Subscribe Us

RUU KIA: SOLUSI ILUSI DEMOKRASI

Oleh Larasati Putri Nasir
(Kontributor Vivisualiterasi)


Vivisualiterasi.com-Beberapa waktu lalu, DPR RI mengajukan RUU Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA). Dikutip dari Detik News.com (19/06/2022) isi dari salah satu RUU KIA ini membahas soal cuti melahirkan selama 6 bulan. RUU KIA mengatur beberapa aspek menyangkut jaminan kesehatan mental dan fisik ibu juga anak. Hal ini sebagaimana dipaparkan oleh politikus Luluk menjelaskan, cuti melahirkan penting untuk wanita sebab ada fenomena depresi pasca melahirkan. Juga pemaparan Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, RUU KIA ini menitikberatkan pada masa pertumbuhan emas anak (Golden Age) yang merupakan penentu masa depan anak. Maka ibu wajib mendapatkan waktu yang cukup untuk memberikan ASI bagi anak-anaknya, bahkan termasuk bagi ibu yang bekerja. 

Lahirnya RUU KIA ini menuai berbagai respon di masyarakat. Ada yang menyambut baik rencana RUU KIA ini karena menganggap akan membawa peran penting buat masa depan peradaban bangsa Indonesia. Namun banyak yang mengkhawatirkan juga. 

Keberatan terkait dengan RUU ini menganggap bahwa kurang pertimbangan. Ditambah lagi tentunya berdampak pada produktivitas, eksistensi keberadaan pekerja wanita, dan kemungkinan terjadi diskriminasi bagi para pekerja.

Sebagaimana dikutip KOMPAS.com (24/06/2022) “Nanti pengusaha ga mau rekrut karyawan perempuan, atau syarat perekrutan untuk wanita harus belum menikah atau tidak menikah selama terikat masa kerjanya” respon salah satu netizen yang menanggapi RUU ini. Kekhawatiran ini terjadi dikarenakan aturan ini dianggap menjadi penghambat bagi produktivitas perusahaan. Pada faktanya, sebagian besar perusahaan kini sedang recovery atas dampak pandemi yang panjang.

Realita Kesejahteraan

Tidak dipungkiri bahwa wanita yang menjadi pekerja hari ini dikarenakan himpitan ekonomi hingga faktor kemiskinan. Mereka terpaksa melakukannya demi tercukupinya kebutuhan hidup. Bahkan kelompok ibu dan anak adalah kelompok dalam masyarakat yang paling rentan tidak terpenuhinya kebutuhan sosial dasar mereka. Yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, dan pendidikan.

Realita kemiskinan yang berdampak besar pada kesejahteraan ibu dan anak ini benar terjadi di masyarakat kita dan menjadi potret buram realita ekonomi bangsa ini. Namun sayangnya pemerintah selalu mengklaim bahwa kemiskinan di Indonesia kini melandai dari tahun ke tahunnya. Padahal menurut data BPS pada September 2021, mengenai presentase jumlah penduduk miskin mencapai angka 9,71% atau 26,50 juta jiwa yang dilanda kemiskinan. Tentu presentase ini bukan hanya sekadar angka namun juga terdapat banyak ibu dan anak yang menjadi korban atas kemiskinan di negeri ini. Amat disayangkan, problem ketimpangan yang terjadi justru makin meningkat. Pertumbuhannya a meningkat hanya pada ekonomi atas (si kaya). Maka tak heran data 2021 jumlah masyarakat dengan kategori miskin ekstrem mencapai 4% dari penduduk.

Solusi Ilusi 

Kemiskinan dan krisis ekonomi yang sering ditengarai terus membaik dengan banyaknya kebijakan proyek. Hal tersebut bertujuan mengentaskan kemiskinan yang dicanangkan dan mampu menyelesaikan problematika kemiskinan. Padahal hanya menjadi komoditas politik alias jual beli kepentingan demi keuntungan pihak tertentu. Maka janji mengentaskan kemiskinan dan pemerataan ekonomi hanyalah sisa janji yang tak dapat dipenuhi. Hanya menyakiti hati para perempuan sebagai ibu dan juga pada anaknya. Terlebih sistem kapitalisme yang mengakibatkan semuanya ini menjadikan wanita sebagai tulang punggung keluarga yang dipaksa bekerja untuk membantu perekonomian keluarga. 

Dari sini upaya menyejahterakan ibu dan anak ternyata gagal. Kesejahteraan hanyalah tinggal janji yang tidak mungkin terealisasi.

