menanggapi dua peristiwa ini, Gubernur Jabar Dedi Mulyadi yang ditemui sesuai sidang paripurna DPRD Jabar di Bandung, Jum'at, menyatakan keprihatinannya. Ia menilai dua peristiwa ini menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap anak.

”Fenomenanya adalah kita terlalu bebas terhadap anak-anak kita dan tidak memberikan perlindungan yang cukup. Ini juga salah satu dampak dari penggunaan media sosial yang tidak terkendali,” kata Dedi. 

Dedi menambahkan, pihaknya akan menurunkan Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Keluarga Bencana (DP3AKB) bersama tim hukum Pemprov Jabar untuk menindaklanjuti kasus dugaan perundungan korban AK di Sukabumi.
”Saya segera menginstruksikan dinas terkait dan tim kuasa hukum Pemprov Jabar turun ke sana (Sukabumi) untuk mendalami dugaan perundungan,” ujarnya.

Kepala DP3AKB Jabar Siska Gerfianti menyampaikan rasa prihatin dan dukacita mendalam bagi keluarga kedua korban di Cianjur dan Sukacita. Siska mengungkapkan, pihak keluarga khususnya korban di Sukabumi menyampaikan keinginan agar kasus ini disudahi dan menolak dilakukan otopsi terhadap anaknya.

Selain itu, DP3AKB Jabar akan berkoordinasi dengan instansi terkait untuk memastikan adanya pendampingan psikososial bagi keluarga korban, peningkatan pengawasan dan pencegahan kekerasan di lingkungan sekolah, ”Kami juga akan melaksanakan edukasi dan sosialisasi antiperundungan kepada siswa, tenaga pendidik, dan masyarakat. Kami mengajak seluruh pihak untuk bersama-sama menciptakan lingkungan belajar yang aman, sehat, dan ramah anak, agar kasus serupa tidak terulang,” kata Siska.

Kepala Seksi Humas Polres Sukabumi Inspektur Satu Aah Saepul Rohman mengatakan, tetap menyelidiki dugaan perundungan terhadap korban. Namun, polisi tetap berhati-hati dalam menyampaikan informasi kepada publik.”Kami tetap melakukan penyelidikan, tapi tidak akan mengekspos berlebihan karena menyangkut anak-anak. Keluarga korban juga keberatan dengan banyaknya pemberitaan. Kami menghormati permintaan mereka,” tuturnya.

Komisi Perlindungan Anak Indonesia, menyesalkan terjadinya kasus bunuh diri di lingkup pelajar. Anggota KPAI Aris Adi Leksono mengingatkan, ada dua kasus dugaan bunuh diri yang melibatkan pelajar di Sawahlunto Sumatera Barat dan Sukabumi Jawa Barat.
"Dua peristiwa tragis ini menjadi alarm serius bagi dunia pendidikan dan keluarga untuk lebih peka terhadap kesehatan mental anak dan remaja," ingat Aris.

Karena itu, KPAI mendorong penerapan early warning system atau sistem deteksi dini bunuh diri yang efektif di sekolah dan komunitas. Sistem bertujuan mencegah terjadinya kasus mengakhiri hidup yang melibatkan pelajar.

KPAI pun mendorong seluruh pihak untuk membangun early warning sistem yang efektif di sekolah dan komunitas.
“Anak yang menunjukkan perubahan perilaku, penurunan semangat belajar, atau tanda-tanda stres berat harus segera mendapat perhatian dan pendampingan psikologis sejak awal,” imbuh Aris, pada Jum'at (31/10).

Sistem deteksi dini, antara lain dengan penguatan fungsi guru, khususnya Guru BK (Bimbingan Konseling), agar lebih proaktif memantau kondisi sosial emosional siswa. Selanjutnya pelatihan guru dan siswa sebaya dalam mengenali tanda-tanda depresi, stres, atau perilaku menarik diri. Kemudian koordinasi berlapis antara sekolah, puskesmas, dan dinas terkait.

Saat ditemukan anak dengan risiko tinggi mengalami depresi ataupun stres, dan pemanfaatan data presensi, perilaku, dan interaksi sosial siswa sebagai indikator awal gangguan kesejahteraan mental.

KPAI menilai intervensi cepat dan empati adalah kunci pencegahan lanjutan.
Menurutnya dukungan psikologis awal perlu dilakukan melalui pendampingan psikolog sekolah atau tenaga kesehatan mental puskesmas, segera setelah muncul gejala atau laporan risiko. “Keterlibatan aktif keluarga dalam proses pemulihan anak melalui komunikasi positif dan penguatan spiritual," paparnya. (sekitarkaltim.com)

Angka bunuh diri yang meningkat di kalangan pelajar perlu dicermati. Tidak semua bunuh diri ini disebabkan bullying. Fakta ini lebih menggambarkan bahwa kepribadian yang rapuh pada remaja merupakan faktor yang mendorong mereka melakukan bunuh diri. Kerapuhan kepribadian anak mencerminkan lemahnya dasar akidah anak. Hal ini adalah implikasi dari pendidikan sekuler yang hanya sekedar mengejar prestasi fisik dan mengabaikan pengajaran agama. Agama hanya diajarkan secara teori tapi tidak meninggalkan pengaruh yang menjasad pada anak.

Paradigma batas usia anak juga berpengaruh. Pendidikan Barat menganggap anak baru dewasa ketika berusia 18 tahun. Sehingga sering kali anak sudah balig namun masih diperlakukan sebagai anak dan tidak dididik untuk menyempurnakan akalnya.

Bunuh diri adalah puncak dari gangguan kesehatan mental. Gangguan mental adalah buah berbagai persoalan yang terjadi, mulai dari kesulitan ekonomi, konflik orang tua termasuk perceraian, hingga tuntutan gaya hidup, dan sebagainya. Hal ini akibat penerapan sistem kapitalisme. Berbagai faktor tersebut termasuk faktor non klinis yang mempengaruhi gangguan mental.

Paparan media sosial terkait bunuh diri dan komunitas sharing bunuh diri yang semakin banyak mendorong remaja dan anak-anak makin rentan bunuh diri.

Islam menjadikan dasar pendidikan dalam keluarga, sekolah dan seluruh jenjang pendidikan adalah akidah sehingga anak memiliki kekuatan untuk bertahan dalam menghadapi setiap kesulitan. Tujuan sistem pendidikan Islam adalah membentuk pola pikir dan pola sikap Islam, sehingga pada diri siswa terbentuk kepribadian Islam. Dalam Islam ketika baligh anak juga diarahkan untuk aqil sehingga Pendidikan anak sebelum baligh adalah Pendidikan yang mendewasakan dan mematangkan kepribadian Islamnya.

Adanya penerapan Islam mencegah terjadinya gangguan mental, sekaligus menyolusi persoalan ini secara tuntas, karena Islam mewujudkan kebaikan pada aspek non klinis, seperti jaminan kebutuhan pokok, keluarga harmonis, juga arah hidup yang benar sesuai tujuan penciptaan.

Kurikulum pendidikan Khilafah memadukan penguatan kepribadian Islami (karakter) dengan penguasaan kompetensi ilmu. Sehingga murid mampu menyikapi berbagai persoalan kehidupan dengan cara syar’i, tidak bermental lemah dan mudah terbawa arus.[AR]

Posting Komentar

0 Komentar