Subscribe Us

ILUSI SEJAHTERA GURU DALAM BALUTAN RUU

Oleh Dewi Soviariani
(Ibu dan Pemerhati Umat)


Vivisualiterasi.com- Guru, engkaulah pelita dalam gelap. Darimu bermekaran ragam ilmu. Harusnya engkau tak perlu berpayah dalam keluh kesah untuk meraih sejahtera. Pahlawan tanpa tanda jasa yang tersemat, ternyata tak jadi jaminan hidupmu punya derajat. 

Ya, dalam era globalisasi yang kini kau geluti nasib para guru sungguh pilu. Gaji yang tak seimbang dengan kebutuhan, saling bersikutan dengan melambungnya harga pangan. Miris dan sungguh dilematis di antara sekian banyak tugas, engkau dituntut untuk merubah nasib anak bangsa. Mencerdaskan mereka sekaligus mengubah tingkah laku siswa yang sejatinya tak didukung oleh aturan negara. 

Desas-desus makin menderitanya nasib guru diperparah dengan digodoknya RUU Omnibus Law tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) oleh pemerintah. Salah satu poin krusialnya adalah tentang hilangnya klausul tunjangan guru dalam draf RUU Sisdiknas tersebut.

Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Anwar Makarim tengah menyusun Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). RUU ini akan menggabungkan tiga UU sekaligus, yakni UU Sisdiknas, UU Guru dan Dosen, serta UU Perguruan Tinggi. Sekilas UU tersebut membawa perubahan akan nasib guru, akan tetapi jika diteliti lebih dalam justru hal ini akan memperparah daftar panjang derita para guru. Seperti pada pasal 105 huruf a hingga huruf h (TPG). Pasal ini hanya memuat klausul hak penghasilan/pengupahan, jaminan sosial, dan penghargaan yang disesuaikan dengan prestasi kerja. Tersirat ketidakjelasan nasib guru. Tak semua dari mereka punya kesempatan menuai prestasi dengan berbagai sebab. 

Melihat fakta, banyak guru-guru di daerah terpencil yang mempunyai keterbatasan akses dan sarana untuk mengukir prestasi dan konsen pada pendidikan murid-muridnya. Bahkan tak jarang dari mereka mengeluarkan dana pribadi untuk memberikan kemudahan bagi siswanya mengikuti kegiatan belajar. Mereka tak dilirik sebagai guru berprestasi. Lantas jika menyesuaikan pada pasal 105 draft RUU Sisdiknas tersebut maka jaminan sosial dan penghargaan untuk kriteria seperti guru tersebut jauh panggang dari api. Bisa diartikan hilangnya tunjangan guru.

Banyak pihak mengkritisi draft RUU Sisdiknas tersebut yang menjadi polemik. Bahkan, sejumlah fraksi di DPR mengaku menolak RUU Sisdiknas masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) perubahan tahun 2022. Di dalamnya terdapat sejumlah pasal yang dinilai kontroversi. Salah satunya mengenai tunjangan guru atau tunjangan profesi guru. 

Penolakan juga datang dari sejumlah komunitas guru yang menyayangkan hilangnya ayat tentang Tunjangan Profesi Guru (TPG) dalam RUU Sisdiknas.

Dari pemaparan ini jelas kedudukan negara memiliki peran penting untuk membuat keputusan yang adil akan hak-hak para guru. Sayangnya dalam sistem kapitalisme yang dianut negeri ini, kata sejahtera untuk guru hanya ilusi. Negara melalui undang-undang justru berbuat zalim. Hanya mengukur penghargaan para guru dari sisi materi. Karena itu, saat tunjangan profesi dihilangkan maka sama saja dengan menghapus secara sempurna kesejahteraan guru. Negara yang kapitalistik merupakan akar masalah dari tidak sejahteranya para guru, salah kelola SDA, serta ketergantungan utang pada asing menjadikan negara minim anggaran.    Birokrasi kapitalistik juga menambah rumit tata kelola guru. Baik dari sisi perundang-undangan yang berlaku (RUU Sisdiknas, UU ASN, UU Ketenagakerjaan, dan peraturan pemerintah lainnya) maupun terkait  banyaknya instansi yang mengurus.