Dalam kondisi inilah RUU KIA di canangkan sebagai solusi. Rancangan tersebut digadang-gadang mampu menyejahterakan ibu dan anak. Tak ayal, rasanya cuti selama 6 bulan untuk mengatasi depresi mental wanita pasca melahirkan hanyalah solusi permukaan yang tak mampu menyelesaikan. Maka harusnya kita berpikir lebih dari itu. Hal ini menyangkut soal bagaimana sistem sekarang terus mengharuskan dan menarik fitrah seorang wanita menjadi pencari nafkah keluarga. Hal itu membuat wanita jauh dari visi misi mulianya yaitu intelektual peradaban, penggerak opini, dan yang terlebih penting adalah ibu generasi. Tak hanya menarik fitrah wanita yang mulia kapitalisme terus meracuni pemikiran wanita karena ideologi ini mengukur kesuksesan berdasarkan capaian materi dan posisi publik. Dengan hal tersebut maka kesejahteraan bagi ibu dan anak hanyalah halusinasi solusi yang tak akan pernah terjadi di sistem ini.

Islam the real Solusi

Dalam Islam posisi laki-laki dan perempuan sama dalam kacamata syariat sebagai seorang hamba. Karena dijatuhi beban yang sama seperti wajibnya salat, puasa, zakat, dan berdakwah. Namun Islam tidak mensejajarkan posisi laki-laki dan perempuan itu sama. Sebagaimana penjelasan Syekh Taqiyuddin An-Nabahani dalam kitab Nidzamul Ijtimaiy’ dalam bab pembahasan kedudukan pria dan wanita. Beliau menjelaskan bahwa Islam menetapkan hak, kewajiban, dan beban taklif yang berbeda antara laki-laki dan perempuan. Perbedaan ini ditetapkan karena logis sebab pada realitanya Allah menciptakan laki-laki dan perempuan berbeda. Misalnya beban bekerja dibebankan pada laki-laki sebagai karakter dan predikatnya sebagai laki-laki, maka beban nafkah berada di pundak laki-laki. Sebagaimana firman Allah:

“Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang ma’ruf”. (Q.S Al-Baqarah: 233)

Maka dari sini dalam sistem Islam, yang dipimpin oleh seorang khalifah dengan sistem khilafah. Memastikan keterjaminan lapangan pekerjaan yang layak agar dapat memenuhi kewajibannya sebagai hamba dan terpenuhinya nafkah juga kebutuhan yang layak dalam keluarganya.

Itu ketetapan beban kepada laki-laki, maka Allah memberikan ketetapan kewajiban dan tugas mulia sebagai wanita yaitu Al Ummu Warobatul Bait. Yang ditujukan sebagai pendidik anak-anak agar bertakwa kepada Allah dan menjadi pejuang-pejuang Islam, dikarenakan beratnya tugas menjadi pendidik ini maka Allah tidak menambah beban bagi wanita untuk bekerja. Sebab perihal pernafkahan di tanggung oleh wali perempuan. Maka dari sini hukum bekerja bagi wanita adalah mubah. Namun dalam perjalanan peradaban gemilang Islam, wanita yang bekerja bukan turun menjadi tulang punggung akibat terhimpit problem ekonomi. Namun mereka bekerja untuk mengaplikasikan ilmunya. Maka khilafah di sini menetapkan wanita pada post-post pekerjaan sesuai karakter dan predikatnya sebagai wanita tanpa mengusik martabat dan kehormatannya. Selain itu, khilafah juga menetapkan sistem waktu bekerja bagi wanita agar tidak melalaikan dirinya dari kewajiban sebagai ummu warobatul bait. Sehingga saat seorang wanita menjalankan fitrahnya yaitu hamil, melahirkan, dan menyusui maka mereka bisa mendapatkan cuti tanpa menganggu stabilitas ekonomi keluarga. Sebab pernafkahan di tanggung oleh walinya dan negara menjamin keberlangsungan kelayakan pekerjaan bagi laki-laki.

Maka hanya dengan Islam kesejahteraan ibu dan anak bisa terealisasi dengan sebenarnya. Tanpa harus menarik fitrah mulia wanita yang bekerja. Dan terlebih lagi tidak terealisasinya visi misi besar wanita yang telah syariat tetapkan padanya. Yaitu intelektual peradaban, penggerak opini, dan ibu generasi. Maka solusi menyejahterakan ibu dan anak tidak akan pernah ada dalam sistem yang hanya mementingkan komoditas keuntungan dan abai terhadap kesejahteraan sesungguhnya. Sehingga hanya dengan Islamlah terjaganya kesejahteraan ibu dan anak, kemudian dari rahim-rahim wanita muslimah lahir generasi mulia. Ibunya tidak pusing dengan masalah pernafkahan yang membuat seluruh potensi dan pikiran ibu tercurahkan pada pendidikan untuk mencetak generasi-generasi unggul. Wallahu’alam. [Dft]

Posting Komentar

0 Komentar