Nasib guru dalam sistem kapitalisme masih akan terus mengenaskan. Hal ini terjadi karena regulasi dalam sistem kapitalisme yang abai terhadap kesejahteraan mereka. Selama masih bertahan dengan sistem ini, maka derita guru tidak akan pernah tuntas.

Tak ada jalan lain untuk mengubah nasib para guru, kecuali dengan kembali menerapkan sistem pendidikan Islam dalam bingkai negara Khilafah Islamiyyah. Hanya negara Khilafah Islamiyyah yang akan memberikan kesejahteraan dan kemuliaan kepada para guru dengan mekanisme penggajian dari baitul mal yaitu dari pos fai’ dan kharaj serta pos milkiyyah ‘ammah. 

Seorang kepala negara dalam sistem Khilafah Islam akan semaksimal mungkin memenuhi kepentingan rakyatnya, termasuk para pegawai yang telah memberikan jasa bagi negara. Berkenaan hal ini, Rasulullah saw. menyatakan dalam hadis.

“Seorang Imam (khalifah/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan rakyat dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas urusan rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Ahkaam menjelaskan bahwa seorang khalifah berkewajiban untuk memenuhi sarana pendidikan, sistemnya, dan orang-orang yang digaji untuk mendidik masyarakat. Jika kita melihat sejarah kekhilafahan Islam maka kita akan melihat perhatian para khalifah terhadap pendidikan rakyatnya sangat besar. Demikian pula perhatiannya terhadap nasib para pendidiknya. Khalifah memberikan hak kepada pegawai negeri (pejabat pemerintahan) termasuk guru, untuk memperoleh gaji dan fasilitas. Baik perumahan, istri, pembantu, ataupun alat transportasi. Semua harus disiapkan oleh negara.

Guru dalam Negara Khilafah Islamiyah mendapatkan penghargaan yang begitu tinggi dari negara. Termasuk pemberian gaji yang melampaui kebutuhannya. Diriwayatkan dari Ibnu Abi Syaibah, dari Sadaqah ad-Dimasyqi, dari al-Wadl-iah bin Atha; Khalifah Umar bin Khaththab memberi gaji lima belas dinar (1 dinar= 4,25 gram emas; 15 dinar= 63,75 gram emas). Bila saat ini harga 1 gram emas Rp900.000,00 berarti gaji guru pada saat itu setiap bulannya sebesar Rp57.375.000,00.

Begitu pun di masa Shalahuddin al Ayyubi, gaji guru lebih besar lagi. Di dua madrasah yang didirikannya yaitu Madrasah Suyufiah dan Madrasah Shalahiyyah gaji guru berkisar antara 11 dinar sampai dengan 40 dinar. Artinya gaji guru bila dikurs dengan nilai saat ini adalah Rp42.000.000,00 sampai Rp153.000.000,00. Subhanallah, dalam sistem khilafah para guru begitu terjamin kesejahteraannya.

Mekanisme inilah yang mampu memberikan jaminan kesejahteraan bagi para guru. Sehingga guru bisa berdedikasi tinggi, generasi pun berkualitas tinggi. Yakni generasi pembangun peradaban.

Demikianlah kesejahteraan guru dalam naungan Khilafah Islam. Selain mendapatkan gaji yang sangat besar, mereka juga mendapatkan kemudahan untuk mengakses sarana dan prasarana untuk meningkatkan kualitas kemampuan mengajarnya. Hal ini akan menjadikan guru bisa fokus untuk menjalankan tugasnya sebagai pendidik dan pencetak SDM yang dibutuhkan negara untuk membangun peradaban yang agung dan mulia. Tak ada alasan lain bagi kita untuk membuang kapitalisme yang sarat akan kezaliman. Berbalut undang-indang pesanan mencabut hak-hak guru yang harusnya disejahterakan. Islam memberikan solusi hakiki terhadap problem guru. Kembali pada sistem Islam kemuliaan dan kehormatan para guru akan berada pada kedudukan mulia. Allahu A'lam bishshawwab. [NFY]

Posting Komentar

0 Komentar